Galeri Resensi 1
Judul Buku : Rasionalitas Al-Quran, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Volume : 190 H.
Cetakan : Pertama, Rabiul Awwal 1427/April 2006
Kritik atas karya tafsir menjadi penting kaitannya dengan posisi penafsiran sebagai penentu dalam memahami ayat al-Quran. Kita akan kesulitan memahami al-Quran tanpa bantuan penafsiran atas al-Quran yang telah ada, baik itu berupa hadits, atsar sahabat, dan pamahaman para ulama setelahnya. Trend penggunaan hermeneutika sebagai manhaj tafsir pun, dalam batas tertentu tetap mengandalkan piranti kebahasaan yang notabene telah ada dalam tradisi ulûm al-Qurân.
Dalam buku ini, M. Quraish Shihab mengkritisi tafsir al-Manar karangan Abduh dan Rasyid Ridha, sebagai salah satu kitab tafsir populer di kalangan peminat studi al-Quran. Baginya, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan setiap hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat intelegensi, kecendrungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya (hal. 1).
Dengan mengetengahkan dua tokoh tersebut di bidang tafsir al-Quran, metoda dan penafsirannya serta keistimewaan dan kelemahannya masing-masing, penulis buku ini berharap hasil-hasil pemikiran mereka dapat lebih dipahami dan dimanfaatkan (hal. 2).
Syaik Muhammad Abduh dibahas secara sistematis. Ini meliputi masalah pendidikan, lingkungan, fokus pemikiran, karya-karyanya dalam tafsir, pandangannya tentang kitab tafsir dan penafsiran ulama, corak penafsiran, ciri-ciri penafsiran, dan ditutup dengan beberapa catatan penting tentang pemikiran Muhammad Abduh.
Pendekatan tafsir tanpa banyak mempergunakan referensi ulama-ulama sebelumnya, menurut Abduh, merupakan jalan strategis untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia. Sebagian karya tafsir sebelumnya, bagi Abduh, tekesan menjaga jarak dengan realitas sosial masyarakat dan berteduh di balik paparan perbedaan ulama ketika menafsirkan ayat Al-Quran. ”Sebagian dari kitab tafsir sedemikian gersang dan kaku, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata.....” (hal .20-21). Ini tak lebih dari latihan praktis dalam bidang bahasa.
Oleh karena itu, M. Quraish menilik sikap kritis Abduh dalam hal menentang dan memberantas taqlid, tidak memerinci pesoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas), penerimaan hadits-hadits, pendapat sahabat dan israiliyyat, serta berusaha mengaitkan al-Quran dengan kehidupan (hal. 51-67).
Lain lagi dengan Muhammad Rasyid Ridha. Kecuali membahasnya dari segi autobiograpi, juga pertemuannya dengan Abduh yang menyebabkan lahirnya majalah al-Manar yang direproduksi menjadi kitab tafsir itu.
Tipikal Ridha dalam menafsirkan Al-Quran meliputi keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkannya dengan hadits-hadits nabi, Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat (hukum, perbandingan agama, sunnatullah, dan ilmu pengetahuan), penafsiran ayat dengan ayat, dan keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi (hal. 117-137).
Sementara itu, M. Quraish juga menunjukkan sikap kritisnya atas kekeliruan Ridha dalam menanggapi pemikiran Abduh, Thabari, ar-Razi, Zamahsyari, al-Baidhawi, al-Alusi, dan as-Sayuthi, dan penafsir-penafsir lainnya (hal. 143-174).
Pada bagian akhir buku ini ditegaskan, Tafsir Al-Manar berusaha menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya. Ini terlihat dari anjuran untuk menghindari prakonsepsi dalam menafsirkan ayat, memfungsikan tujuan utama Al-Quran sebagai petunjuk atas problem-problem mendesak, dan menampilkan al-Quran yang ramah dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dan sikap kritis atas karya tafsir itu, sedianya diikuti oleh setiap peminat studi al-Quran, terhadap Tafsir Al-Manar sekalipun. (msadili)
Judul Buku : Logika Agama, Kedudukan Wahyu & Batas-batas Akal dalam Islam
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati Jakarta
Volume : 232 h
Cetakan : Pertama, Ramadhan 1426H/Juli 2005M
Judul buku ini mengingatkan kita pada sebuah hadis – lepas dari perebatan tentang kualitasnya -- yang memuat relasi agama dan akal, “Agama adalah akal, dan tidak ada (tidak dianggap ber-) agama siapa yang tidak memiliki akal”. Sebagian ajaran agama memang dapat dimengerti oleh akal, tapi tidak sedikit yang masih menyimpan misteri kalau kita pikirkan. Para ulama klasik biasanya membagi ajaran agama menjadi dua; pertama dapat dimengerti oleh akal (amrun ta’aqquli) dan kedua sangat sulit –untuk tidak mengatakannya mustahil-- diterima oleh akal kita (amru ta’abbudi), harus diyakini thus diamalkan saja.
M. Quraish Shihab yang ‘berdialog’ dengan ‘Maha Guru’-nya, dalam buku ini, menyinggung persoalan itu ketika membahas term ‘Islam Berkembang’ (h. 28). Diskusinya mencoba mendudukkan Islam secara proporsional ketika berhadapan dengan perubahan sosial. Kata berkembang (mutathawwir) bermaknakan Islam bisa diterapkan di semua waktu dan tempat. Namun, harus tetap diingat bahwa perubahan itu terbatas pada penafsiran yang kemudian melahirkan ragam ilmu pengetahuan, bukan pada teks keagamaan sebagai dasar agama itu sendiri.
Agama dan akal berusaha dijernikan dengan mendefinisikan akal dahulu. Akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Akal menjadi potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat –sebagaimana arti dari bahasa arabnya—yang menghalangi seseorang dari terjerumus dalam dosa dan kesalahan (h. 88). Akal yang dianggap sebagai potensi manusia yang mampu menjangkau dan memahami semua persoalan, merupakan kekeliruan identifikasi. Karena tidak semua persoalan agama dapat dimengerti oleh akal.
Ketegangan akal dan wahyu terjadi karena ‘kurang memahami’ otoritas wahyu. Seseorang yang berpijak pada wahyu lalu menggunakan akalnya untuk memahaminya berbeda dengan seseorang yang berpijak dengan akalnya lalu menggunakannya untuk memahami wahyu (h. 97). Yang pertama menjadikan wahyu sebagai pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkah wahyu kepada akalnya (Ibid). Yang pertama adalah sikap menyerahkan diri kepada wahyu, sedangkan yang kedua mengalihkan wahyu tunduk kepada akal yang pada gilirannya melahirkan ta’wîl yang sesuai selera akal walau bukan pada tempatnya.
Implikasi teologis dari posisi akal atas wahyu ini adalah berserah diri atas segala ketentun Allah SWT (taqdîr). Hanya saja, tidak sepadan dengan apa yang didengungkan oleh paham jabariyyah (fatalistik) yang cendrung menerima apa adanya. Tidak pula sama dengan paham qadariyyah (free will) yang menempatkan peran manusia dalam kehiduapan di atas segala-galanya. Manusia itu mampu berpindah dari satu taqdir Tuhan kepada taqdir Tuhan lain yang lebih lebih baik, dengan tetap diiringi berserah diri atas ketentuan-Nya.
Setelah itu, kita diajak untuk menempuh ‘jalur pencerahan batin’ menuju wujud rohani manusia yang kerap dilupakan oleh setiap orang. Dengan berusaha menyisihkan waktu sebentar dengan merenung, akan mendapat bisikan hati yang terdalam, mengenal kebenaran mutlak yang dirindukan rohani itu. Ia adalah pengabdian karena cinta kepada-Nya, sesama manusia, lingkungan dan dirinya sendiri.
Caranya dengan menempuh jalur irâdah yaitu kehendak/tekad yang meminta afirmasi kepada setiap individu atas apa yang ingin dilakukan, sehingga dapat menghasilkan kemampuan. Kemampuan itu perlu diusahakan terus menerus dengan jalan latihan-latihan (riyâdah). Dalam al-Quran padanan riyâdah itu adalah mujâhadah yang seakar dengan jihâd. Mujâhadah adalah menggunakan seluruh kemampuan secara bersungguh-sungguh untuk melawan musuh, terutama yang terdekat dalam diri manusia, yaitu nafsunya yang mendorong kepada kerendahan dan keburukan (h. 162).
Adapun penentuan mursyid atau guru spiritual dalam tradisi tasauf karena representasi ilmu dan ma’rifah bagi orang yang akan menempuh ‘jalur pencerahan batin’ tersebut. Relasi wali dan kekeramatan yang hadir dalam persepsi banyak orang belum tentu benar. Karena seorang wali tidak mutlak memiliki kekeramatan dan sebaliknya siapa pun yang memiliki kekuatan magis belum tentu wali dan tidak juga karena ketakwaannya (h. 201).
Buku ini menyuguhkan persoalan agama dan akal yang terbilang rumit itu dengan tutur fragmental yang membuat nyaman setiap orang yang membacanya. Analisis persoalan dimulai dengan presentasi definisi menurut; bahasa, istilah, dan ragam penafsiran yang hadir dari ulama-ulama ternama timur tengah.
Judul Buku : Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : XIII, Muharram 1424 H./Maret 2003 M.
Volume : 597
Dalam ulûm al-Qur’ân, setidaknya dikenal batasan sederhana tentang metode tafsîr tahlîlî yaitu metode menyuguhkan makna al-Qur’an dengan menjelaskan secara berurutan dari ayat pertama surat al-Fâtihah sampai akhir surat an-Nâs, sedangkan metode yang berusaha menyuguhkan makna al-Qur’an dengan klasifikasi tema-tema tertentu berdasarkan ayat-ayat yang mendukung tema tersebut disebut tafsîr maudhû’i.
Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tafsîr tahlîli diumpamakan seperti prasmanan yang bebas memilih jenis makanan mana yang diminati, namun dengan catatan, waktu yang dibutuhkan lama dan meminta energi lebih untuk memilih mana yang sesuai dengan selara makan kita. Adapun tafsîr maudhû’i diumpamakan seperti hidangan satu jenis makanan tertentu yang disediakan oleh tuan rumah agar tidak merepotkan tamunya. Tetapi, tuan rumah harus berusaha keras untuk menyuguhkan jenis makanan favorit yang belum tentu sesuai dengan selera sang tamu.
Metode tafsîr maudhûi ini semenjak tahun 1960-an ternyata memikat para pembaca berkaitan dengan keterbatasan ruang dan waktu dalam mengakses kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsîr tahlîlî. Suguhan secara tematik ternyata bisa memenuhi kehausan pembaca akan nilai-nilai Qur’ani di tengah himpitan kesibukan dan keinginan untuk serba cepat mengakses kebutuhan hidupnya.
Tidak heran, bila buku tafsir yang bercorak tematik ini ada yang menjadi best seller, bahkan menginspirasikan penerbitan buku sejenis lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah M. Quraish Shihab, yang mencatat sukes dengan karyanya “Membumikan al-Qur’an” yang diterbitkan oleh Mizan, yang kemudian dilanjutkan dengan peluncuran buku keduanya, “Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat”. Buku inipun mendapat respon pembaca yang tidak kalah rendah dari buku sebelumnya.
Sepertinya, ada fenomena menarik berkaitan dengan kebutuhan nilai–nilai Qur’ani yang berjalan di masyarakat. Asumsi yang diilustrasikan di atas mendapat justifikasinya -- paling tidak untuk kasus buku ini – bahwa penyelesaian problem umat lewat injeksi nilai-nilai Qur’ani ternyata memerlukan piranti yang tepat guna. Kecuali itu, alasan lain, sehubungan dengan kapabilitas penulisnya sebagai doktor tafsir pertama dari Asia Tenggara dengan peringkat yudisium summa cum laude di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Sehingga, argumen yang menyangga tiap ulasan materi di dalamnya terbilang otoritatif.
Buku ini pada awalnya merupakan makalah penulis selama mengisi “Pengajian Istiqlal untuk Para Eksekutif” yang kebanyakan pesertanya berasal dari kalangan pejabat pada instansi pemerintah maupun swasta. Nampaknya, dengan pertimbangan keterbatasan ruang dan waktu karena “khusus” untuk para eksekutif itu, maka dibuatlah menjadi buku agar bisa lebih ‘merakyat’, di samping mengingat tanggapan akan buku pertamanya, “Membumikan al-Qur’an”, yang bercorak tematik itu, yang ternyata bisa memasyarakat dengan gemilang.
