Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

27 July 2006

Otak Sebagai Substrak Kehadiran Tuhan

Menarik sekali ketika Al-Qur’an menjelaskan keberadaan otak sebagai pusat dari kehidupan manusia. Taufik Pasiak dalam bukunya, Revolusi IQ/EQ/SQ, Antara Neorosains dan Al-Quran (Mizan, 2003), menemukan isyarat Al-Quran atas kulit otak sebagai pusat kepribadian dan intelektual tertinggi manusia. Bagian ini dinamakan cerebrum (otak besar), terutama daerah yang disebut lobus frontal yang bertanggungjawab antara lain untuk membuat keputusan (judgement), bahkan fungsi-fungsi yang dikontrol otak, seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan.

Dokter sekaligus lulusan pasca sarjana IAIN Alauddin Makasar ini, mencoba menjelaskan temuan neorosains yang relefan dengan Al-Quran. Sedikitnya ada empat sinyal yang menerangkan potensi dan aktualisasi fungsi otak manusia dalam Al-Quran.
Pertama kata nâshiyah dalam QS Al-'Alaq [96]:15-16 untuk bagian kepala yang berprilaku ‘pendusta’ yang dialamatkan pada penentang nabi Muhammad, yang akan dihukum dengan tarikan kuat pada nâshiyah (ubun-ubun) laiknya kuda ditarik jambulnya. Penjelasan neorosains membuktikan lobus frontal dan daerah prefrontal sebagai bertanggungjawab untuk kegiatan intelektual tingkat tinggi, kesadaran moral manusia, dan perasaan-perasaan mistik, ternyata terletak di belakang nâshiyah (ubun-ubun) tersebut. Tarikan atas ubun-ubun itu cukup beralasan dari segi organisasi otak, seperti kerusakan yang diakibatkan pada daerah prefrontal-nya akan membuat orang makin cerdas, tetapi dengan kepribadian yang terganggu.

Kedua, kata ‘aql dan qalb. Kata ‘aql (akal) kebanyakan berbentuk kata kerja sebagai manifestasi sebuah proses tidak henti dalam aspek sains untuk mencapai tingkat pemahamannya akan realitas rasional. 'Aql ini separoh lebih dialamatkan pada hal-hal yang bersifat rasional dan sedikit untuk urusan rohani. Sementara kata qalb dialamatkan pada fungsi otak yang menjelaskan sisi rohanihnya, sehingga jika dioptimalkan akan menghasilkan integrasi antara ilmu dan agama. Dan akhirnya, menjembatani ketegangan antara kebenaran (ilmiah) dan keyakinan transedensial (akan kehadiran Tuhan).

Ketiga, melalui pernyataan lugas ‘kitâban yalqâhu mansyûrâ’ (sebuah kitab yang dibentangkan) dalam QS al-Isrâ [17]:13, untuk melukiskan wahana pertanggungjawaban di akhirat nanti. Dengan mengutip penafsiran Abdullah Yusuf Ali (1999), kalimat ‘gulungan yang terbentang’ mirip dengan keberadaan kulit otak yang bergulung-gulung dalam batok kepala manusia. Satu saat bibir kita akan dikunci, tangan kita yang bicara langsung apa yang telah kita kerjakan, dan kaki yang menerangkan kemana ia telah dilangkahkan (QS Yâsin [36]: 65). Jika kitâb diasosiasikan mencatat, maka kulit otak yang bergulung-gulung itu mengingat melalui rekaman pada sel-sel syarafnya. Akibat yang ditimbulkan keduanya persis, yakni merekam aktifitas manusia. Karenanya, bisa jadi apa yang kita pahami tentang ‘kitab pencatat’, sesungguhnya adalah kulit otak manusia itu. Dan kitâb itu akan berbicara sendiri!.

Keempat, adanya sinyalemen tentang pentingnya alat-alat indra yakni telinga, mata, lidah, tangan, dan kulit. Alat-alat itu disebut secara berulang-ulang untuk melukiskan aktivitas manusia di dunia. Kata mendengar bahkan disebut jauh lebih banyak daripada kata melihat untuk menunjukkan tingkat kepentingan dari kedua alat tersebut. Karena mendengar terjadi lebih dulu ketika janin dalam kandungan seorang ibu.

