Ini yang pertama
Judul Buku : Cara Quran Membebaskan Perempuan
Penulis : Asma Barlas
Penerbit : Serambi, Jakarta
Volume : 388 hlm
Cetakan : I, Rabiulawal/Mei 2005
’Pembebasan perempuan’ menjadi menarik, ketika piranti yang digunakannya adalah nilai-nilai yang diangkat dari Al-Qur’an. Karena selama ini, telah banyak analisis yang menyimpulkan bahwa penafsiran atas ayat Al-Quran telah membentuk mainstream kaum muslim yang tidak ramah terhadap perempuan dan membeku dalam teks-teks keagamaan. Sehingga dalam batas tertentu telah membelenggu kebebasan kaum hawa.
Lewat buku ini, Asma Barlas mencoba menjernihkan masalah di atas dengan dua pertanyaan; (1) apakah Al-Quran mengajarkan atau menoleransi ketidaksetaraan dan penindasan jender? dan (2) apakah Al-Quran memperkenankan dan mendukung pembebasan perempuan?
Dengan menggunakan metodologi interpretasi (hermeneutik) yang disarikan dari Al-Quran dan pendekatan sejarah, didapatkan jawaban; yang pertama adalah ’tidak’ dan yang kedua adalah ’ya’. Epistemologi Al-Quran bagi Barlas, secara inhern anti patriarkhi, dan ia memperkenankan kita meneorikan kesetaraan jender secara radikal.
Buku ini boleh dikatakan sebagai kritik terhadap penindasan yang berkedok seksual/teksual dalam masyarakat Islam. Atau upaya kecil untuk memperbaiki apa yang disebut oleh Leila Ahmed sebagai ’egaliter Islam’ dan menempatkannya sebagai suara tandingan yang sah bagi ’suara Islam otoriter’ yang sering kita dengar belakangan ini.
Selanjutnya, buku ini diisi dua bagian. Bagian I (h. 83-180) terdiri dari bab 2 dan bab 3, yang secara bersama-sama menganalisis karakteristik teks, tekstualitas, dan inter/ekstra tekstualitas dalam wacana keagamaan muslim. Adapun bagian II berisi bab 4 – bab 6 (181-350).
Bab 2 merinci teks-teks keagamaan Islam kaitannya dengan praktek (metode) interpretasi tertentu dan konseptualisasi yang berbeda dengan hubungan di antara teks, masa, dan metode. Dibahas juga pandangan yang berbeda tentang masa yang suci dan yang duniawi, serta eksesnya dalam membentuk pemahaman atas ajaran Al-Quran.
Bab 3 berisi penelusuran atas tekstualitas dengan analisis seputar hubungan dalam, dan di antara teks (intertekstualitas) di satu sisi, peran berbagai konteks, dan ekstra tekstual (negara, hukum, dan tradisi) dalam pembentukan wacana keagamaan muslim pada sisi lain. Karenanya dapat ditemukan difinisi kitab hukum (canon) dan definisi ilmu pengetahuan sendiri kaitannya dalam membentuk penafsiran ayat Al-Quran. Begitu juga analisis atas peran negara dan komunitas interpretasi pada tahap awal sejarah Islam dalam pembentukan metode, makna, dan pengalaman.
Komunitas interpretasi tersebut telah mengaitkan praktek penafsirannya dengan praktek penafsiran nabi, yang pada gilirannya menempatkan penafsiran itu lebih tinggi dari wahyu sebagai sebuah metode yang telah menutup perbincangan tentang bagaimana kaum muslim dapat membaca Al-Quran ’secara benar’ dewasa ini. Metode penafsiran ini telah menggantikan wacana ilahi, menafikan konsep polisemi kitab suci, menghalangi perkembangan penafsiran baru, dan menutup kemunitas pembaca baru (terutama perempuan) untuk mengakses Al-Quran.