Kesan pertama setelah membaca buku ini, kecuali terletak pada luasnya referensi yang dilakukan oleh penulis, baik dari ulama klasik maupun ulama kontemporer, juga cara penyampaiannya yang bersifat deskriptif, analitis, dan argumentatif. Apabila mengajukan pendapatnya sendiri, itupun dengan mempergunakan bahasa yang bersifat metaforis dan tidak menggurui. Pembaca seperti berada dalam ruang diskusi yang kondusif dengan suguhan pembahasan yang begitu lugas dan enak dicerna.
Dalam konteks ini, kemungkinan besar M. Quraish Shihab dipengaruhi oleh pesan Prof. Arkoun, ulama asal al-Jazair yang menyampaikan pesannya via Soetjipto Wirosardjono, agar dirinya bersikap ‘rendah hati’ dalam mempergunakan metode tafsir maudû’î ketika membedah kandungan al-Qur’an. Ini dimaksudkan agar tidak tergelincir, mengingat tingkat keriskanan dalam mempergunakan metode tafsîr maudû’î di antara himpitan kesibukan dan keletihan.
Terlepas dari itu, anatomi pembahasan yang ada dalam buku ini cukup representatif untuk menyuplai pembentukan nilai-nilai Qur’ani di tanah air. Klasifikasi materi tidak disuguhkan secara ketat, seperti karya buku yang memang dari awal sudah didesain sebagai bahasan yang bersifat runtut. Dalam buku ini, karena asalnya dari kumpulan makalah yang tercerai berai, klasifikasi dari setiap bab dan sub bab-nya dibiarkan cair, yang tentu saja dengan tetap memperhatikan batasan-batasan umum setiap babnya.
Bagian Pertama tentang pokok keimanan, yang diisi dengan pembahasan seputar masalah al-Qur’an, Tuhan, Nabi Muhammad, Takdir, Kematian, Hari Akhirat, dan ditutup dengan materi tentang Keadilan dan Kesejahteraan. Bagian Kedua yang membicarakan tentang kebutuhan pokok manusia dan soal-soal hubungan sosial (muamalah) dipecah menjadi sub tema Makanan, Pakaian, Kesehatan, Pernikahan, Syukur, Halal bi halal, dan Akhlak. Bagian Ketiga berisi tentang masalah kemanusiaan dan masyarakat, yang meliputi bahasan mengenai Manusia, Perempuan, Masyarakat, Umat, Kebangsaan, dan Ahli Kitab. Bagian Keempat mengetahkan aspek-aspek kemanusiaan yang berisi sub bahasan tentang Agama, Seni, Ekonomi, Politik, Ilmu dan Teknologi, Kemiskinan, dan Masjid. Yang terakhir, Bagian Kelima, berisi wawasan al-Qur’an tentang persoalan penting umat yang meliputi masalah Musyawarah, Ukhuwah, Jihad, Puasa, Lailatul Qadar, dan Waktu.
Ada baiknya, setelah membaca buku ini, membandingkannya dengan menelaah lebih lanjut tafsîr tahlîli-nya M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, yang telah rampung 30 juz. Tiada lain, hal ini sebagai cross ceck dan komparasi pemahaman. Nantinya akan terlihat, apa sebenarnya yang membedakan dari kedua corak tafsir yang dikarang oleh satu orang sekaligus. Dan, terakhir, selamat membaca !
PERNIK TAFSIR SUNDA KH. SANUSI DARI SUKABUMI JABAR
Membicarakan karya tafsir di Indonesia, kerap berangkat dari corak penafsiran yang terkandung di dalamnya. Ini berkaitan dengan cara penyampaian dan klasifikasi materi yang bermuara pada sejauhmana karya tafsir mudah dipahami oleh para peminatnya. Begitu juga, bagaimana kelebihan satu karya tafsir dengan yang lainnya. Hanya saja, biasa dibatasi dengan karya tafsir yang berhasa Arab dan atau Indonesia. Kita jarang menemukan –untuk tidak menyebutnya tidak ada-- telaah kritis atas karya tafsir yang menggunakan bahasa daerah tertentu. Studi tersebut sangat penting untuk melihat sejauhmana penetrasi karya tafsir yang berbahasa Arab dengan kondisi sosial-budaya yang mengitarinya.
Salah satu karya tafsir yang dikenal di masyarakat Sunda adalah kitab Raudhah al-‘Irfân fi ma’rifah al-Qur’ân karya KH. Ahmad Sanusi bin Abdurrahman dari Sukabumi, Jawa Barat. Beliau adalah salah satu dari tiga ulama Sunda (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab asli Sunda yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat. Begitu juga ulama plus penyair terkenal, ‘Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karya-karya penting tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan al-Ghazali. Martin Van Bruinessen, peneliti senior dari Belanda, menyebut ketiganya sebagai penulis karya orisinil dan bukan pen-syarah (penyempurna) atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX.
Inilah yang menjadikan kitab Raudhatu al-‘Irfân fi ma’rifati al-Qur’ân sebagai starting point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang kurang respek atas usaha untuk menelorkan karya ilmiah yang utuh. Tidak kurang dari sekian banyak pesantren di ranah parahyangan mempergunakan kitab tafsir ini dalam proses belajar-mengajar. Begitu juga, “pengajian kampungan” di lingkungan masyarakat yang dibimbing oleh para almuni pesantren-pesantren di Jawa Barat, baik yang dilakukan secara rutin maupun pada waktu tertentu.
Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Sunda, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat Sunda umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya.
Pengertian perkata yang ada dalam tafsir ini nampaknya diilhami oleh Tafsîr Jalâlain Karya Jalâluddin al-Suyûthi dan Jalâluddin al-Mahallî yang banyak dipergunakan di lingkungan pesantren di Jawa. Ini terlihat dari awal penafsiran surat al-Fâtihah sampai surat-surat yang sesudahnya. Model Tafsîr Mufradât yang melekat pada tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak atas diri KH. Sanusi ketika menerjemahkan setiap kata dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini yang bisa dilakukan ketika tafsir yang dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi oleh kebanyakan masyakat muslim. Pada kenyataanya, pengguna tafsir ini memang telah terpikat karena gaya penafsiran perkata itu.
Keterangan yang ada di bagian kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu turun, jumlah ayat, serta hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua madzhab itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim waktu itu. Dari sini terlihat bagaimana KH. Sanusi mempunyai maksud tersendiri dalam menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham masyarakat pada umumnya.
Belakangan ini, kita juga menemukan terjemahan Sunda yang diterbitkan dengan lisensi dari MUI Jawa barat. Ada sebagian kalangan yang menduga, bahwa setelah kemunculan tafsir karya KH. Sanusi di atas, kebutuhan masyarakat Sunda atas pengetahun tafsir al-Quran semakin meningkat. Padahal, kemampuan untuk menyerap langsung dari kitab-kitab yang bertuliskan “Arab asli” tidak sebanding dengan kemampuan membaca kitab kuning. Inilah yang kemudian menjadi pemicu untuk menyuguhkan terjemahan al-Quran “versi Sunda” yang banyak dilakukan oleh beberapa penerbit pasca kemunculan karya KH. Sanusi.
Kecuali itu, faktor yang menyebabkan kitab ini banyak dipergunakan oleh masyarakat muslim Sunda, adalah ketokohan penulisnya. KH. Ahmad Sanusi dikenal sebagai pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah, yang bergabung ke dalam Persatuan Ummat Islam (PUI) pada tahun 1952. Beliau pun dikenal sebagai salah satu penganut Tarekat Qadiriyah yang banyak dianut oleh masyarakat pra/pasca kemerdekaan. Bahkan, para pemuda waktu itu kerap meminta ajaran dan kekebalan kepada KH. Sanusi berkaitan dengan terjemahan Manaqib Abdulqadir Jailani sebagai pelopor Tarekat Qadiriyah.
Dalam konteks ini, pertimbangan pilihan karya terlihat dipengaruhi oleh faktor tertentu terlepas dari keberadaan isi yang terkandung di dalamnya. Secara sosiologis, masyarakat muslim – khususnya di pedesaan -- mempunyai tingkat apresiasi tinggi terhadap seorang tokoh yang dikenalnya. Dengan kata lain, cara beragama yang mempunyai ketergantungan tinggi atas kharisma tokohnya. Selipan apresiasi atas karya KH. Sanusi ini pada proses selanjutnya meredup ketika masyarkat Sunda berkembang dan yang jalan adalah kepentingan pragmatis untuk mencerna pesan Qur’ani, tanpa dihubung-hubungkan dengan mitologi atas diri KH. Sanusi sebagaimana kesan di atas.
Berdasarkan reportasi penulis ke beberapa pengguna dan pengajar di wilayah Purwakarta, kelebihan kitab ini teletak pada kemudahan pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulisnya. Meski mempergunakan bahasa Arab dengan bacaan Sunda, tapi para peserta pengajian dapat menyerapnya dengan mudah. Padanan kata yang digunakannya pun, sesuai dengan kosakata keseharian yang mana tidak membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyerap isinya. Begitu juga, pengalih-istilahan arti yang disesuaikan dengan simbol-simbol makna bahasa Sunda, seperti mengartikan kata dzarrah dengan biji sawi, yang diakui dan dikenal sebagai benda yang terkecil dalam tradisi bahasa Sunda.
Dengan demikian, model tafsir yang mempunyai dialektika dengan simbol-simbol makna yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu tertentu mempunyai titik fungsional yang cukup signifikan, sehingga seorang pembaca diajak menelusuri makna yang memang hadir di dalam kehidupannya sehari-hari dan langsung terasa getarannya. Kontekstualisasi tafsir semakin terlihat dalam karya KH. Sanusi manakala membaca setiap arti kata yang berusaha dikorelasikan dengan padanan bahasa Sunda. Dan, beliau berhasil menelorkan karya itu di tengah masyarakat yang haus akan kebutuhan pesan-pesan Qur’ani yang relevan dengan realitas keseharian mereka.
Kitab Tafsir ini merupakan karya monumental dari seseorang yang bergelut lama di dunia belajar-mengajar di lingkungan pesantren. Bacaan atas teks-teks tafsir Arab yang ada di lingkungannya telah menginspirasikan KH. Sanusi untuk membuat sebuah karya yang sampai sekarang banyak dijadikan contoh oleh para pemerhati tafsir, khususnya yang berbahasa Sunda. Dan, mudah-mudahan bisa diikuti oleh tokoh lain dalam menelorkan karya tafsir terbaru. Amiin
Judul : Yahudi & Nasrani Dalam Al-Qur’an, Hubungan Antaragama Menurut Syaikh
Nawawi Banten
Penulis : Asep Muhammad Iqbal
Pengantar : Azyumardi Azra
Volume : 200 h
Cetakan : Pertama, Juli 2004
Penerbit : Teraju
Relasi antara Islam, Yahudi, dan Nasrani telah menyedot perhatian pemikir muslim, mengingat ekses sosial-politik yang berumur ratusan tahun. Sejarah peradaban manusia, mencatat pertentangan antar ketiganya membidani peristiwa kemanusiaan yang memilukan. Sampai sekarang pun, konflik itu mewujudkan dirinya dalam tingkat regional maupun internasional. Konflik yang terjadi hampir melelahkan, sampai batas tertentu terasa menjemukan dan menyulitkan dalam merajut konstruksi sosial-politik yang memadai.
Padahal ketiga agama itu, secara geneologis lahir dari keturunan nabi Ibrahim dan mempunyai titik kesamaan dalam hal ketuhanan dan jaminan untuk keselamatan umat manusia. Hal ini kerap dipopulerkan dengan istilah kamatun sawâ (Comment Platform) yang mengandaikan toleransi, akulturasi, bahkan stimulasi nilai untuk kemanusiaan yang universal. Misi ideal ini kerap menemukan tembok yang memisahkannya dan sulit untuk ditumbangkan.
Buku ini merekam bahasan kritis atas ayat-ayat yang berkaitan dengan Yahudi dan Nasrani dalam Kitab Marah Labîd karya Syaikh Nawawi Banten. Ulama Jâwi ini merupakan mufassir nusantara kedua setelah Abdul Rauf Singkil asal Aceh dengan magnum opus-nya Tarjumân Al-Mustafîd pada abad ke-17. Tiga abad setelahnya lahirlah Marah labîd dari tangan ulama yang hijrah ke tanah suci untuk meraih kebebasan berkarya di tengah himpitan politik kolonial.
