Kecerdasan Sempurna
Kosakata kecerdasan akrab di telinga semua orang yang bekepentingan atas pendidikan. Kecerdasan menjadi kunci memaknakan keberhasilan pendidikan, meski belum tentu arah kecerdasan yang dimaksud. Beberapa dekade ke belakang, kecerdasan pada seseorang lebih diarahkan pada kemampuan berfikir untuk hal-hal yang bersifat materil.
Dalam al-quran, pendidikan pada anak-anak kita diidamkan menjadikan mereka sebagai penghias mata (qurrah al-ain) dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa (lil muttqîn imâmâ). Kwalitas estetik dan ketaqwaan ini, berdimensi sosial-transendental. Dalam bahasa populer manajemen kecerdasan mutakhir terdiri dari; kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam konteks itu, penulis punya catatan tersendiri atas kecendrungan prestasi yang diraih oleh seorang anak didik, sering diukur dengan nilai raport yang terkesan formalistik. Bila warna merah mendominasinya, maka mereka diposisikan gagal. Padahal nilai-nilai raport hanya representasi dari kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient, IQ). Sementara kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, SQ) kurang mendapat perhatian dalam nilai raport yang selama ini ada.
Kalaupun ada, kita mendapatinya hanya beberapa kolom dengan ukuran a, b, dan c, yang menurut hemat penulis tidak cukup memadai untuk merepresentasikan dua kecerdasan itu. Padahal kedua macam kecerdasan itu sudah ada benihnya dalam setiap anak didik. Menumbuhkan keduanya merupakan target strategis bagi setiap penyelenggara pendidikan.
Potensi Kecerdasan
Kecerdasan intelektual (IQ), dibangun lewat nalar salah-benar ketika menyikapi segala sesuatu di luar diri anak didik. Ini tidak terlalu berpengaruh dalam menciptakan sosok pribadi yang paripurna. Tapi harus dilengkapi dengan rasa 'enak dan tidak' dalam prilaku sosial sebagai representasi dari kecerdasan emosional (EQ) dan kondisi 'tenang-gundah' sebagai manifestasi kecerdasan spiritual (SQ) yang bersifat transendental.
Kecuali itu, nalar salah-benar cendrung melakukan prose 'dehumanisasi' pada diri anak didik. Mereka terpaksa memandang diri dan lingkungannya sesuai tolak ukur yang mekanik. Sementara perasaan dan keyakinan disembunyikan dalam dirinya. Mereka dijejali dengan kepribadian artifisial yang satu saat akan merugikan sisi kemanusiaan itu sendiri. Menjadi sukses ditakar dengan deret ukur, tidak peduli sisi emosi dan spiritual anak ketika ada dalam lingkungannya.
Aktualisasi potensi IQ, EQ,, dan SQ, akan membawa implikasi yang sangat besar pada anak didik dalam cara berfikir dan bersikap. Mendidik bukan saja menjadikan seseorang menjadi 'rasional', tetapi lebih menjadikannya bersikap 'irrasional'. Karena terdapat potensi besar dalam diri setiap individu. Tidak hanya menyangkut hubungan-hubungan sosial antarmanusia, tetapi juga hubungan-hubungan transendental yang bersifat emosional-spiritual .
Memaknakan eksistensi emosional-spiritual bagi anak didik sedianya menjadi agenda penting bagi para penyelenggara pendidikan. Pendidikan, kecuali bertujuan membentuk kecerdasan intelektual, juga membentuk pribadi anak didik yang peka akan eksistensi emosioan-spiritualnya. Pendidikan yang terlalu mementingkan kecerdasarn intelektual mereduksi hakikat kemanusiaan itu sendiri; sebagai makhluk sosial dan emosional-spiritual sekaligus.
Lalu bagaimana menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) tersebut ? Pertanyaan ini berimplikasi pada; (1) aktualisasi kurikulum yang berlaku, (2) peran seorang guru, (3) peran orang tua, dan (4) lingkungan di sekeliling anak didik. Semuanya harus diperankan secara integratif, baik itu oleh diri anak didik sendiri atau pihak di luar anak didik.
Kurikulum berbasis kompetensi yang belakangan marak dipergunakan di sekolah-sekolah, sedianya dicermati secara jeli. Kalau saja jatah untuk mengelola ketiga potensi kecerdasan anak (IQ, EQ, SQ) tidak diberikan secara proporsional, maka hasil yang didapatkan akan berbanding lurus dengan prosentasi itu. Jika ia hanya beda dalam 'cara mengajar' bukan pada 'apa yang diajarkan', maka aktualisasi kurikulum mutlak dilakukan.