Dengan sinyalemen itu, Al-Quran hendak mengingatkan kita akan keberadaan jejak yang ditinggalkan Tuhan dalam setiap ciptaan-Nya. Otak bagaikan Central Procesor Unit (CPU) dalam sebuah komputer, dapat dilihat sebagai satu bukti yang amat penting. Dengan memperhatikan fungsi-fungsi otak bagi kehidupan manusia, keberadaan Tuhan sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Tuhan di mana-mana, dapat dirasakan kapan dan oleh siapa pun.

Pencarian Jejak Tuhan

Adanya ‘rasa ber-Tuhan’ pada diri manusia itu tidak bisa disikapi sebatas mitos belaka atau gagasan-gagasan spekulatif saja. Beberapa orang karena penasaran dan atau karena motifasi ilmiah berusaha mencari Tuhan di dalam diri manusia. Kehadiran Tuhan tidak dipersepsikan sebatas ‘semangat’ dan atau potensialnya saja. Bila Al-Quran menilik tentang ke-hanîf-an (kecendrungan kepada yang baik) manusia telah menunjukkan jejak Tuhan, maka ilmuan neorosain ingin mengetahui bagaimana ke-hanîf-an itu berada dalam otak manusia.

Adalah Vilyanur Ramachandran (2002), ahli otak yang menyebut adanya ‘God Spot’ dalam otak manusia ketika melaporkan kasus ‘melihat’ Tuhan yang dialami oleh Dr. Michael Persinger, neoro-psikolog dari Kanada, ketika otaknya dipasangi kabel-kabel megnetik perekam aktivitas bagian-bagian otak. Persinger meski sekuler seratus persen, tapi dengan perangsangan magnetik pada lobus temporal-nya ia dapat ‘melihat’ Tuhan. Melihat-Nya bukan secara obyektif dengan indra manusia, tapi adanya perasaan mistis yang dialaminya.

'God Spot' ini bertempat di bagian dahi yang didalamnya terjadi pemaknaan terhadap apa yang didengar dan apa yang dicium. Aktifitas lobus termporal ini meningkat ketika seseorang diberi nasihat-nasihat religius. Ramachandran meyakini keberadaan jalur khusus syaraf yang berhubungan dengan agama dan pengalaman religius. Rasa beragama ini melalui ‘prose kimiawi’ dalam jaring syaraf tertentu dan karenanya tidak bersifat kosmis, seperti keyakinan banyak para penganut tasauf.

Ilmuan lain, Erich Fromn (1989) menuturkan tentang aktivitas khusus lobus temporal sebagai bukti bahwa beragama, memang sudah menyatu (built in) dengan manusia. Sifat religiusitas ini tidak bisa hilang, walau seseorang tidak menganut satu agama (secara formal). Meski perasaan ini bisa dialami setiap orang kapan dan dimanapun, seperti para mistis yang biasa menciptakannya. Tapi Erich Fromn telah melakukannya dengan cara yang berbeda, yakni menyentuh bagian tertentu dengan perangsangan magnetik pada otak hingga perasaan itu muncul.

Dalam model yang berbeda, belakangan populer istilah kecerdasan spiritual (Spiritual Quotien, SQ), yang ada dalam setiap individu temuan Danah Zohar dan Ian Marshal (2002). Temuan Danah Zohar ini melengkapi temuan dua kecerdasan sebelumnya yakni kecerdasan intelektual (Intelektual Quotien, IQ) yang diperkenalkan oleh Wilhelm Stern dan kecerdasan emosional (Emotional Quotien, EQ) yang ditemukan oleh Joseph deLoux yang kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman. Kecerdasan Spiritual (SQ) setingkat lebih tinggi dari kecerdasan emosional (EQ) yang mengelola perasaan pemiliknya.