Pembahasannya diawali dengan eksodus kaum muslim ke tanah suci tidak hanya bermotiif ibadah haji, tetapi menuntut ilmu dan ditransmisikan ke wilayah periperal nusantara. Syaikh Nawawi yang bermukim di mekkah itu, ternyata punya peran sentral. Dalam bidang Tafsir, marah labîd mempunyai andil besar dalam membentuk pandangan muslim nusantara atas komunitas non-muslim di sekelilingnya.
Bagi Nawawi terdapat empat klasifikasi ayat-ayat yang membahas Yahudi dan Nasrani. Pertama; ayat yang berbicara tentang pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani dengan nabi Muhammad dan umat Islam. Kedua; ayat-ayat yang merspons pertentangan tersebut dan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan kaum muslim. Ketiga; ayat-ayat yang mengkritik kaum Yahudi dan Nasrami. Dan keempat; ayat-ayat yang memuat pandangan-pandangan positif tentang Yahudi dan Nasrani.
Empat kelompok ayat-ayat itu, menurut penulis buku, Asep Muhammad Iqbal, telah menjelaskan bahwa hubungan antaragama (baca: Islam vis a vis Yahudi-Nasrani),sebanarnya telah dirintis oleh kemunitas awal muslim di bawah otoritas Muhammad. Ini dilakukan untuk merajut lanskip sosial-politik Islam awal yang bersendikan toleransi dengan kelompok non-muslim. Meski kemudian hal itu tidak semulus yang diharapkan, karena faktor psyikologis, sosiologis, dan politik. Dengan premis tentang lahirnya nabi harus dari golongan mereka, Islam sebagai agama baru ternyata banyak memikat bangsa arab yang terkenal ganas itu, dan rasa terganggu kepentingan setelah Islam melahirkan kekuatan sosial-politik yang cukup signifikan di wilayah jazirah arab.
Tesis ini berbeda dengan asumsi sementara kalangan bahwa aspek teologis berpengaruh kuat atas pertentangan Islam dan Yahudi-Nasrani. Mengingat perpindahan golongan Yahudi-Nasrani ke Islam lebih disebabkan oleh kayakinan mereka akan datangnya nabi yakni Muhammad plus ajarannya yang diterangkan dalam kitab Taurat maupun injil. Begitu juga pengusiran tiga suku Yahudi di madinah dan indikasi qur’anik untuk tidak menjadikan Yahudi-Nasrani sebagai pelindung dan sekutu kaum muslim.
Kecuali itu, Nawawi menakar Nasrani lebih baik dibandingkan Yahudi. Yang pertama digambarkan sebagai lebih saleh dan konsekuensinya diberi label “orang yang paling dekat cintanya kepada kaum muslim”. Sementara yang terakhir dikatakan sebagai ‘orang yang paling keras permusuhannya kepada kaum muslim.
Meski demikian, pandangan Nawawi berbeda dengan umumnya madzhab syafi’i yang di anut sendiri. Marah Labîd ini bisa dibilang sebagai manifestasi positif dan aktual dengan membolehkan pernikahan antara muslim dan Yahudi-Nasrani. Menyatakan sembelihan kaum Yahudi-Nasrani sebagai yang boleh dikonsumsi oleh kaum muslim sepanjang dilakukan dalam koridor kayakinan ketuhanan mereka.
Buku ini berhasil memetakan persoalan akut yang ada di seputar relasi Islam, Yahudi, dan Nasrani. Sekaligus mengukuhkan hubungan antar agama, yang bisa dirintis, jika saja melihat aspek non-teologis telah berpengaruh kuat atas konflik yang tak bekesudahan itu. Penulisnya juga memberi kita konteks historis tafsir tersebut dengan mengajaknya pada jaringan ulama yang merupakan akar intelektual dari perkembangan pemikiran Islam selama tiga abad terakhir.
Judul Buku : Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar
Penulis : Dr. Yunan Yusuf
Pengantar : Muhammad Quraish Shihab
Penerbit : Pustaka Panjimas
Volume : 206
Cetakan : Januari 1990
“Bagaikan intan, setiap sudutnya (al-Qur’an) memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain,
dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya,
maka ia akan melihat lebih banyak daripada apa yang anda lihat”
(Abdullah Darraz dalam Kitab An-Naba’ al-‘Adzîm)
Kutipan di atas menggambarkan kepada kita bahwa al-Qur’an sebagai sebuat teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasauf, sastra, kalam, dan lainnya.
Buku karya Dr. Yunan Yusuf yang berjudul “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar” ini merupakan studi tentang pengaruh pemikiran kalam atas tafsir al-Qur’an. M. Quraish Shihab dalam pengantar buku ini memuji langkah yang diambil Yunan sebagai sebuah studi baru dan langka di tanah air yang diharapkan bisa meningkatkan apresiasi atas tafsir al-Qur’an dalam hubungannya dengan minat mengkaji dan mendalami al-Qur’an.
Pandangan ini setidaknya terlihat dari kesimpulan yang diambil oleh Yunan bahwa Hamka dalam beberapa tafsirannya atas ayat terkesan sebagai pemikir kalam rasional – untuk tidak mengatakannya cenderung Mu’tazilah – yang memberi tekanan kuat pada kemerdekaan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Sikap teologis ini melahirkan semangat kerja keras dan tidak mau menyerah pada keadaaan dalam diri Hamka, sehingga mematri kredo hidupnya dengan ungkapan “sekali berbakti sesudah itu mati”.
Dalam buku ini Yunan meneliti delapan masalah kalam, yakni: (1) kekuatan akal; (2) fungsi wahyu; (3) free will dan predestination; (4) konsep iman; (5) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan; (6) keadilan Tuhan; (7) perbuatan-perbuatan Tuhan; dan (8) sifat-sifat Tuhan. Semua entri point ini membuktikan bahwa Hamka dalam dua masalah pertama menganut aliran Maturidiyah Bukhara, sedangkan enam masalah terakhir sejalan dengan aliran Mu’tazilah.
Dalam masalah free will dan predestination serta konsep iman, Yunan menemukan
pemikiran Hamka tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Dengan akalnya manusia bisa menimbang mana yang buruk dan mana yang mendatangkan kebaikan. Namun, Hamka tetap mengakui jangkauan takdir sebagai manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Dengan kata lain, secara metaforis bisa dinyatakan bahwa “malam bercermin kitab suci, siang bertongkatkan besi”.
Sejalan dengan itu, konsep iman tidak hanya meniscayakan sekedar tasdiq tetapi juga ma’rifah dan ‘amal. Ini didasarkan pada keberadaan teologi sebagai sebuah paham keagamaan yang akan menentukan bentuk watak sosial penganutnya, serta memberi warna pada tindakan dan tingkah laku dalam setiap aspek kehidupannya, yang pada gilirannya akan memberikan arah pada jalan hidup itu sendiri.
Adapun kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kebebasan memilih (ikhtiyar) berdasarkan pertimbangan akal yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang meniscayakan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak berlaku sepenuhnya. Dengan kata lain, pemberian akal bagi manusia tidak mempunyai arti, bila manusia tidak diberikan kebebasaan untuk memilih.
Sementara, keadilan Tuhan didefinisikan oleh Hamka sebagai balasan atas semua perbuatan manusia, meskipun sebesar zarrah (bentuk terkecil benda) sekalipun. Kezaliman mustahil bagi Allah, walau tidak ada yang kuasa membendung jika memang Allah menghendaki.
Hal ini erat kaitannya dengan keyakinan Hamka bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan terletak pada kewajiban-Nya untuk melakukan yang baik. Paham ini dibangun dari realitas alam semesta yang berlaku atas Hikmah Kebijaksanaan Yang Maha Tinggi. Bila tidak, mungkin sampai sekarang kita tidak bisa hidup dalam siklus kehidupan alam yang berjalan normal dan baik.
Penafsiran Hamka atas Sifat-sifat Tuhan sejalan dengan pemikiran rasional ketika berbicara tentang antropomorfisme. Kata-kata wajh berarti zat Allah dan ridha-Nya, yad adalah kekuasaan dan restu-Nya, yamin berarti hakekat qudrat ilâhiyat-Nya, ja’a rabbuka ditafsirkan dengan telah datang ketentuan atau perintah Tuhan, dan beberapa contah lainnya. Sikap Hamka ini dipengaruhi oleh tafsiran surat Ali Imran ayat 7 bahwa Tuhan tidak melarang untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât (samar).
Adapun dalam masalah ru’yat Allah (melihat Allah), Hamka terlihat menganut paham rasional bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala kelak di akhirat, melainkan dengan mata hati, karena kitapun belum mampu melihat alam semesta, baik yang berada di dalam maupun di luar diri kita sendiri.
Dalam memahami masalah kemahlukan al-Qur’an, Hamka marangkum kedua aliran, baik yang rasional maupun tradisional, dengan kecendrungan untuk menghindarkan diri dari perdebatan ilmu kalam. Hamka menghimbau agar Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah modern tidak bertengkar lagi tentang masalah ini.
Semua pandangan Hamka dalam menafsirkan ayat yang erat kaitannya dengan pemikiran kalam ini berlandaskan pada sikap untuk mencari alternatif atas perdebatan klasik seputar masalah kalam. Ia menyebutnya dengan “jalan tengah”, yakni tidak mempersoalkan secara tajam perbedaan dalam hal tersebut, yang seringkali terjebak pada buaian konflik berkepanjangan tanpa menyuguhkan manfaat praktis bagi umat.
Penulis buku ini sangat hati-hati untuk mengkaim Hamka sebagai penganut Mu’tazilah, karena Hamka selalu menyebut dirinya sebagai penganut ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran kalamnya yang identik dengan pemikiran Mu’tazilah tersebut, kelihatannya lebih dipengaruhi oleh realitas kontemporer yang menuntut tindakan atas dasar rasio serta mendahulukan inisiatif pribadi atas pertimbangan tradisi, atau sikap rasional dengan pijakan kuat pada nash-nash agama. Hal ini dianggap sebagai jalan terbaik untuk memacu berbagai ketertinggalan umat Islam.
Buku ini terbilang sukses mengungkap pemikiran Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kalam. Selain berhasil mensistematisir pokok-pokok masalah kalam, Yunan juga berhasil mengkorelasikannya dengan beberapa pendapat aliran kalam, yang diduga kuat dianut oleh Hamka. Kemungkinan besar, buku ini merupakan “jalan pertama” untuk jadi pemicu bagi para akademisi di bidang studi Qur’an dalam melihat apa yang ada dibalik penafsiran ayat-ayat yang dilakukan oleh para mufassir.
Judul Buku : Al-Quran dan Lautan
Penulis : Agus S. Djamil
Penerbit : Arasy Mizan
Volume : 612
Buku ini mengandaikan diskusi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Bagaimana hubungan antar keduanya ? sejauhmana kebenaran al-Qur'an dan lautan diteropong?, Apa data empiris dari ilmu pengetahuan yang bisa menopang keberadaan ayat-ayat dalam Al-Quran? Apa yang harus dilakukan umat Islam Indonesia ? Lalu bagaimana anggapan yang seharusnya kita bentuk atas lautan itu ?
Dari 6.236 ayat Al-Quran, sedikitnya ada 40 ayat yang secara khusus membicarakan laut, lautan, dan kelautan. Pada beberapa tempat, kata laut yang digunakan dimaksudkan secara simbolis untuk menunjukkan keluasan, terutama dalam konteks pemikiran dan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ayat-ayat Al-Quran tentang lautan ini menunjukkan kepada kita bahwa konstatasi Al-Quran tentang lautan ternyata banyak memiliki kesesuaian dengan hasil observasi dan temuan ilmu pengetahuan modern bidang kelautan. Tetapi tidak semua temuan sains modern sejalan dengan pernyataan Al-Quran.
Dengan pendekatan "paralelistik", Agus S. Djamil mencoba mencari kesejajaran atau paralelitas antara fakta-fakta empiris temuan sains dan ayat-ayat Al-Quran. Buku ini menawarkan metode dan pendekatan bahwa temuan sains dan ayat Al-Quran sesungguhnya menyajikan penjelasan yang saling melengkapi dalam memahami dan menyingkap misteri alam, terutama lautan. Buku ini sangat penting bukan saja bagi para peminat kajian kelautan dan ilmu kebumian (Earthscience), melainkan juga bagi siapa yang ingin memperdalam pemahaman tentang ayat-ayat yang mengungkap tentang pelbagai fenomena alam dan ilmu pengetahuan.