Upaya itu, tidak perlu ditakuti sebagai yang 'melanggar' ketentuan pengajaran yang disepakati bersama. Otonomi tiap penyelenggara pendidikan terlihat signifikansinya ketika, 'kurikulum resmi' terkesan dikramatkan yang pada gilirannya mengorbankan out put tiga kecerdasan anak didik itu sendiri. Kurikulum sedianya diaktualisasikan dalam bentuk turunan program pengajaran yang sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana proses belajar-mengajar dilakukan.
Penyelenggara pendidikan harus berani menanggung resiko coba dan salah dalam proses belajar-mengajar. Kalau perlu tiap semester, turunan program pengajaran itu mengalami perubahan secara signifikan. Pendidikan harusnya ditempatkan sebagai prose yang terus berjalan (on going process) mengiringi perubahan ruang dan waktu itu sendiri. Dan ia tidak dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan kaku.
Selain itu, peran guru yang selama ini dianggap 'sentral' oleh sebagian besar pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan, harus segera dijernihkan. Guru kerapkali diposisikan tidak proporsional, hingga tidak fokus menjalankan fungsi dasarnya sendiri. Ketika anak didik berada di sekolah, memang sepenuhnya menjadi tanggungan seorang guru. Tapi tetkala anak didik berada di luar sekolah, peranannya diambil alih oleh pihak selain guru.
Pendidikan adalah sistem yang membutuhkan peranan semua pihak; baik itu guru, orang tua, dan lingkungannya. Seorang guru hanya beperan sekitar 25 % dari aktifitas anak didik manakala dititipkan di sekolah. Selebihnya pihak orang tua dan lingkungannya, memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Separoh lebih proses belajar-mengajar, sebenarnya diperankan secara efektif oleh para orang tua dan lingkungannya itu.
Kapitalisasi Pendidikan
Adalah kapitalisasi pendidikan yang menjadi musuh dari integrasi peran guru, orang tua, dan lingkungannya dalam meraih kecerdasan paripurna setiap anak didik. Sejak disusupi idiologi kapitalisme, 'peran sentral' seorang guru semakin dikambinghitamkan sebagai biang kegagalan dalam mendidik seorang anak. Guru kencing berdiri murid kencing berlari', kerapkali dijadikan pameo dalam dunia pendidikan. Padahal tidak mustahil, maaf, 'cara kencing' orang tua dan lingkungannya juga akan ditiru oleh setiap anak didik.
Dengan telah membayar sejumlah uang, orang tua dan lingkungannya telah menempatkan anak didik seperti kendaraan yang dititipkan pada sebuah bengkel. Tragisnya, kalau pun berhasil hanya ditakar dengan tolak ukur formalistik, yakni kecerdasan intelektual (IQ) un sich. Orang tua dan lingkungannya akan merasa tidak lagi rugi kalau saja nilai raportnya tidak dilumuri warna merah tanpa mau peduli pada sisi emosional-spiritual anaknya.
Hal ini lebih disebabkan oleh pandangan untung-rugi seperti transaksi jual-beli, dengan kepuasan pada kecerdasan intelektual (IQ) anak didiknya. Menitipkan anak didik dianggap layak dengan ukuran material, bukan dengan rasa saling memiliki dan transendensi proses belajar-mengajar anak didik. Karenanya kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) yang diidamkan, terlewatkan dalam iklim pendidikan yang besifat kontraktual sebagai buah dari kapitalisasi pendidikan tersebut.
Inilah yang dapat kita baca pada kapitalisasi pendidikan dewasa ini. Pendidikan dengan cepat menjadi barang dagangan yang menggiurkan bagi banyak orang. Motifnya lebih disebabkan mencari keuntungan material sebanyak-banyaknya dari ‘bisnis pendidikan’ tanpa ambil pusing untuk apa pendidikan itu sendiri.
Pendidikan di negara kita, memang masih jauh untuk diselenggarakan ‘gratisan’ bagi warganya. Meski Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan peraturan perundang-undangan yang memberikan dana pendidikan kurang dari 20 %; seperti ketentuan UU 1945. Namun alokasi itupun, hemat penulis belum cukup untuk menyelesaikan problem profesionalisasi pendidikan di negari ini.
Walhasil, persepsi keliru atas dunia pendidikan, sedianya jadi pelajaran penting bagi orang tua dan lingkungannya. Tanggungjawab pendidikan itu tidak hanya dibebankan pada pundak seorang guru. Tapi dialamatkan juga pada peranan orang tua dan lingkungannya itu sendiri. Jika ini bisa dimulai, kecerdasan paripurna tidak lama lagi akan bersemayan dalam diri anak didik kita. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb.