Bab 4 membahas karakteristik pengungkapan-diri Tuhan dalam Al-Quran, karena hirarki jender dan teori tentang kekuasaan ayah/suami dalam sistem patriarkhi keagamaan yang bersumber dari penggambaran Tuhan sebagai bapak/laki-laki. Tujuan Barlas, ingin menunjukkan bahwa penyebutan Islam sebagai sebuah agama bapak/para bapak merupakan hal yang menyesatkan karena ia mengabaikan penolakan tegas Al-Quran terhadap gambaran patriarkhis tentang Tuhan-Bapak dan para nabi (sebagai) bapak, dan juga kritik tajam al-Quran terhadap sejarah kekuasaan para bapak. Klaim ini dibuktikan dengan penjelasan kisah-kisah nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.
Bab 5 menganalisis pendekatan Al-Quran terhadap jenis kelamin/jender dan seksualitas, dan berargumen bahwa meskipun Al-Quran mengakui perbedaan biologis (seksual), ia tidak mendukung pandangan yang membedakan jenis kelamin/jender, atau dualisme jender. Al-Quran tidak memberikan makna simbolis terhadap jenis kelamin (biologi) atau terhadap perbedaan itu sendiri. Malah, Al-Quran membangun prinsip-prinsip kesetaraan jender, dan hal tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda dari model satu jenis kelamin maupun dua-jenis kelamin yang melandasi pemikiran patriarkis Barat. Kecuali itu, dibahas masalah seksualitas dan sebab pembedaan laki-laki dan perempuan atas dasar jenis kelamin mereka. Laki-perempuan memiliki sifat dan kebutuhan seksual yang sama lengkap dengan ajaran tentang kesantunan dan moralitas seksualnya.
Bab 6 membahas ibu dan ayah, suami dan istri, serta distingsi pandangan Al-Quran dari pemikiran patriarkis (Barat) maupun pemikiran kaum feminis. Hubungan antara dua itu (ayah-ibu/suami-istri) diletakkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keseimbangan, dan persamaan (tergantung konteksnya) meskipun terdapat ayat tentang poligami, perceraian, dan nusyuz. Ini menegaskan dalam Islam terdapat nuktah kesetaran jender sebagai bantahan atas klaim bahwa hal itu hanya ada dalam nilai Barat.
Hanya saja, buku ini ’terlalu serius’ karena setiap penyajian pendapat dijelali dengan footnote dan kita kesulitan menemukan ide asli penulisnya. Begitu juga terlalu mengandalkan sumber-sumber sekunder, terutama untuk kajian tafsir Al-Quran. Satu contoh, kata qawwamûna dan dharaba dirujuk tidak langsung kepada kitab aslinya, tapi melalui Amina Wadud, Mernisi, atau lainnya. Hampir tidak ada referensi kitab tafsir terkemuka seperit al-Thabari, Ibni Katsir, Thaba’thaba’i, Abduh dan lainnya yang biasa menggunakan bahasa arab.
Meski demikian, buku ini cukup lengkap untuk mengantarkan kita pada diskusi mengenai persoalan isu-isu perempuan dalam Al-Quran dengan menggunakan perspektif gabungan dari sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Wa Allâh’alam bishshawâb
Baru ini yang kedua
Judul Buku : Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer
Penulis : Dr. Ir. Muhammad Shahrur
Penerbit : Elsaq Press, Yogjakarta
Volume : 318 + xxii hlm
Cetakan : Pertama, Oktober 2004
Penomena stagnasi dalam dunia Arab-Islam dan atau peradaban keagamaan memasuki melenium baru dalam arus globalisasi, telah menggugah kesadaran para pemikir era kontemporer untuk melakukan evaluasi. Setidaknya dapat kita dipetakan menjadi tiga varian; (1) sikap terhadap turâs (warisan tradisi), (2) sikap terhadap Barat, dan (3) sikap terhadap medernitas.