Dialektika Al-Quran dan Lautan sangat menarik dan sekaligus mencengangkan. Ayat yang menuliskan kata laut lebih banyak dibandingkan dengan kata darat. Padahal Al-Quran diturunkan di jazirah arab yang notabene dikelilingi oleh padang pasir. Kenapa tidak banyak bercerita banyak padang pasir sendiri dibandingkan dengan laut. Kata laut berjumlah 33 kali di 32 ayat dan kata darat hanya 13 ayat. Ini mirip dengan analisa bahwa bumi itu sering disebut sebagai planet biru yang hampir 72 %-nya diselimuti lautan dan 28 % daratan.
Anggapan Agus, itulah yang jadi dasar bahwa laut itu merupakan satu hal yang paling penting (some thing really important) dengan penekanan tertentu. Seperti surat al-Jâsyiyah ayat 12 "Allah menundukkan lautan untukmu, supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seidzin-Nya dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur". Laut memang telah ditundukkan untuk kita, dan kemudian kita diminta untuk mencari sebagian karunia-Nya di sana. Kalau dianalisa dengan metodologi fikih (ushûl al-fiqh), buku ini bisa jadi landasan hukum, agar umat islam –khususnya di Indonesia-- bisa menggali dan memanfaatkan laut sebagai sumber rizki.
Kalau dianalisa dengan metodologi fikih (ushûl al-fiqh), buku ini bisa jadi landasan hukum, agar umat islam –khususnya di Indonesia-- bisa menggali dan memanfaatkan laut sebagai sumber rizki. Dalam surat an-nahl ayat 14 terdapat dimensi kelautan yang sangat bagus, 'dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan daripadanya dzat yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan lautan itu perhiasan (mutiara)'. Semua wilayah lautan yang bersuhu panas akan memungkinkan untuk membudidayakan mutiara. Indonesia itu merupakan tempat yang paling baik untuk membudidayakan mutiara.
Pendapat ini setidaknya menepis anggapan bahwa Islam bukan hanya mengajarkan teristerial dan kontinental atau darat, akan tetapi lebih banyak bicara lautan dibandingkan daratan. Begitu juga kalau dianalisa ada hadits yang bemakna 'tuntutlah ilmu walau ke negeri cina', jangan-jangan trackle-nya bukan hanya melalui darat tapi juga melalui lautan. Yang menarik diuungkapkan bahwa jauh sebelum kolombus, ternyata yang mendarat di benua amerika itu ada khaskhas ibnu said ibnu aswad.
Adalah penelitian Jerry Allan dan Bridge yang keduanya ahli kelautan handal, bahwa pusat keanekaragaman hayati di Indonesia dinamakannya ‘parrol tri angle’ yang terletak antara wilayah maluku, banda, dan sulawesi-NTB. Semakin jauh dari wilayah itu, kwalitas keanekaragaman hayati semakin rendah. Begitu juga dalam arus arlindo yang terjadinya percampuran air laut dari samudera pasifik membuat yang namanya ‘nutrian and richment’ yakni pengkayaan unsur hara dari nitrogen, pospor dan lainnyas selalu ada di laut kita. Secara teoritis hal ini akan menghasilkan kesinambungan kekayaan tersebut, seperti halnya keberadaan minyak di arab saudi yang terus mengalir.
Terdapat 'penafsiran baru' tentang al-bahrul masjûr', dengan makna 'laut yang dipenuhi oleh api'. Pendapat ini sepanjang penelusuran literatur belum pernah muncul dalam beberapa karya tafsir. Begitu juga 'lulu wal marjân' dan 'al-bahrain', yang dianggap dua laut bukan laut dan sungai. Juga kata 'Masjûr' ditafsirkan beragam oleh ulama, meski pada umumnya ditafsirkan dengan 'bergelora apimu', karena salah satu sifatnya kalau dia berkobar bagaikan begelombang.
Itu semua disebabkan dari segi bahasa penafsiran-penafsiran itu semua bisa diterima, apalagi kita mengetahui bahwa satu kata bisa diartikan dalam pengertian hakikinya dan metafor (perumpamaan). Laut dan sungai saja dari kalimat 'bainahuma barzahun la yabghiyân' secara metaforis bermakna 'bercampur orang kafir dengan orang mukmin, tapi ada pemisah antara keduanya yakni nilai-nilai agama'. Para sufi akan menafsirkan 'bahrain' bukan lautan dan sungai, tapi orang yang ahli geo secience akan lain Nah, di sinilah signifikansi buku ini dengan memposisikan Al-Quran sesuai dengan kecendrungan dan atau disiplin penulisnya.
Mudah-mudahan buku ini bisa memberikan ilham, semangat, dan menjadi gregetan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan kita. Ini dilakukan untuk meraih kemakmuran dan kemajuan bagi bangsa Indonesia, di sektor kelautan dengan ridho Allah swt.(MSadili)
Judul Buku : Cahaya Al-Qur’an; Tafsir Tematik Surat al-Baqarah sampai al-An’am
Penulis : Muhammad Ali Ash-Shabuny
Penterjemah : Kathur Suhardi
Penerbit : Pustaka al-Kautsar
Volume : 390
Cetakan : Kedua Maret 2002
Al-Qur’an adalah kitab yang tidak pernah membosankan, walau ribuan orang membaca dan mengkajinya berulang kali. Sebuah kitab suci yang tidak pernah dirasa kenyang oleh para ulama untuk mendalaminya dan tidak pernah terhenti keajaiban-keajaiban yang terkuak darinya. Bahkan, semakin banyak orang membahas dengan berbagai latar belakang yang berbeda, seperti latar belakang keilmuan, madzhab, kecendrungan, dan lingkungan yang meliputinya, justru semakin memperkaya khasanah ilmu dan pemahaman terhadap al-Qur’an, selama semua itu didasarkan atas landasan dan kaidah-kaidah yang dibenarkan.
Salah satu metode tafsir yang dikenal dalam khazanah ulumul al-Qur’an adalah tafsir maudhu’i, yakni metode menafsirkan al-Qur’an yang dilakukan secara tematis. Biasanya ini didasarkan pada keinginan mufassir untuk menjawab tantangan sosial-budaya masyarakat tertentu yang diulas dengan penjelasan yang mudah dicerna.
Buku “Cahaya Al-Qur’an” yang diterjemahkan dari buku aslinya Qabasun min Nur al-Qur’an merupakan karya tafsir Muhammad Ali Ash-Shabuny yang menggunakan pendekatan tafsir tematik. Selain itu, juga ada Rawai’ al-Bayan Tafsîr ayât fi Ahkâm min al-Qur’an, yang khusus membahas tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum, dan Shafwat at-Tafasir, yang bisa diartikan dengan “Tafsir-tafsir pilihan”.
Dalam buku yang terdiri dari surat al-Baqarah sampai dengan Al-An’am ini, Ali Ash-Shabuny membagi klasifikasi penafsirannya dengan judul-judul tertentu, seakan menyarankan pembaca untuk mencerna pesan al-Qur’an secara bertahap. Setiap surat tidak disajikan sebagaimana buku-buku tafsir dalam ulasannya, melainkan dipecah berdasarkan pertimbangan makna-makna yang tercakup di dalamnya.
Sebelum mengulas surat, penulis buku tidak lupa membubuhi pendahuluan sebagai pengantar sebelum memasuki tahapan rinci yang sistematis tadi. Surat al-Baqarah misalnya, menurut Ali ash-Shabuny, dipenuhi dengan penetapan-penetapan syariat. Ini karena kedudukannya sebagai surat Madaniyah yang menitikberatkan pada sisi petunjuk, pengarahan, dan penetapan syariat, juga kondisi sosial-politik yang diwarnai dengan interaksi intensif antara umat Islam pada satu sisi dan non muslim -- Ahli Kitab pertama (Yahudi) -- pada sisi lain, yang meniscayakan pengetahuan yang mumpuni untuk menghadapi kemungkinan buruk sekalipun.
Surat Ali ‘Imran mempunyai dua sendi yang fundamental yakni: pertama, sendi akidah Islam yang suci disertai penyebutan beberapa dalil dan bukti keterangan tentang keesaan Allah, kenabian, dan penetapan kebenaran al-Qur’an yang diturunkan Allah, serta bantahan atas Ahli Kitab (Yahudi); Kedua, sendi syari‘at, khususnya yang berkaitan dengan hukum-hukum jihad fî sabilillah, karena komunitas Ahli Kitab kedua (Nasrani) yang beseberangan dengan Nabi dalam masalah Isa al-Masih (baca: Trinitas).
Surat an-Nisa’ merupakan surat Madaniyah, yang berisi berbagai hukum syari’at, yang mengatur urusan-urusan internal dan eksternal kaum muslimin, yakni keluarga, wanita, rumah tangga, negara, dan masyarakat. Hanya saja, banyak diwarnai oleh masalah yang berkaitan dengan hak & kewajiban perempuan yang menyebabkan para ulama pernah menyebutnya dengan “surat an-Nisa’ al-Qubra”, berbeda dengan surat ath-Thalaq dengan istilah “surat an-Nisa’ ash-Sughra” karena sedikitnya bahasan tentang perempuan.
Adapun surat al-Maidah termasuk surat Madaniyah yang berisi tentang sisi pensyariatan secara terperinci dan terurai dalam masalah mu’amalat, ibadah, dan munakahat. Selain itu, juga terdapat kisah Nabi Musa bersama kaum Israel, khabil-qabil, dan kisah hidangan (al-Maidah) sebagai salah satu mu’jizat Isa putra Maryam, yang ditampakkan Allah lewat tangannya di hadapan Hawariyin. Kisah terakhir inilah yang menyebabkan penamaan surat al-Maidah.
Kemudian, surat al-An‘am termasuk surat yang cukup panjang dan dikategorikan dalam surat Makiyah, yang berisi tentang akidah atau dasar-dasar keimanan yang meliputi masalah uluhiyah (ketuhanan), risalah (kenabian), wahyu, kebangkitan, dan pembalasan. Surat ini kontras dengan surat Madaniyah yang lebih banyak memperhatikan masalah hukum syariat dan mengatur urusan kehidupan orang-orang muslim. Penuturannya pun menggunakan gaya bahasa penetapan dan penyampaian, sebagai kiat untuk menghadapi orang-orang musyrik Makkah yang menolak keras kedatangan Islam.
Dengan meminjam analisa Syaikh Abul Hasan Ali al-Hasany an-Nadwy, mantan direktur Nadwah Ulama di Lucknow, bahwa trend ilmiah pada masa awal Islam berkisar pada penulisan cabang-cabang ilmu pengetahuan dan mirip ensiklopedi, penulis mengira buku ini mempunyai andil dalam peletakan metode tafsir termatik, ketika kesibukan menyita mayoritas manusia modern yang pada gilirannya lebih suka mencerna segala informasi – termasuk pengetahuan agama -- secara instan.
Buku ini secara sengaja dibuat untuk menanggulangi kondisi modernitas tersebut. Ali ash-Shabuny mengakui bahwa buku-buku tafsir yang berjilid-jilid dengan penjelasan ayat demi ayat dan kata demi kata, ditambah dengan sudat pandang balaghah (gaya bahasa) atau pendekatan lainnya, terlihat njlimet dan tidak praktis. Karenanya, meniscayakan kelahiran buku tafsir yang sederhana, ringan, mudah dibaca dan dipahami, serta tidak bertele-tele. Ini pula yang menginspirasikan Kathur Suhardi untuk menerjemahkannya.
Kathur Suhardi menilai kelebihan buku ini, terletak pada penyajiannya yang bersifat tematik, dengan cara mengkompromikan antara riwayat kalangan salaf dan ijtihad ulama khalaf, sehingga tersaji sebuah tafsir al-manqul wa al-ma’tsur. Dengan kata lain, pembaca diajak untuk melihat dua warna yang bersamaan.
Akan tetapi, karena buku ini merupakan terjemahan kemungkinan besar bisa terjadi reduksi makna sebagaimana yang dikehendaki oleh penulis aslinya. Sebagai sebuah upaya penyebaran ilmu pengetahuan, hal ini tetap mempunyai peran tidak sedikit di tengah masyarakat muslim yang masih kesulitan memahami bahasa Arab yang digunakan dalam buku aslinya. Tinggal berusaha keras dengan terus mengonfirmasi kepada yang mengerti bahasa Arab dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan akan buku terjemahan. Inilah upaya untuk mengurangi akibat buruk dari resiko penerjemahan dari sekian banyak buku yang ada di tanah air.
