Ada Apa dengan Fikih Lintas Agama
Diskusi fikih lintas agama, yang ada di harian tanah air sangat menarik untuk diteruskan. Saya ingin menilik problem pikih lintas agama dari sudut metodologi, konklusi hukum, hilangnya elan fital ijtihad, dan sikap yang kontra produktif atas setiap gagasan reformulasi hukum yang ditelorkan. Problematika ini menjadikan gagasan fikih lintas agama terlihat sulit untuk dipahami secara proposial, bahwa fikih sebagai konklusi intelektual.
Secara filosofis, fikih lintas agama dapat dikatakan sebagai turunan dari premis dasar tentang universalitas Islam (rahmatan lil ‘âlmîn). Hanya saja, ketika formulasi hukum yang dikeluarkan oleh seorang fâkih (ahli hukum islam) logika yang berjalan tidak semulus yang dibayangkan. Instrumentasi tafsiran atas teks-teks agama (Qur’an hadits) berjalan secara berlebihan, bahkan dianggap sebagai yang tidak bisa dikritik dan diberikan tafsiran baru.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (1977), ulama asal Andalusia, menanggapi kecendrungan ini dengan teorinya yang sangat terkenal dan klasik itu, tentang perubahan hukum. Ia mengutarakan bahwa hukum fikih terbangun oleh waktu (al-azminah), tempat (al-amkinah), keadaan (al-ahwâl) motifasi (an-niyyah) dan adat istiadat (al-âdah). Ia menelorkan teorinya, karena kodipikasi fikih yang telah terjadi, terlampau disalahartikan sebagai final dan menutup kemungkinan reformulasi hukum.
Tujuan yang hendak digapai dengan teori di atas, adalah kapabilitas dan fleksibilitas hukum islam bagi segala tempat dan waktu. Hasil ijtihad yang mengendap lama dalam teks-teks kitab klasik fikih, sedianya dibongkar dengan pisau analisa kritis argumentasi. Dialektika kondisi soial-politik dan perubahan hukum, merupakan kunci untuk membuka pintu ijtihad yang dianggap telah tertutup yang secara kwalitatif disebabkan oleh banyaknya syarat formal untuk menjadi mujtahid.
Saya kira, problem fikih lintas agama terletak pada keberatan atas status fikih sebagai hasil dari upaya intelektual (ijtihâd), yang mempunyai kutub salah-benar sebagaimana konklusi berpikir lainnya. Perubahan sosial-politik sebagai yang diklasifikasikan di atas, sepertinya tidak cukup jadi alasan hukum (illah) dalam merespon tuntutan zaman. Meski dimaklumkan bahwa hukum islam mempunyai keluwesan untuk setiap zamannya.
Kesulitan identifikasi atas wilayah mana yang menjadi obyek ijtihad telah lama menjadi perdebatan ahli hukum islam yang tidak kunjung usai. Meminjan tilikan Ali Yafie (1994), sejak keempat madzhab telah dianggap mapan, kodipikasi fikih lebih dominan diisi oleh aktifititas peyempurnaan (syarah) atas produk hukum empat imam madzhab. Hal ini, lanjut Ali Yafie, meniscayakan upaya serius untuk melakukan reformulasi hukum yang disesuaikan dengan gerak ruang dan waktu dan tidak terlalu menggantungkan pada produk hukum dari keempat madzhab yang terlanjur dianggap mapan.
Nah, gagasan fikih lintas agama mempunyai tingkat resiko coba dan salah sebagai konsekuensi dari ijtihad. Ia adalah produk nalar yang diartikulasikan karena perubahan sosial-politik yang selama ini kurang ditanggapi secara serius. Refleksi kritis-argumentatif atas relasi agama, yang diemban oleh gagasan fikih lintas agama bukan saja penyempurna (syârih), akan tetapi berani merujuk langsung ke nash dilengkapi dengan pencarian alasan hukum (masâlik al-illah) yang memadai. Sampai titik ini, gagasan yang bergulir perlu diapresiasi sebagai sebuah upaya yang sistemik tanpa dilihat secara berlebihan.
Efek Positif Ijtihad
Reaktualiasasi hukum Islam di Indonesia, yang diusung Munawir Sadzali pada tahun 1980-han, telah mengundang pro dan kontra. Ia tidak saja “mengganggu” anggapanatas fikih yang terlanjur mapan, tapi juga menyedot pehatian publik akan elan fital ijtihad. Ide yang hadir bagaikan bola salju yang bergelending di antara para intelektual muslim. Seolah membangunkan umat yang telah lama tertidur lelap karena terlena dengan pruduk pikih yang lahir ratusan tahun lalu.
Dalam konteks ini, fikih lintas agama, berdampak positif atas kondisi umat yang cendrung mandek untuk berijtihad. Tokoh pembaharu Fazlur Rahman (1964) misalkan, bukan saja melihat keengganan melakukan ijtihad sebagai akibat dari sekian banyak persyaratan formal yang harus dipenuhi, tapi terletak pada “mental diam” ketika berhadapan dengan arus perubahan sosial. Perkembangan ilmu yang multi disipliner, sebenarnya akan membuat persyaratan itu dapat tereliminasi.