Dalam al-quran, pendidikan pada anak-anak kita diidamkan menjadikan mereka sebagai penghias mata (qurrah al-ain) dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa (lil muttqîn imâmâ). Kwalitas estetik dan ketaqwaan ini, berdimensi sosial-transendental. Dalam bahasa populer manajemen kecerdasan mutakhir terdiri dari; kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam konteks itu, penulis punya catatan tersendiri atas kecendrungan prestasi yang diraih oleh seorang anak didik, sering diukur dengan nilai raport yang terkesan formalistik. Bila warna merah mendominasinya, maka mereka diposisikan gagal. Padahal nilai-nilai raport hanya representasi dari kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient, IQ). Sementara kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, SQ) kurang mendapat perhatian dalam nilai raport yang selama ini ada.
Kalaupun ada, kita mendapatinya hanya beberapa kolom dengan ukuran a, b, dan c, yang menurut hemat penulis tidak cukup memadai untuk merepresentasikan dua kecerdasan itu. Padahal kedua macam kecerdasan itu sudah ada benihnya dalam setiap anak didik. Menumbuhkan keduanya merupakan target strategis bagi setiap penyelenggara pendidikan.
Potensi Kecerdasan
Kecerdasan intelektual (IQ), dibangun lewat nalar salah-benar ketika menyikapi segala sesuatu di luar diri anak didik. Ini tidak terlalu berpengaruh dalam menciptakan sosok pribadi yang paripurna. Tapi harus dilengkapi dengan rasa 'enak dan tidak' dalam prilaku sosial sebagai representasi dari kecerdasan emosional (EQ) dan kondisi 'tenang-gundah' sebagai manifestasi kecerdasan spiritual (SQ) yang bersifat transendental.
Kecuali itu, nalar salah-benar cendrung melakukan prose 'dehumanisasi' pada diri anak didik. Mereka terpaksa memandang diri dan lingkungannya sesuai tolak ukur yang mekanik. Sementara perasaan dan keyakinan disembunyikan dalam dirinya. Mereka dijejali dengan kepribadian artifisial yang satu saat akan merugikan sisi kemanusiaan itu sendiri. Menjadi sukses ditakar dengan deret ukur, tidak peduli sisi emosi dan spiritual anak ketika ada dalam lingkungannya.
Aktualisasi potensi IQ, EQ,, dan SQ, akan membawa implikasi yang sangat besar pada anak didik dalam cara berfikir dan bersikap. Mendidik bukan saja menjadikan seseorang menjadi 'rasional', tetapi lebih menjadikannya bersikap 'irrasional'. Karena terdapat potensi besar dalam diri setiap individu. Tidak hanya menyangkut hubungan-hubungan sosial antarmanusia, tetapi juga hubungan-hubungan transendental yang bersifat emosional-spiritual .
Memaknakan eksistensi emosional-spiritual bagi anak didik sedianya menjadi agenda penting bagi para penyelenggara pendidikan. Pendidikan, kecuali bertujuan membentuk kecerdasan intelektual, juga membentuk pribadi anak didik yang peka akan eksistensi emosioan-spiritualnya. Pendidikan yang terlalu mementingkan kecerdasarn intelektual mereduksi hakikat kemanusiaan itu sendiri; sebagai makhluk sosial dan emosional-spiritual sekaligus.
Lalu bagaimana menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) tersebut ? Pertanyaan ini berimplikasi pada; (1) aktualisasi kurikulum yang berlaku, (2) peran seorang guru, (3) peran orang tua, dan (4) lingkungan di sekeliling anak didik. Semuanya harus diperankan secara integratif, baik itu oleh diri anak didik sendiri atau pihak di luar anak didik.
Kurikulum berbasis kompetensi yang belakangan marak dipergunakan di sekolah-sekolah, sedianya dicermati secara jeli. Kalau saja jatah untuk mengelola ketiga potensi kecerdasan anak (IQ, EQ, SQ) tidak diberikan secara proporsional, maka hasil yang didapatkan akan berbanding lurus dengan prosentasi itu. Jika ia hanya beda dalam 'cara mengajar' bukan pada 'apa yang diajarkan', maka aktualisasi kurikulum mutlak dilakukan.