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Volume : 190 H.
Cetakan : Pertama, Rabiul Awwal 1427/April 2006
Kritik atas karya tafsir menjadi penting kaitannya dengan posisi penafsiran sebagai penentu dalam memahami ayat al-Quran. Kita akan kesulitan memahami al-Quran tanpa bantuan penafsiran atas al-Quran yang telah ada, baik itu berupa hadits, atsar sahabat, dan pamahaman para ulama setelahnya. Trend penggunaan hermeneutika sebagai manhaj tafsir pun, dalam batas tertentu tetap mengandalkan piranti kebahasaan yang notabene telah ada dalam tradisi ulûm al-Qurân.
Dalam buku ini, M. Quraish Shihab mengkritisi tafsir al-Manar karangan Abduh dan Rasyid Ridha, sebagai salah satu kitab tafsir populer di kalangan peminat studi al-Quran. Baginya, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan setiap hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat intelegensi, kecendrungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya (hal. 1).
Dengan mengetengahkan dua tokoh tersebut di bidang tafsir al-Quran, metoda dan penafsirannya serta keistimewaan dan kelemahannya masing-masing, penulis buku ini berharap hasil-hasil pemikiran mereka dapat lebih dipahami dan dimanfaatkan (hal. 2).
Syaik Muhammad Abduh dibahas secara sistematis. Ini meliputi masalah pendidikan, lingkungan, fokus pemikiran, karya-karyanya dalam tafsir, pandangannya tentang kitab tafsir dan penafsiran ulama, corak penafsiran, ciri-ciri penafsiran, dan ditutup dengan beberapa catatan penting tentang pemikiran Muhammad Abduh.
Pendekatan tafsir tanpa banyak mempergunakan referensi ulama-ulama sebelumnya, menurut Abduh, merupakan jalan strategis untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia. Sebagian karya tafsir sebelumnya, bagi Abduh, tekesan menjaga jarak dengan realitas sosial masyarakat dan berteduh di balik paparan perbedaan ulama ketika menafsirkan ayat Al-Quran. ”Sebagian dari kitab tafsir sedemikian gersang dan kaku, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata.....” (hal .20-21). Ini tak lebih dari latihan praktis dalam bidang bahasa.
Oleh karena itu, M. Quraish menilik sikap kritis Abduh dalam hal menentang dan memberantas taqlid, tidak memerinci pesoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas), penerimaan hadits-hadits, pendapat sahabat dan israiliyyat, serta berusaha mengaitkan al-Quran dengan kehidupan (hal. 51-67).
Lain lagi dengan Muhammad Rasyid Ridha. Kecuali membahasnya dari segi autobiograpi, juga pertemuannya dengan Abduh yang menyebabkan lahirnya majalah al-Manar yang direproduksi menjadi kitab tafsir itu.
Tipikal Ridha dalam menafsirkan Al-Quran meliputi keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkannya dengan hadits-hadits nabi, Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat (hukum, perbandingan agama, sunnatullah, dan ilmu pengetahuan), penafsiran ayat dengan ayat, dan keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi (hal. 117-137).
Sementara itu, M. Quraish juga menunjukkan sikap kritisnya atas kekeliruan Ridha dalam menanggapi pemikiran Abduh, Thabari, ar-Razi, Zamahsyari, al-Baidhawi, al-Alusi, dan as-Sayuthi, dan penafsir-penafsir lainnya (hal. 143-174).
Pada bagian akhir buku ini ditegaskan, Tafsir Al-Manar berusaha menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya. Ini terlihat dari anjuran untuk menghindari prakonsepsi dalam menafsirkan ayat, memfungsikan tujuan utama Al-Quran sebagai petunjuk atas problem-problem mendesak, dan menampilkan al-Quran yang ramah dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dan sikap kritis atas karya tafsir itu, sedianya diikuti oleh setiap peminat studi al-Quran, terhadap Tafsir Al-Manar sekalipun. (msadili)
Judul Buku : Logika Agama, Kedudukan Wahyu & Batas-batas Akal dalam Islam
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati Jakarta
Volume : 232 h
Cetakan : Pertama, Ramadhan 1426H/Juli 2005M
Judul buku ini mengingatkan kita pada sebuah hadis – lepas dari perebatan tentang kualitasnya -- yang memuat relasi agama dan akal, “Agama adalah akal, dan tidak ada (tidak dianggap ber-) agama siapa yang tidak memiliki akal”. Sebagian ajaran agama memang dapat dimengerti oleh akal, tapi tidak sedikit yang masih menyimpan misteri kalau kita pikirkan. Para ulama klasik biasanya membagi ajaran agama menjadi dua; pertama dapat dimengerti oleh akal (amrun ta’aqquli) dan kedua sangat sulit –untuk tidak mengatakannya mustahil-- diterima oleh akal kita (amru ta’abbudi), harus diyakini thus diamalkan saja.
M. Quraish Shihab yang ‘berdialog’ dengan ‘Maha Guru’-nya, dalam buku ini, menyinggung persoalan itu ketika membahas term ‘Islam Berkembang’ (h. 28). Diskusinya mencoba mendudukkan Islam secara proporsional ketika berhadapan dengan perubahan sosial. Kata berkembang (mutathawwir) bermaknakan Islam bisa diterapkan di semua waktu dan tempat. Namun, harus tetap diingat bahwa perubahan itu terbatas pada penafsiran yang kemudian melahirkan ragam ilmu pengetahuan, bukan pada teks keagamaan sebagai dasar agama itu sendiri.
Agama dan akal berusaha dijernikan dengan mendefinisikan akal dahulu. Akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Akal menjadi potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat –sebagaimana arti dari bahasa arabnya—yang menghalangi seseorang dari terjerumus dalam dosa dan kesalahan (h. 88). Akal yang dianggap sebagai potensi manusia yang mampu menjangkau dan memahami semua persoalan, merupakan kekeliruan identifikasi. Karena tidak semua persoalan agama dapat dimengerti oleh akal.
Ketegangan akal dan wahyu terjadi karena ‘kurang memahami’ otoritas wahyu. Seseorang yang berpijak pada wahyu lalu menggunakan akalnya untuk memahaminya berbeda dengan seseorang yang berpijak dengan akalnya lalu menggunakannya untuk memahami wahyu (h. 97). Yang pertama menjadikan wahyu sebagai pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkah wahyu kepada akalnya (Ibid). Yang pertama adalah sikap menyerahkan diri kepada wahyu, sedangkan yang kedua mengalihkan wahyu tunduk kepada akal yang pada gilirannya melahirkan ta’wîl yang sesuai selera akal walau bukan pada tempatnya.
Implikasi teologis dari posisi akal atas wahyu ini adalah berserah diri atas segala ketentun Allah SWT (taqdîr). Hanya saja, tidak sepadan dengan apa yang didengungkan oleh paham jabariyyah (fatalistik) yang cendrung menerima apa adanya. Tidak pula sama dengan paham qadariyyah (free will) yang menempatkan peran manusia dalam kehiduapan di atas segala-galanya. Manusia itu mampu berpindah dari satu taqdir Tuhan kepada taqdir Tuhan lain yang lebih lebih baik, dengan tetap diiringi berserah diri atas ketentuan-Nya.
Setelah itu, kita diajak untuk menempuh ‘jalur pencerahan batin’ menuju wujud rohani manusia yang kerap dilupakan oleh setiap orang. Dengan berusaha menyisihkan waktu sebentar dengan merenung, akan mendapat bisikan hati yang terdalam, mengenal kebenaran mutlak yang dirindukan rohani itu. Ia adalah pengabdian karena cinta kepada-Nya, sesama manusia, lingkungan dan dirinya sendiri.
Caranya dengan menempuh jalur irâdah yaitu kehendak/tekad yang meminta afirmasi kepada setiap individu atas apa yang ingin dilakukan, sehingga dapat menghasilkan kemampuan. Kemampuan itu perlu diusahakan terus menerus dengan jalan latihan-latihan (riyâdah). Dalam al-Quran padanan riyâdah itu adalah mujâhadah yang seakar dengan jihâd. Mujâhadah adalah menggunakan seluruh kemampuan secara bersungguh-sungguh untuk melawan musuh, terutama yang terdekat dalam diri manusia, yaitu nafsunya yang mendorong kepada kerendahan dan keburukan (h. 162).
Adapun penentuan mursyid atau guru spiritual dalam tradisi tasauf karena representasi ilmu dan ma’rifah bagi orang yang akan menempuh ‘jalur pencerahan batin’ tersebut. Relasi wali dan kekeramatan yang hadir dalam persepsi banyak orang belum tentu benar. Karena seorang wali tidak mutlak memiliki kekeramatan dan sebaliknya siapa pun yang memiliki kekuatan magis belum tentu wali dan tidak juga karena ketakwaannya (h. 201).
Buku ini menyuguhkan persoalan agama dan akal yang terbilang rumit itu dengan tutur fragmental yang membuat nyaman setiap orang yang membacanya. Analisis persoalan dimulai dengan presentasi definisi menurut; bahasa, istilah, dan ragam penafsiran yang hadir dari ulama-ulama ternama timur tengah.
Judul Buku : Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : XIII, Muharram 1424 H./Maret 2003 M.
Volume : 597
Dalam ulûm al-Qur’ân, setidaknya dikenal batasan sederhana tentang metode tafsîr tahlîlî yaitu metode menyuguhkan makna al-Qur’an dengan menjelaskan secara berurutan dari ayat pertama surat al-Fâtihah sampai akhir surat an-Nâs, sedangkan metode yang berusaha menyuguhkan makna al-Qur’an dengan klasifikasi tema-tema tertentu berdasarkan ayat-ayat yang mendukung tema tersebut disebut tafsîr maudhû’i.
Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tafsîr tahlîli diumpamakan seperti prasmanan yang bebas memilih jenis makanan mana yang diminati, namun dengan catatan, waktu yang dibutuhkan lama dan meminta energi lebih untuk memilih mana yang sesuai dengan selara makan kita. Adapun tafsîr maudhû’i diumpamakan seperti hidangan satu jenis makanan tertentu yang disediakan oleh tuan rumah agar tidak merepotkan tamunya. Tetapi, tuan rumah harus berusaha keras untuk menyuguhkan jenis makanan favorit yang belum tentu sesuai dengan selera sang tamu.
Metode tafsîr maudhûi ini semenjak tahun 1960-an ternyata memikat para pembaca berkaitan dengan keterbatasan ruang dan waktu dalam mengakses kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsîr tahlîlî. Suguhan secara tematik ternyata bisa memenuhi kehausan pembaca akan nilai-nilai Qur’ani di tengah himpitan kesibukan dan keinginan untuk serba cepat mengakses kebutuhan hidupnya.
Tidak heran, bila buku tafsir yang bercorak tematik ini ada yang menjadi best seller, bahkan menginspirasikan penerbitan buku sejenis lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah M. Quraish Shihab, yang mencatat sukes dengan karyanya “Membumikan al-Qur’an” yang diterbitkan oleh Mizan, yang kemudian dilanjutkan dengan peluncuran buku keduanya, “Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat”. Buku inipun mendapat respon pembaca yang tidak kalah rendah dari buku sebelumnya.
Sepertinya, ada fenomena menarik berkaitan dengan kebutuhan nilai–nilai Qur’ani yang berjalan di masyarakat. Asumsi yang diilustrasikan di atas mendapat justifikasinya -- paling tidak untuk kasus buku ini – bahwa penyelesaian problem umat lewat injeksi nilai-nilai Qur’ani ternyata memerlukan piranti yang tepat guna. Kecuali itu, alasan lain, sehubungan dengan kapabilitas penulisnya sebagai doktor tafsir pertama dari Asia Tenggara dengan peringkat yudisium summa cum laude di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Sehingga, argumen yang menyangga tiap ulasan materi di dalamnya terbilang otoritatif.
Buku ini pada awalnya merupakan makalah penulis selama mengisi “Pengajian Istiqlal untuk Para Eksekutif” yang kebanyakan pesertanya berasal dari kalangan pejabat pada instansi pemerintah maupun swasta. Nampaknya, dengan pertimbangan keterbatasan ruang dan waktu karena “khusus” untuk para eksekutif itu, maka dibuatlah menjadi buku agar bisa lebih ‘merakyat’, di samping mengingat tanggapan akan buku pertamanya, “Membumikan al-Qur’an”, yang bercorak tematik itu, yang ternyata bisa memasyarakat dengan gemilang.