Membuka pintu ijtihad mengandaikan fleksibilitas hukum Islam, ketika arus perubahan sosial telah terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia yang multi agama, membutuhkan (meniscayakan) tafsiran liberatif yang tidak terbelenggu pada produk fikih yang sudah ada. Kaidah ushul fikih menyebutkannya “al-hukmu yadûru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman”, Hukum bergerak sesesuai dengan perputaran alasan hukum bukan sebaliknya.
Semangat ini untuk menyisir sekian banyak produk hukum yang telah lama membeku dalam kitab-kitab fikih dan dilaksanakan oleh sekian banyak masyarakat muslim. Tanpa mencoba memberikan formulasi hukum yang adaptif atas realitas relasi agama, kondisi tersebut tidak akan bergerak sendiri. Harus dicoba diterapi dengan reformulasi hukum islam yang bersahabat dengan relasi antar agama.
Pro dan kontra yang terjadi sedianya berada dalam dialog intelektual yang sehat. Ia mirip dengan framework Imam syafi’i, dalam karya magnum upus-nya al-umm, “pendapatku benar tapi tidak menutup kemungkinan mengandung kesalahan, dan pendapat yang lain salah tapi mengandung kebenaran”. Ijtihad adalah sebuah proses di mana tingkatan rasionalitas dipertaruhkan dan bermuara pada penarikan konklusi yang terbuka untuk benar-salah.
Syariat Islam bukan sengaja membawa rincian tentang aturan kehidupan sosial, tatapi membawa ajaran-ajaran berupa pesan-pesan moral, prinsip-prinsip umum, dan ajaran-ajaran pokok yang bersifat universal. Misalnya, berlaku adil, berkata jujur, dilarang mengambil hak orang lain, berzina, mabuk, judi, dan lainnya. Ajaran inilah yang dipadatkan oleh para ulama-ulama ushul fikih dengan istilah mashlahah, bersifat abadi, tidak akan berubah dan tidak dapat dirubah.
Dengan demikian, fikih lintas agama dapat diletakkan secara proporsiaonal. Sebagai sebuah gagasan, ia menyediakan ruang yang memadai bagi kritik terbuka atas metode, obyek dan konklusi hukum yang dihasilkan. Kodipikasi fikih yang selama ini ada dan diyakini itu, dalam sejarahnya mempunyai corak dan bentuk yang sangat banyak. Seleksi kritis-argumentatif yang mengitarinya, telah menyebabkan wujudnya seperti yang kita kenal. Biarkan saja ia berada dalam aras relativisme berpikir, dan tidak terperangkap pada konspirasi anti syariat yang kontra produktif.
Secara filosofis, fikih lintas agama dapat dikatakan sebagai turunan dari premis dasar tentang universalitas Islam (rahmatan lil ‘âlmîn). Hanya saja, ketika formulasi hukum yang dikeluarkan oleh seorang fâkih (ahli hukum islam) logika yang berjalan tidak semulus yang dibayangkan. Instrumentasi tafsiran atas teks-teks agama (Qur’an hadits) berjalan secara berlebihan, bahkan dianggap sebagai yang tidak bisa dikritik dan diberikan tafsiran baru.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (1977), ulama asal Andalusia, menanggapi kecendrungan ini dengan teorinya yang sangat terkenal dan klasik itu, tentang perubahan hukum. Ia mengutarakan bahwa hukum fikih terbangun oleh waktu (al-azminah), tempat (al-amkinah), keadaan (al-ahwâl) motifasi (an-niyyah) dan adat istiadat (al-âdah). Ia menelorkan teorinya, karena kodipikasi fikih yang telah terjadi, terlampau disalahartikan sebagai final dan menutup kemungkinan reformulasi hukum.
Tujuan yang hendak digapai dengan teori di atas, adalah kapabilitas dan fleksibilitas hukum islam bagi segala tempat dan waktu. Hasil ijtihad yang mengendap lama dalam teks-teks kitab klasik fikih, sedianya dibongkar dengan pisau analisa kritis argumentasi. Dialektika kondisi soial-politik dan perubahan hukum, merupakan kunci untuk membuka pintu ijtihad yang dianggap telah tertutup yang secara kwalitatif disebabkan oleh banyaknya syarat formal untuk menjadi mujtahid.
Saya kira, problem fikih lintas agama terletak pada keberatan atas status fikih sebagai hasil dari upaya intelektual (ijtihâd), yang mempunyai kutub salah-benar sebagaimana konklusi berpikir lainnya. Perubahan sosial-politik sebagai yang diklasifikasikan di atas, sepertinya tidak cukup jadi alasan hukum (illah) dalam merespon tuntutan zaman. Meski dimaklumkan bahwa hukum islam mempunyai keluwesan untuk setiap zamannya.