Upaya itu, tidak perlu ditakuti sebagai yang 'melanggar' ketentuan pengajaran yang disepakati bersama. Otonomi tiap penyelenggara pendidikan terlihat signifikansinya ketika, 'kurikulum resmi' terkesan dikramatkan yang pada gilirannya mengorbankan out put tiga kecerdasan anak didik itu sendiri. Kurikulum sedianya diaktualisasikan dalam bentuk turunan program pengajaran yang sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana proses belajar-mengajar dilakukan.
Penyelenggara pendidikan harus berani menanggung resiko coba dan salah dalam proses belajar-mengajar. Kalau perlu tiap semester, turunan program pengajaran itu mengalami perubahan secara signifikan. Pendidikan harusnya ditempatkan sebagai prose yang terus berjalan (on going process) mengiringi perubahan ruang dan waktu itu sendiri. Dan ia tidak dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan kaku.
Selain itu, peran guru yang selama ini dianggap 'sentral' oleh sebagian besar pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan, harus segera dijernihkan. Guru kerapkali diposisikan tidak proporsional, hingga tidak fokus menjalankan fungsi dasarnya sendiri. Ketika anak didik berada di sekolah, memang sepenuhnya menjadi tanggungan seorang guru. Tapi tetkala anak didik berada di luar sekolah, peranannya diambil alih oleh pihak selain guru.
Pendidikan adalah sistem yang membutuhkan peranan semua pihak; baik itu guru, orang tua, dan lingkungannya. Seorang guru hanya beperan sekitar 25 % dari aktifitas anak didik manakala dititipkan di sekolah. Selebihnya pihak orang tua dan lingkungannya, memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Separoh lebih proses belajar-mengajar, sebenarnya diperankan secara efektif oleh para orang tua dan lingkungannya itu.
Kapitalisasi Pendidikan
Adalah kapitalisasi pendidikan yang menjadi musuh dari integrasi peran guru, orang tua, dan lingkungannya dalam meraih kecerdasan paripurna setiap anak didik. Sejak disusupi idiologi kapitalisme, 'peran sentral' seorang guru semakin dikambinghitamkan sebagai biang kegagalan dalam mendidik seorang anak. Guru kencing berdiri murid kencing berlari', kerapkali dijadikan pameo dalam dunia pendidikan. Padahal tidak mustahil, maaf, 'cara kencing' orang tua dan lingkungannya juga akan ditiru oleh setiap anak didik.
Dengan telah membayar sejumlah uang, orang tua dan lingkungannya telah menempatkan anak didik seperti kendaraan yang dititipkan pada sebuah bengkel. Tragisnya, kalau pun berhasil hanya ditakar dengan tolak ukur formalistik, yakni kecerdasan intelektual (IQ) un sich. Orang tua dan lingkungannya akan merasa tidak lagi rugi kalau saja nilai raportnya tidak dilumuri warna merah tanpa mau peduli pada sisi emosional-spiritual anaknya.
Hal ini lebih disebabkan oleh pandangan untung-rugi seperti transaksi jual-beli, dengan kepuasan pada kecerdasan intelektual (IQ) anak didiknya. Menitipkan anak didik dianggap layak dengan ukuran material, bukan dengan rasa saling memiliki dan transendensi proses belajar-mengajar anak didik. Karenanya kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) yang diidamkan, terlewatkan dalam iklim pendidikan yang besifat kontraktual sebagai buah dari kapitalisasi pendidikan tersebut.
Inilah yang dapat kita baca pada kapitalisasi pendidikan dewasa ini. Pendidikan dengan cepat menjadi barang dagangan yang menggiurkan bagi banyak orang. Motifnya lebih disebabkan mencari keuntungan material sebanyak-banyaknya dari ‘bisnis pendidikan’ tanpa ambil pusing untuk apa pendidikan itu sendiri.
Pendidikan di negara kita, memang masih jauh untuk diselenggarakan ‘gratisan’ bagi warganya. Meski Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan peraturan perundang-undangan yang memberikan dana pendidikan kurang dari 20 %; seperti ketentuan UU 1945. Namun alokasi itupun, hemat penulis belum cukup untuk menyelesaikan problem profesionalisasi pendidikan di negari ini.
Walhasil, persepsi keliru atas dunia pendidikan, sedianya jadi pelajaran penting bagi orang tua dan lingkungannya. Tanggungjawab pendidikan itu tidak hanya dibebankan pada pundak seorang guru. Tapi dialamatkan juga pada peranan orang tua dan lingkungannya itu sendiri. Jika ini bisa dimulai, kecerdasan paripurna tidak lama lagi akan bersemayan dalam diri anak didik kita. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home