Kesan pertama setelah membaca buku ini, kecuali terletak pada luasnya referensi yang dilakukan oleh penulis, baik dari ulama klasik maupun ulama kontemporer, juga cara penyampaiannya yang bersifat deskriptif, analitis, dan argumentatif. Apabila mengajukan pendapatnya sendiri, itupun dengan mempergunakan bahasa yang bersifat metaforis dan tidak menggurui. Pembaca seperti berada dalam ruang diskusi yang kondusif dengan suguhan pembahasan yang begitu lugas dan enak dicerna.
Dalam konteks ini, kemungkinan besar M. Quraish Shihab dipengaruhi oleh pesan Prof. Arkoun, ulama asal al-Jazair yang menyampaikan pesannya via Soetjipto Wirosardjono, agar dirinya bersikap ‘rendah hati’ dalam mempergunakan metode tafsir maudû’î ketika membedah kandungan al-Qur’an. Ini dimaksudkan agar tidak tergelincir, mengingat tingkat keriskanan dalam mempergunakan metode tafsîr maudû’î di antara himpitan kesibukan dan keletihan.
Terlepas dari itu, anatomi pembahasan yang ada dalam buku ini cukup representatif untuk menyuplai pembentukan nilai-nilai Qur’ani di tanah air. Klasifikasi materi tidak disuguhkan secara ketat, seperti karya buku yang memang dari awal sudah didesain sebagai bahasan yang bersifat runtut. Dalam buku ini, karena asalnya dari kumpulan makalah yang tercerai berai, klasifikasi dari setiap bab dan sub bab-nya dibiarkan cair, yang tentu saja dengan tetap memperhatikan batasan-batasan umum setiap babnya.
Bagian Pertama tentang pokok keimanan, yang diisi dengan pembahasan seputar masalah al-Qur’an, Tuhan, Nabi Muhammad, Takdir, Kematian, Hari Akhirat, dan ditutup dengan materi tentang Keadilan dan Kesejahteraan. Bagian Kedua yang membicarakan tentang kebutuhan pokok manusia dan soal-soal hubungan sosial (muamalah) dipecah menjadi sub tema Makanan, Pakaian, Kesehatan, Pernikahan, Syukur, Halal bi halal, dan Akhlak. Bagian Ketiga berisi tentang masalah kemanusiaan dan masyarakat, yang meliputi bahasan mengenai Manusia, Perempuan, Masyarakat, Umat, Kebangsaan, dan Ahli Kitab. Bagian Keempat mengetahkan aspek-aspek kemanusiaan yang berisi sub bahasan tentang Agama, Seni, Ekonomi, Politik, Ilmu dan Teknologi, Kemiskinan, dan Masjid. Yang terakhir, Bagian Kelima, berisi wawasan al-Qur’an tentang persoalan penting umat yang meliputi masalah Musyawarah, Ukhuwah, Jihad, Puasa, Lailatul Qadar, dan Waktu.
Ada baiknya, setelah membaca buku ini, membandingkannya dengan menelaah lebih lanjut tafsîr tahlîli-nya M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, yang telah rampung 30 juz. Tiada lain, hal ini sebagai cross ceck dan komparasi pemahaman. Nantinya akan terlihat, apa sebenarnya yang membedakan dari kedua corak tafsir yang dikarang oleh satu orang sekaligus. Dan, terakhir, selamat membaca !
PERNIK TAFSIR SUNDA KH. SANUSI DARI SUKABUMI JABAR
Membicarakan karya tafsir di Indonesia, kerap berangkat dari corak penafsiran yang terkandung di dalamnya. Ini berkaitan dengan cara penyampaian dan klasifikasi materi yang bermuara pada sejauhmana karya tafsir mudah dipahami oleh para peminatnya. Begitu juga, bagaimana kelebihan satu karya tafsir dengan yang lainnya. Hanya saja, biasa dibatasi dengan karya tafsir yang berhasa Arab dan atau Indonesia. Kita jarang menemukan –untuk tidak menyebutnya tidak ada-- telaah kritis atas karya tafsir yang menggunakan bahasa daerah tertentu. Studi tersebut sangat penting untuk melihat sejauhmana penetrasi karya tafsir yang berbahasa Arab dengan kondisi sosial-budaya yang mengitarinya.
Salah satu karya tafsir yang dikenal di masyarakat Sunda adalah kitab Raudhah al-‘Irfân fi ma’rifah al-Qur’ân karya KH. Ahmad Sanusi bin Abdurrahman dari Sukabumi, Jawa Barat. Beliau adalah salah satu dari tiga ulama Sunda (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab asli Sunda yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat. Begitu juga ulama plus penyair terkenal, ‘Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karya-karya penting tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan al-Ghazali. Martin Van Bruinessen, peneliti senior dari Belanda, menyebut ketiganya sebagai penulis karya orisinil dan bukan pen-syarah (penyempurna) atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX.
Inilah yang menjadikan kitab Raudhatu al-‘Irfân fi ma’rifati al-Qur’ân sebagai starting point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang kurang respek atas usaha untuk menelorkan karya ilmiah yang utuh. Tidak kurang dari sekian banyak pesantren di ranah parahyangan mempergunakan kitab tafsir ini dalam proses belajar-mengajar. Begitu juga, “pengajian kampungan” di lingkungan masyarakat yang dibimbing oleh para almuni pesantren-pesantren di Jawa Barat, baik yang dilakukan secara rutin maupun pada waktu tertentu.
Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Sunda, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat Sunda umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya.
Pengertian perkata yang ada dalam tafsir ini nampaknya diilhami oleh Tafsîr Jalâlain Karya Jalâluddin al-Suyûthi dan Jalâluddin al-Mahallî yang banyak dipergunakan di lingkungan pesantren di Jawa. Ini terlihat dari awal penafsiran surat al-Fâtihah sampai surat-surat yang sesudahnya. Model Tafsîr Mufradât yang melekat pada tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak atas diri KH. Sanusi ketika menerjemahkan setiap kata dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini yang bisa dilakukan ketika tafsir yang dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi oleh kebanyakan masyakat muslim. Pada kenyataanya, pengguna tafsir ini memang telah terpikat karena gaya penafsiran perkata itu.
Keterangan yang ada di bagian kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu turun, jumlah ayat, serta hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua madzhab itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim waktu itu. Dari sini terlihat bagaimana KH. Sanusi mempunyai maksud tersendiri dalam menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham masyarakat pada umumnya.
Belakangan ini, kita juga menemukan terjemahan Sunda yang diterbitkan dengan lisensi dari MUI Jawa barat. Ada sebagian kalangan yang menduga, bahwa setelah kemunculan tafsir karya KH. Sanusi di atas, kebutuhan masyarakat Sunda atas pengetahun tafsir al-Quran semakin meningkat. Padahal, kemampuan untuk menyerap langsung dari kitab-kitab yang bertuliskan “Arab asli” tidak sebanding dengan kemampuan membaca kitab kuning. Inilah yang kemudian menjadi pemicu untuk menyuguhkan terjemahan al-Quran “versi Sunda” yang banyak dilakukan oleh beberapa penerbit pasca kemunculan karya KH. Sanusi.
Kecuali itu, faktor yang menyebabkan kitab ini banyak dipergunakan oleh masyarakat muslim Sunda, adalah ketokohan penulisnya. KH. Ahmad Sanusi dikenal sebagai pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah, yang bergabung ke dalam Persatuan Ummat Islam (PUI) pada tahun 1952. Beliau pun dikenal sebagai salah satu penganut Tarekat Qadiriyah yang banyak dianut oleh masyarakat pra/pasca kemerdekaan. Bahkan, para pemuda waktu itu kerap meminta ajaran dan kekebalan kepada KH. Sanusi berkaitan dengan terjemahan Manaqib Abdulqadir Jailani sebagai pelopor Tarekat Qadiriyah.
Dalam konteks ini, pertimbangan pilihan karya terlihat dipengaruhi oleh faktor tertentu terlepas dari keberadaan isi yang terkandung di dalamnya. Secara sosiologis, masyarakat muslim – khususnya di pedesaan -- mempunyai tingkat apresiasi tinggi terhadap seorang tokoh yang dikenalnya. Dengan kata lain, cara beragama yang mempunyai ketergantungan tinggi atas kharisma tokohnya. Selipan apresiasi atas karya KH. Sanusi ini pada proses selanjutnya meredup ketika masyarkat Sunda berkembang dan yang jalan adalah kepentingan pragmatis untuk mencerna pesan Qur’ani, tanpa dihubung-hubungkan dengan mitologi atas diri KH. Sanusi sebagaimana kesan di atas.
Berdasarkan reportasi penulis ke beberapa pengguna dan pengajar di wilayah Purwakarta, kelebihan kitab ini teletak pada kemudahan pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulisnya. Meski mempergunakan bahasa Arab dengan bacaan Sunda, tapi para peserta pengajian dapat menyerapnya dengan mudah. Padanan kata yang digunakannya pun, sesuai dengan kosakata keseharian yang mana tidak membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyerap isinya. Begitu juga, pengalih-istilahan arti yang disesuaikan dengan simbol-simbol makna bahasa Sunda, seperti mengartikan kata dzarrah dengan biji sawi, yang diakui dan dikenal sebagai benda yang terkecil dalam tradisi bahasa Sunda.
Dengan demikian, model tafsir yang mempunyai dialektika dengan simbol-simbol makna yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu tertentu mempunyai titik fungsional yang cukup signifikan, sehingga seorang pembaca diajak menelusuri makna yang memang hadir di dalam kehidupannya sehari-hari dan langsung terasa getarannya. Kontekstualisasi tafsir semakin terlihat dalam karya KH. Sanusi manakala membaca setiap arti kata yang berusaha dikorelasikan dengan padanan bahasa Sunda. Dan, beliau berhasil menelorkan karya itu di tengah masyarakat yang haus akan kebutuhan pesan-pesan Qur’ani yang relevan dengan realitas keseharian mereka.
Kitab Tafsir ini merupakan karya monumental dari seseorang yang bergelut lama di dunia belajar-mengajar di lingkungan pesantren. Bacaan atas teks-teks tafsir Arab yang ada di lingkungannya telah menginspirasikan KH. Sanusi untuk membuat sebuah karya yang sampai sekarang banyak dijadikan contoh oleh para pemerhati tafsir, khususnya yang berbahasa Sunda. Dan, mudah-mudahan bisa diikuti oleh tokoh lain dalam menelorkan karya tafsir terbaru. Amiin
Judul : Yahudi & Nasrani Dalam Al-Qur’an, Hubungan Antaragama Menurut Syaikh
Nawawi Banten
Penulis : Asep Muhammad Iqbal
Pengantar : Azyumardi Azra
Volume : 200 h
Cetakan : Pertama, Juli 2004
Penerbit : Teraju
Relasi antara Islam, Yahudi, dan Nasrani telah menyedot perhatian pemikir muslim, mengingat ekses sosial-politik yang berumur ratusan tahun. Sejarah peradaban manusia, mencatat pertentangan antar ketiganya membidani peristiwa kemanusiaan yang memilukan. Sampai sekarang pun, konflik itu mewujudkan dirinya dalam tingkat regional maupun internasional. Konflik yang terjadi hampir melelahkan, sampai batas tertentu terasa menjemukan dan menyulitkan dalam merajut konstruksi sosial-politik yang memadai.
Padahal ketiga agama itu, secara geneologis lahir dari keturunan nabi Ibrahim dan mempunyai titik kesamaan dalam hal ketuhanan dan jaminan untuk keselamatan umat manusia. Hal ini kerap dipopulerkan dengan istilah kamatun sawâ (Comment Platform) yang mengandaikan toleransi, akulturasi, bahkan stimulasi nilai untuk kemanusiaan yang universal. Misi ideal ini kerap menemukan tembok yang memisahkannya dan sulit untuk ditumbangkan.
Buku ini merekam bahasan kritis atas ayat-ayat yang berkaitan dengan Yahudi dan Nasrani dalam Kitab Marah Labîd karya Syaikh Nawawi Banten. Ulama Jâwi ini merupakan mufassir nusantara kedua setelah Abdul Rauf Singkil asal Aceh dengan magnum opus-nya Tarjumân Al-Mustafîd pada abad ke-17. Tiga abad setelahnya lahirlah Marah labîd dari tangan ulama yang hijrah ke tanah suci untuk meraih kebebasan berkarya di tengah himpitan politik kolonial.