Kecerdasan Spiritual atau SQ itu adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal yang transenden. Ia melampaui kekinian dari pengalaman manusia dan merupakan bagian terdalam dan terpenting dari manusia, yang oleh ilmuan neorosains dibuktikan berbasiskan pada otak manusia. Basis itu adalah; (1) Osilasi 40 Hz, (2) Penanda Somatik, (3) Bawah Sadar Kognitif, dan (4) ‘God Spot’. Keempatnya melukiskan kesatuan kerja jaringan saraf yang menyatukan kepingan-kepingan pengalaman menjadi sesuatu yang utuh. Mereka menjadi substrak kehadiran Tuhan yang sekian lama hanya dapat 'diraba-raba' dengan piranti teologis.

Argumen Filosofis

Kecerdasan Spiritual ini bagaikna ‘Akal ilahi’ yang dipersepsikan oleh para filosof ketika menjelaskan keterkaitan Tuhan dan manusia. Filosof muslim telah meminjam konsep memancar (emanasi) dari filsafat Yunani untuk menjelaskan hubungan-hubungan erat dalam proses penciptaan alam semesta. Hubungan itu diurai dengan Tuhan sebagai alam besar (makrokosmos) dan manusia sebagai alam kecil (mikrokosmos). Unitas antar keduanya merupakan hukum alam (sunnatullâh) yang menyertai setiap penciptaan-Nya di muka bumi.

Ibnu Sina sangat jeli melihat fungsi otak manusia itu. Dengan akalnya, meski tanpa bantuan wahyu, manusia dapat tiba pada pengetahuan tentang Tuhan. Karena akal manusia merupakan bagian dari ‘akal ilahi’, maka orang yang mempunyai tingkat intelektual yang tinggi atau cerdas meniscayakan penemuan Tuhan melalui akalnya. Sepadan dengan ini, kebuntuan Einstein ketika menguraikan problematika fisik yang dianggap abstrak karena terus dia uraikan, berakhir dengan keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada.

Emanasi akal ini menjelaskan dua mata koin perhubungan; Tuhan dan Manusia. Ilmu sejati, lanjut Ibnu Sina, adalah ilmu yang mencari pengetahuan mengenai esensi segala hal yang berkaitan dengan asal-usul ilahiahnya. Mencari Ilmu sama artinya dengan mencari Tuhan, terutama pada manusia sebagai ciptaan paling sempurna. Konklusi ilmiah yang bersifat nisbi berurat akar pada kecerdasan intelektual, sementara menyatunya diri dengan Tuhan --meminjam jalan Syaik Siti Jenar-- merupakan aktualisasi positif dari kerja otak manusia.

Konsep dasar ini dapat menjelaskan mengapa otak, atau bagian tubuh mana saja dari manusia dapat mengandung, ‘kehadiran’ jejak ilahi itu. Manusia adalah satu dari tingkatan alam yang ada (nasût) disamping tingkat ciptaan lainnya yang sengaja diciptakan untuk menunjang kemuliaan penciptaan manusia. Adanya ‘God Spot’ dalam otak manusia bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Termasuk adanya kerja terpadu otak dan adanya kesadaran intrinsik otak yang dikenal dengan istilah osilasi 40 Hz.

Beberapa pembagian otak dan kecerdasan seperti di atas, akan membawa implikasi yang sangat besar pada manusia dalam cara berfikir dan bersikap. Dengan adanya penemuan dalam bidang ilmu saraf, membuat sebagian orang makin ‘rasional’, tatapi lebih banyak lagi yang menjadi ‘irrasional’. Karenanya, makin banyak orang yang sadar akan potensi besar dalam dirinya. Tidak hanya menyangkut hubungan-hubungan sosial antar-manusia, tetapi juga hubungan-hubungan eksistensial menyangkut makna kehidupan dan kehadiran jejak Tuhan yang bersifat transendental. Dan Al-Quran telah memberikan isyarat ilmiahnya yang terhampar dalam banyak ayat-ayatnya itu. Wa Alllâh bi al-shawâb

0 Comments:

Post a Comment

<< Home