Kesulitan identifikasi atas wilayah mana yang menjadi obyek ijtihad telah lama menjadi perdebatan ahli hukum islam yang tidak kunjung usai. Meminjan tilikan Ali Yafie (1994), sejak keempat madzhab telah dianggap mapan, kodipikasi fikih lebih dominan diisi oleh aktifititas peyempurnaan (syarah) atas produk hukum empat imam madzhab. Hal ini, lanjut Ali Yafie, meniscayakan upaya serius untuk melakukan reformulasi hukum yang disesuaikan dengan gerak ruang dan waktu dan tidak terlalu menggantungkan pada produk hukum dari keempat madzhab yang terlanjur dianggap mapan.
Nah, gagasan fikih lintas agama mempunyai tingkat resiko coba dan salah sebagai konsekuensi dari ijtihad. Ia adalah produk nalar yang diartikulasikan karena perubahan sosial-politik yang selama ini kurang ditanggapi secara serius. Refleksi kritis-argumentatif atas relasi agama, yang diemban oleh gagasan fikih lintas agama bukan saja penyempurna (syârih), akan tetapi berani merujuk langsung ke nash dilengkapi dengan pencarian alasan hukum (masâlik al-illah) yang memadai. Sampai titik ini, gagasan yang bergulir perlu diapresiasi sebagai sebuah upaya yang sistemik tanpa dilihat secara berlebihan.
Efek Positif Ijtihad
Reaktualiasasi hukum Islam di Indonesia, yang diusung Munawir Sadzali pada tahun 1980-han, telah mengundang pro dan kontra. Ia tidak saja “mengganggu” anggapanatas fikih yang terlanjur mapan, tapi juga menyedot pehatian publik akan elan fital ijtihad. Ide yang hadir bagaikan bola salju yang bergelending di antara para intelektual muslim. Seolah membangunkan umat yang telah lama tertidur lelap karena terlena dengan pruduk pikih yang lahir ratusan tahun lalu.
Dalam konteks ini, fikih lintas agama, berdampak positif atas kondisi umat yang cendrung mandek untuk berijtihad. Tokoh pembaharu Fazlur Rahman (1964) misalkan, bukan saja melihat keengganan melakukan ijtihad sebagai akibat dari sekian banyak persyaratan formal yang harus dipenuhi, tapi terletak pada “mental diam” ketika berhadapan dengan arus perubahan sosial. Perkembangan ilmu yang multi disipliner, sebenarnya akan membuat persyaratan itu dapat tereliminasi.
Membuka pintu ijtihad mengandaikan fleksibilitas hukum Islam, ketika arus perubahan sosial telah terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia yang multi agama, membutuhkan (meniscayakan) tafsiran liberatif yang tidak terbelenggu pada produk fikih yang sudah ada. Kaidah ushul fikih menyebutkannya “al-hukmu yadûru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman”, Hukum bergerak sesesuai dengan perputaran alasan hukum bukan sebaliknya.
Semangat ini untuk menyisir sekian banyak produk hukum yang telah lama membeku dalam kitab-kitab fikih dan dilaksanakan oleh sekian banyak masyarakat muslim. Tanpa mencoba memberikan formulasi hukum yang adaptif atas realitas relasi agama, kondisi tersebut tidak akan bergerak sendiri. Harus dicoba diterapi dengan reformulasi hukum islam yang bersahabat dengan relasi antar agama.
Pro dan kontra yang terjadi sedianya berada dalam dialog intelektual yang sehat. Ia mirip dengan framework Imam syafi’i, dalam karya magnum upus-nya al-umm, “pendapatku benar tapi tidak menutup kemungkinan mengandung kesalahan, dan pendapat yang lain salah tapi mengandung kebenaran”. Ijtihad adalah sebuah proses di mana tingkatan rasionalitas dipertaruhkan dan bermuara pada penarikan konklusi yang terbuka untuk benar-salah.
Syariat Islam bukan sengaja membawa rincian tentang aturan kehidupan sosial, tatapi membawa ajaran-ajaran berupa pesan-pesan moral, prinsip-prinsip umum, dan ajaran-ajaran pokok yang bersifat universal. Misalnya, berlaku adil, berkata jujur, dilarang mengambil hak orang lain, berzina, mabuk, judi, dan lainnya. Ajaran inilah yang dipadatkan oleh para ulama-ulama ushul fikih dengan istilah mashlahah, bersifat abadi, tidak akan berubah dan tidak dapat dirubah.
Dengan demikian, fikih lintas agama dapat diletakkan secara proporsiaonal. Sebagai sebuah gagasan, ia menyediakan ruang yang memadai bagi kritik terbuka atas metode, obyek dan konklusi hukum yang dihasilkan. Kodipikasi fikih yang selama ini ada dan diyakini itu, dalam sejarahnya mempunyai corak dan bentuk yang sangat banyak. Seleksi kritis-argumentatif yang mengitarinya, telah menyebabkan wujudnya seperti yang kita kenal. Biarkan saja ia berada dalam aras relativisme berpikir, dan tidak terperangkap pada konspirasi anti syariat yang kontra produktif.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home