Pembahasannya diawali dengan eksodus kaum muslim ke tanah suci tidak hanya bermotiif ibadah haji, tetapi menuntut ilmu dan ditransmisikan ke wilayah periperal nusantara. Syaikh Nawawi yang bermukim di mekkah itu, ternyata punya peran sentral. Dalam bidang Tafsir, marah labîd mempunyai andil besar dalam membentuk pandangan muslim nusantara atas komunitas non-muslim di sekelilingnya.
Bagi Nawawi terdapat empat klasifikasi ayat-ayat yang membahas Yahudi dan Nasrani. Pertama; ayat yang berbicara tentang pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani dengan nabi Muhammad dan umat Islam. Kedua; ayat-ayat yang merspons pertentangan tersebut dan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan kaum muslim. Ketiga; ayat-ayat yang mengkritik kaum Yahudi dan Nasrami. Dan keempat; ayat-ayat yang memuat pandangan-pandangan positif tentang Yahudi dan Nasrani.
Empat kelompok ayat-ayat itu, menurut penulis buku, Asep Muhammad Iqbal, telah menjelaskan bahwa hubungan antaragama (baca: Islam vis a vis Yahudi-Nasrani),sebanarnya telah dirintis oleh kemunitas awal muslim di bawah otoritas Muhammad. Ini dilakukan untuk merajut lanskip sosial-politik Islam awal yang bersendikan toleransi dengan kelompok non-muslim. Meski kemudian hal itu tidak semulus yang diharapkan, karena faktor psyikologis, sosiologis, dan politik. Dengan premis tentang lahirnya nabi harus dari golongan mereka, Islam sebagai agama baru ternyata banyak memikat bangsa arab yang terkenal ganas itu, dan rasa terganggu kepentingan setelah Islam melahirkan kekuatan sosial-politik yang cukup signifikan di wilayah jazirah arab.
Tesis ini berbeda dengan asumsi sementara kalangan bahwa aspek teologis berpengaruh kuat atas pertentangan Islam dan Yahudi-Nasrani. Mengingat perpindahan golongan Yahudi-Nasrani ke Islam lebih disebabkan oleh kayakinan mereka akan datangnya nabi yakni Muhammad plus ajarannya yang diterangkan dalam kitab Taurat maupun injil. Begitu juga pengusiran tiga suku Yahudi di madinah dan indikasi qur’anik untuk tidak menjadikan Yahudi-Nasrani sebagai pelindung dan sekutu kaum muslim.
Kecuali itu, Nawawi menakar Nasrani lebih baik dibandingkan Yahudi. Yang pertama digambarkan sebagai lebih saleh dan konsekuensinya diberi label “orang yang paling dekat cintanya kepada kaum muslim”. Sementara yang terakhir dikatakan sebagai ‘orang yang paling keras permusuhannya kepada kaum muslim.
Meski demikian, pandangan Nawawi berbeda dengan umumnya madzhab syafi’i yang di anut sendiri. Marah Labîd ini bisa dibilang sebagai manifestasi positif dan aktual dengan membolehkan pernikahan antara muslim dan Yahudi-Nasrani. Menyatakan sembelihan kaum Yahudi-Nasrani sebagai yang boleh dikonsumsi oleh kaum muslim sepanjang dilakukan dalam koridor kayakinan ketuhanan mereka.
Buku ini berhasil memetakan persoalan akut yang ada di seputar relasi Islam, Yahudi, dan Nasrani. Sekaligus mengukuhkan hubungan antar agama, yang bisa dirintis, jika saja melihat aspek non-teologis telah berpengaruh kuat atas konflik yang tak bekesudahan itu. Penulisnya juga memberi kita konteks historis tafsir tersebut dengan mengajaknya pada jaringan ulama yang merupakan akar intelektual dari perkembangan pemikiran Islam selama tiga abad terakhir.
Judul Buku : Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar
Penulis : Dr. Yunan Yusuf
Pengantar : Muhammad Quraish Shihab
Penerbit : Pustaka Panjimas
Volume : 206
Cetakan : Januari 1990
“Bagaikan intan, setiap sudutnya (al-Qur’an) memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain,
dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya,
maka ia akan melihat lebih banyak daripada apa yang anda lihat”
(Abdullah Darraz dalam Kitab An-Naba’ al-‘Adzîm)
Kutipan di atas menggambarkan kepada kita bahwa al-Qur’an sebagai sebuat teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasauf, sastra, kalam, dan lainnya.
Buku karya Dr. Yunan Yusuf yang berjudul “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar” ini merupakan studi tentang pengaruh pemikiran kalam atas tafsir al-Qur’an. M. Quraish Shihab dalam pengantar buku ini memuji langkah yang diambil Yunan sebagai sebuah studi baru dan langka di tanah air yang diharapkan bisa meningkatkan apresiasi atas tafsir al-Qur’an dalam hubungannya dengan minat mengkaji dan mendalami al-Qur’an.
Pandangan ini setidaknya terlihat dari kesimpulan yang diambil oleh Yunan bahwa Hamka dalam beberapa tafsirannya atas ayat terkesan sebagai pemikir kalam rasional – untuk tidak mengatakannya cenderung Mu’tazilah – yang memberi tekanan kuat pada kemerdekaan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Sikap teologis ini melahirkan semangat kerja keras dan tidak mau menyerah pada keadaaan dalam diri Hamka, sehingga mematri kredo hidupnya dengan ungkapan “sekali berbakti sesudah itu mati”.
Dalam buku ini Yunan meneliti delapan masalah kalam, yakni: (1) kekuatan akal; (2) fungsi wahyu; (3) free will dan predestination; (4) konsep iman; (5) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan; (6) keadilan Tuhan; (7) perbuatan-perbuatan Tuhan; dan (8) sifat-sifat Tuhan. Semua entri point ini membuktikan bahwa Hamka dalam dua masalah pertama menganut aliran Maturidiyah Bukhara, sedangkan enam masalah terakhir sejalan dengan aliran Mu’tazilah.
Dalam masalah free will dan predestination serta konsep iman, Yunan menemukan
pemikiran Hamka tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Dengan akalnya manusia bisa menimbang mana yang buruk dan mana yang mendatangkan kebaikan. Namun, Hamka tetap mengakui jangkauan takdir sebagai manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Dengan kata lain, secara metaforis bisa dinyatakan bahwa “malam bercermin kitab suci, siang bertongkatkan besi”.
Sejalan dengan itu, konsep iman tidak hanya meniscayakan sekedar tasdiq tetapi juga ma’rifah dan ‘amal. Ini didasarkan pada keberadaan teologi sebagai sebuah paham keagamaan yang akan menentukan bentuk watak sosial penganutnya, serta memberi warna pada tindakan dan tingkah laku dalam setiap aspek kehidupannya, yang pada gilirannya akan memberikan arah pada jalan hidup itu sendiri.
Adapun kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kebebasan memilih (ikhtiyar) berdasarkan pertimbangan akal yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang meniscayakan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak berlaku sepenuhnya. Dengan kata lain, pemberian akal bagi manusia tidak mempunyai arti, bila manusia tidak diberikan kebebasaan untuk memilih.
Sementara, keadilan Tuhan didefinisikan oleh Hamka sebagai balasan atas semua perbuatan manusia, meskipun sebesar zarrah (bentuk terkecil benda) sekalipun. Kezaliman mustahil bagi Allah, walau tidak ada yang kuasa membendung jika memang Allah menghendaki.
Hal ini erat kaitannya dengan keyakinan Hamka bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan terletak pada kewajiban-Nya untuk melakukan yang baik. Paham ini dibangun dari realitas alam semesta yang berlaku atas Hikmah Kebijaksanaan Yang Maha Tinggi. Bila tidak, mungkin sampai sekarang kita tidak bisa hidup dalam siklus kehidupan alam yang berjalan normal dan baik.
Penafsiran Hamka atas Sifat-sifat Tuhan sejalan dengan pemikiran rasional ketika berbicara tentang antropomorfisme. Kata-kata wajh berarti zat Allah dan ridha-Nya, yad adalah kekuasaan dan restu-Nya, yamin berarti hakekat qudrat ilâhiyat-Nya, ja’a rabbuka ditafsirkan dengan telah datang ketentuan atau perintah Tuhan, dan beberapa contah lainnya. Sikap Hamka ini dipengaruhi oleh tafsiran surat Ali Imran ayat 7 bahwa Tuhan tidak melarang untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât (samar).
Adapun dalam masalah ru’yat Allah (melihat Allah), Hamka terlihat menganut paham rasional bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala kelak di akhirat, melainkan dengan mata hati, karena kitapun belum mampu melihat alam semesta, baik yang berada di dalam maupun di luar diri kita sendiri.
Dalam memahami masalah kemahlukan al-Qur’an, Hamka marangkum kedua aliran, baik yang rasional maupun tradisional, dengan kecendrungan untuk menghindarkan diri dari perdebatan ilmu kalam. Hamka menghimbau agar Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah modern tidak bertengkar lagi tentang masalah ini.
Semua pandangan Hamka dalam menafsirkan ayat yang erat kaitannya dengan pemikiran kalam ini berlandaskan pada sikap untuk mencari alternatif atas perdebatan klasik seputar masalah kalam. Ia menyebutnya dengan “jalan tengah”, yakni tidak mempersoalkan secara tajam perbedaan dalam hal tersebut, yang seringkali terjebak pada buaian konflik berkepanjangan tanpa menyuguhkan manfaat praktis bagi umat.
Penulis buku ini sangat hati-hati untuk mengkaim Hamka sebagai penganut Mu’tazilah, karena Hamka selalu menyebut dirinya sebagai penganut ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran kalamnya yang identik dengan pemikiran Mu’tazilah tersebut, kelihatannya lebih dipengaruhi oleh realitas kontemporer yang menuntut tindakan atas dasar rasio serta mendahulukan inisiatif pribadi atas pertimbangan tradisi, atau sikap rasional dengan pijakan kuat pada nash-nash agama. Hal ini dianggap sebagai jalan terbaik untuk memacu berbagai ketertinggalan umat Islam.
Buku ini terbilang sukses mengungkap pemikiran Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kalam. Selain berhasil mensistematisir pokok-pokok masalah kalam, Yunan juga berhasil mengkorelasikannya dengan beberapa pendapat aliran kalam, yang diduga kuat dianut oleh Hamka. Kemungkinan besar, buku ini merupakan “jalan pertama” untuk jadi pemicu bagi para akademisi di bidang studi Qur’an dalam melihat apa yang ada dibalik penafsiran ayat-ayat yang dilakukan oleh para mufassir.
Judul Buku : Al-Quran dan Lautan
Penulis : Agus S. Djamil
Penerbit : Arasy Mizan
Volume : 612
Buku ini mengandaikan diskusi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Bagaimana hubungan antar keduanya ? sejauhmana kebenaran al-Qur'an dan lautan diteropong?, Apa data empiris dari ilmu pengetahuan yang bisa menopang keberadaan ayat-ayat dalam Al-Quran? Apa yang harus dilakukan umat Islam Indonesia ? Lalu bagaimana anggapan yang seharusnya kita bentuk atas lautan itu ?
Dari 6.236 ayat Al-Quran, sedikitnya ada 40 ayat yang secara khusus membicarakan laut, lautan, dan kelautan. Pada beberapa tempat, kata laut yang digunakan dimaksudkan secara simbolis untuk menunjukkan keluasan, terutama dalam konteks pemikiran dan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ayat-ayat Al-Quran tentang lautan ini menunjukkan kepada kita bahwa konstatasi Al-Quran tentang lautan ternyata banyak memiliki kesesuaian dengan hasil observasi dan temuan ilmu pengetahuan modern bidang kelautan. Tetapi tidak semua temuan sains modern sejalan dengan pernyataan Al-Quran.
Dengan pendekatan "paralelistik", Agus S. Djamil mencoba mencari kesejajaran atau paralelitas antara fakta-fakta empiris temuan sains dan ayat-ayat Al-Quran. Buku ini menawarkan metode dan pendekatan bahwa temuan sains dan ayat Al-Quran sesungguhnya menyajikan penjelasan yang saling melengkapi dalam memahami dan menyingkap misteri alam, terutama lautan. Buku ini sangat penting bukan saja bagi para peminat kajian kelautan dan ilmu kebumian (Earthscience), melainkan juga bagi siapa yang ingin memperdalam pemahaman tentang ayat-ayat yang mengungkap tentang pelbagai fenomena alam dan ilmu pengetahuan.
Dialektika Al-Quran dan Lautan sangat menarik dan sekaligus mencengangkan. Ayat yang menuliskan kata laut lebih banyak dibandingkan dengan kata darat. Padahal Al-Quran diturunkan di jazirah arab yang notabene dikelilingi oleh padang pasir. Kenapa tidak banyak bercerita banyak padang pasir sendiri dibandingkan dengan laut. Kata laut berjumlah 33 kali di 32 ayat dan kata darat hanya 13 ayat. Ini mirip dengan analisa bahwa bumi itu sering disebut sebagai planet biru yang hampir 72 %-nya diselimuti lautan dan 28 % daratan.
Anggapan Agus, itulah yang jadi dasar bahwa laut itu merupakan satu hal yang paling penting (some thing really important) dengan penekanan tertentu. Seperti surat al-Jâsyiyah ayat 12 "Allah menundukkan lautan untukmu, supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seidzin-Nya dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur". Laut memang telah ditundukkan untuk kita, dan kemudian kita diminta untuk mencari sebagian karunia-Nya di sana. Kalau dianalisa dengan metodologi fikih (ushûl al-fiqh), buku ini bisa jadi landasan hukum, agar umat islam –khususnya di Indonesia-- bisa menggali dan memanfaatkan laut sebagai sumber rizki.
Kalau dianalisa dengan metodologi fikih (ushûl al-fiqh), buku ini bisa jadi landasan hukum, agar umat islam –khususnya di Indonesia-- bisa menggali dan memanfaatkan laut sebagai sumber rizki. Dalam surat an-nahl ayat 14 terdapat dimensi kelautan yang sangat bagus, 'dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan daripadanya dzat yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan lautan itu perhiasan (mutiara)'. Semua wilayah lautan yang bersuhu panas akan memungkinkan untuk membudidayakan mutiara. Indonesia itu merupakan tempat yang paling baik untuk membudidayakan mutiara.
Pendapat ini setidaknya menepis anggapan bahwa Islam bukan hanya mengajarkan teristerial dan kontinental atau darat, akan tetapi lebih banyak bicara lautan dibandingkan daratan. Begitu juga kalau dianalisa ada hadits yang bemakna 'tuntutlah ilmu walau ke negeri cina', jangan-jangan trackle-nya bukan hanya melalui darat tapi juga melalui lautan. Yang menarik diuungkapkan bahwa jauh sebelum kolombus, ternyata yang mendarat di benua amerika itu ada khaskhas ibnu said ibnu aswad.
Adalah penelitian Jerry Allan dan Bridge yang keduanya ahli kelautan handal, bahwa pusat keanekaragaman hayati di Indonesia dinamakannya ‘parrol tri angle’ yang terletak antara wilayah maluku, banda, dan sulawesi-NTB. Semakin jauh dari wilayah itu, kwalitas keanekaragaman hayati semakin rendah. Begitu juga dalam arus arlindo yang terjadinya percampuran air laut dari samudera pasifik membuat yang namanya ‘nutrian and richment’ yakni pengkayaan unsur hara dari nitrogen, pospor dan lainnyas selalu ada di laut kita. Secara teoritis hal ini akan menghasilkan kesinambungan kekayaan tersebut, seperti halnya keberadaan minyak di arab saudi yang terus mengalir.
Terdapat 'penafsiran baru' tentang al-bahrul masjûr', dengan makna 'laut yang dipenuhi oleh api'. Pendapat ini sepanjang penelusuran literatur belum pernah muncul dalam beberapa karya tafsir. Begitu juga 'lulu wal marjân' dan 'al-bahrain', yang dianggap dua laut bukan laut dan sungai. Juga kata 'Masjûr' ditafsirkan beragam oleh ulama, meski pada umumnya ditafsirkan dengan 'bergelora apimu', karena salah satu sifatnya kalau dia berkobar bagaikan begelombang.
Itu semua disebabkan dari segi bahasa penafsiran-penafsiran itu semua bisa diterima, apalagi kita mengetahui bahwa satu kata bisa diartikan dalam pengertian hakikinya dan metafor (perumpamaan). Laut dan sungai saja dari kalimat 'bainahuma barzahun la yabghiyân' secara metaforis bermakna 'bercampur orang kafir dengan orang mukmin, tapi ada pemisah antara keduanya yakni nilai-nilai agama'. Para sufi akan menafsirkan 'bahrain' bukan lautan dan sungai, tapi orang yang ahli geo secience akan lain Nah, di sinilah signifikansi buku ini dengan memposisikan Al-Quran sesuai dengan kecendrungan dan atau disiplin penulisnya.
Mudah-mudahan buku ini bisa memberikan ilham, semangat, dan menjadi gregetan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan kita. Ini dilakukan untuk meraih kemakmuran dan kemajuan bagi bangsa Indonesia, di sektor kelautan dengan ridho Allah swt.(MSadili)
Judul Buku : Cahaya Al-Qur’an; Tafsir Tematik Surat al-Baqarah sampai al-An’am
Penulis : Muhammad Ali Ash-Shabuny
Penterjemah : Kathur Suhardi
Penerbit : Pustaka al-Kautsar
Volume : 390
Cetakan : Kedua Maret 2002
Al-Qur’an adalah kitab yang tidak pernah membosankan, walau ribuan orang membaca dan mengkajinya berulang kali. Sebuah kitab suci yang tidak pernah dirasa kenyang oleh para ulama untuk mendalaminya dan tidak pernah terhenti keajaiban-keajaiban yang terkuak darinya. Bahkan, semakin banyak orang membahas dengan berbagai latar belakang yang berbeda, seperti latar belakang keilmuan, madzhab, kecendrungan, dan lingkungan yang meliputinya, justru semakin memperkaya khasanah ilmu dan pemahaman terhadap al-Qur’an, selama semua itu didasarkan atas landasan dan kaidah-kaidah yang dibenarkan.
Salah satu metode tafsir yang dikenal dalam khazanah ulumul al-Qur’an adalah tafsir maudhu’i, yakni metode menafsirkan al-Qur’an yang dilakukan secara tematis. Biasanya ini didasarkan pada keinginan mufassir untuk menjawab tantangan sosial-budaya masyarakat tertentu yang diulas dengan penjelasan yang mudah dicerna.
Buku “Cahaya Al-Qur’an” yang diterjemahkan dari buku aslinya Qabasun min Nur al-Qur’an merupakan karya tafsir Muhammad Ali Ash-Shabuny yang menggunakan pendekatan tafsir tematik. Selain itu, juga ada Rawai’ al-Bayan Tafsîr ayât fi Ahkâm min al-Qur’an, yang khusus membahas tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum, dan Shafwat at-Tafasir, yang bisa diartikan dengan “Tafsir-tafsir pilihan”.
Dalam buku yang terdiri dari surat al-Baqarah sampai dengan Al-An’am ini, Ali Ash-Shabuny membagi klasifikasi penafsirannya dengan judul-judul tertentu, seakan menyarankan pembaca untuk mencerna pesan al-Qur’an secara bertahap. Setiap surat tidak disajikan sebagaimana buku-buku tafsir dalam ulasannya, melainkan dipecah berdasarkan pertimbangan makna-makna yang tercakup di dalamnya.
Sebelum mengulas surat, penulis buku tidak lupa membubuhi pendahuluan sebagai pengantar sebelum memasuki tahapan rinci yang sistematis tadi. Surat al-Baqarah misalnya, menurut Ali ash-Shabuny, dipenuhi dengan penetapan-penetapan syariat. Ini karena kedudukannya sebagai surat Madaniyah yang menitikberatkan pada sisi petunjuk, pengarahan, dan penetapan syariat, juga kondisi sosial-politik yang diwarnai dengan interaksi intensif antara umat Islam pada satu sisi dan non muslim -- Ahli Kitab pertama (Yahudi) -- pada sisi lain, yang meniscayakan pengetahuan yang mumpuni untuk menghadapi kemungkinan buruk sekalipun.
Surat Ali ‘Imran mempunyai dua sendi yang fundamental yakni: pertama, sendi akidah Islam yang suci disertai penyebutan beberapa dalil dan bukti keterangan tentang keesaan Allah, kenabian, dan penetapan kebenaran al-Qur’an yang diturunkan Allah, serta bantahan atas Ahli Kitab (Yahudi); Kedua, sendi syari‘at, khususnya yang berkaitan dengan hukum-hukum jihad fî sabilillah, karena komunitas Ahli Kitab kedua (Nasrani) yang beseberangan dengan Nabi dalam masalah Isa al-Masih (baca: Trinitas).
Surat an-Nisa’ merupakan surat Madaniyah, yang berisi berbagai hukum syari’at, yang mengatur urusan-urusan internal dan eksternal kaum muslimin, yakni keluarga, wanita, rumah tangga, negara, dan masyarakat. Hanya saja, banyak diwarnai oleh masalah yang berkaitan dengan hak & kewajiban perempuan yang menyebabkan para ulama pernah menyebutnya dengan “surat an-Nisa’ al-Qubra”, berbeda dengan surat ath-Thalaq dengan istilah “surat an-Nisa’ ash-Sughra” karena sedikitnya bahasan tentang perempuan.
Adapun surat al-Maidah termasuk surat Madaniyah yang berisi tentang sisi pensyariatan secara terperinci dan terurai dalam masalah mu’amalat, ibadah, dan munakahat. Selain itu, juga terdapat kisah Nabi Musa bersama kaum Israel, khabil-qabil, dan kisah hidangan (al-Maidah) sebagai salah satu mu’jizat Isa putra Maryam, yang ditampakkan Allah lewat tangannya di hadapan Hawariyin. Kisah terakhir inilah yang menyebabkan penamaan surat al-Maidah.
Kemudian, surat al-An‘am termasuk surat yang cukup panjang dan dikategorikan dalam surat Makiyah, yang berisi tentang akidah atau dasar-dasar keimanan yang meliputi masalah uluhiyah (ketuhanan), risalah (kenabian), wahyu, kebangkitan, dan pembalasan. Surat ini kontras dengan surat Madaniyah yang lebih banyak memperhatikan masalah hukum syariat dan mengatur urusan kehidupan orang-orang muslim. Penuturannya pun menggunakan gaya bahasa penetapan dan penyampaian, sebagai kiat untuk menghadapi orang-orang musyrik Makkah yang menolak keras kedatangan Islam.
Dengan meminjam analisa Syaikh Abul Hasan Ali al-Hasany an-Nadwy, mantan direktur Nadwah Ulama di Lucknow, bahwa trend ilmiah pada masa awal Islam berkisar pada penulisan cabang-cabang ilmu pengetahuan dan mirip ensiklopedi, penulis mengira buku ini mempunyai andil dalam peletakan metode tafsir termatik, ketika kesibukan menyita mayoritas manusia modern yang pada gilirannya lebih suka mencerna segala informasi – termasuk pengetahuan agama -- secara instan.
Buku ini secara sengaja dibuat untuk menanggulangi kondisi modernitas tersebut. Ali ash-Shabuny mengakui bahwa buku-buku tafsir yang berjilid-jilid dengan penjelasan ayat demi ayat dan kata demi kata, ditambah dengan sudat pandang balaghah (gaya bahasa) atau pendekatan lainnya, terlihat njlimet dan tidak praktis. Karenanya, meniscayakan kelahiran buku tafsir yang sederhana, ringan, mudah dibaca dan dipahami, serta tidak bertele-tele. Ini pula yang menginspirasikan Kathur Suhardi untuk menerjemahkannya.
Kathur Suhardi menilai kelebihan buku ini, terletak pada penyajiannya yang bersifat tematik, dengan cara mengkompromikan antara riwayat kalangan salaf dan ijtihad ulama khalaf, sehingga tersaji sebuah tafsir al-manqul wa al-ma’tsur. Dengan kata lain, pembaca diajak untuk melihat dua warna yang bersamaan.
Akan tetapi, karena buku ini merupakan terjemahan kemungkinan besar bisa terjadi reduksi makna sebagaimana yang dikehendaki oleh penulis aslinya. Sebagai sebuah upaya penyebaran ilmu pengetahuan, hal ini tetap mempunyai peran tidak sedikit di tengah masyarakat muslim yang masih kesulitan memahami bahasa Arab yang digunakan dalam buku aslinya. Tinggal berusaha keras dengan terus mengonfirmasi kepada yang mengerti bahasa Arab dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan akan buku terjemahan. Inilah upaya untuk mengurangi akibat buruk dari resiko penerjemahan dari sekian banyak buku yang ada di tanah air.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home