Dalam konteks ini, Shahrur berusaha melengkapi upaya kritik diri (naqd al-dzâti) yang telah dilakukan oleh cendekiawan muslim lainnya, seperti; ’Abid al-Jâbiri, Muhammad Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Ia telah menelorkan magnum opus-nya al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ’ah Mu’âshirah, yang diterjemahkan sepertiganya menjadi buku ini, sebagai keseriusannya dalam studi al-Quran, dengan menggunakan pendekatan linguistik modern ditambah dengan analogi yang diambil dari ilmu teknik dan sains.
Al-Quran, dalam pengertian khas Shahrur berarti bagian tertentu dari kitab suci yang bertemakan ilmu pengetahuan objektif. Al-Quran sedianya dibaca dan dipahami bukan melalui prisma abab-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah ‘Rasulullah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut’. Ini pada gilirannya mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi terhadap pelbagai konsep, teori, dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas umat Islam.
Dengan kacamata linguistik, al-Quran dinyatakannya sebagai kitab berbahasa arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan; sastrawi (al-I’jâz al-balâghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif-signifikansi (al-manhaj al-washfi al-wazîji) dan ilmiah (al-‘ijâz al-‘ilmi) yang diteropong dengan menggunakan pendekatan historis-ilmiah (al-manhaj al-târikhi al’ilmi).
Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisis sastra (balâgah) dan analisis gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu biasanya dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas (at-tarâduf) dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim.
Lebih jauh, Shahrur juga menegaskan asumsinya bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia, diturunkan untuk dapat dipahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa metode memahami al-Quran yang oleh Shahrur disebut dengan istilah manhaj al-tartîl, yang dapat diidentikkan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya, Shahrur meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika al-Quran yang diistilahkannya dengan al-takwîl.
Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Shahrur mengagas teori batas (nadzâriyât al-hudûd) yang dapat disebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan jika dikatakan; Shahrur sedang meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya al-Quran.
Al-Kitâb wal al-Qur’ân merupakan karya pertamanya yang monumental dan cukup komprehensif merefleksikan pemikirannya, baik pada aspek metodologi maupun aplikasinya dalam penafsiran teks al-Quran. Hingga saat ini, paling tidak Shahrur sudah menulis tiga buku lanjutan dalam proyek ambisiusnya ‘Qirâ’ah mu’âshirah’. Salah satu muatan penting dalam buku-buku tersebut adalah revisi (al-tashwîb) terhadap pelbagai perspektif dan asumsi metodologis yang digagas dalam buku pertamanya.
Terlepas dari kontoversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Quran. Jargon ‘qirâ’ah mu’âshirah’ yang dilontarkan oleh Shahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat al-Quran sesuai dengan perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. Wa Allâh ’alam bishshawâb
Ini ketiga
Judul Buku : Islam Liberal Versi Anak Muda
Penulis : J. Firmansyah
Pengantar : Anas Urbaningrum
Penerbit : Pustaka Zaman (Puzam)
Volume : 157
Cetakan : Pertama Mei 2003
Wacana Islam Liberal memang sangat menarik untuk kita diskusikan. Ini berkaitan dengan ekses yang ditimbulkannya ketika berhadapan dengan kelompok yang menggunakan “cara pendekatan” lain dalam memahami agama Islam. Klaim kafir-mengkafirkan pun menyeruak ke permukaan. Dan itu bukan masalah sepele di tengah keseriusan umat dalam menata kehidupan beragama yang santun dan beradab.
Sejatinya, sudut pandang yang berbeda, ditempatkan sebagai satu konklusi yang memungkinkan salah dan benar. Sulit rasanya membangun sebuah relasi harmonis dalam cara berpikir, ketika satu kebenaran melebihi hakikat dari kebenaran itu sendiri. Jauh-jauh hari nabi Muhammad SAW, mengingatkan kita bahwa prestasi berijtihad tidak lepas dari dua kutub yang selalu nempel, salah dan benar. Nampaknya, sikap tersebut butuh sosialisasi pada segenap lapisan masyarakat.
Buku “Islam Liberal Versi Anak Muda” yang ditulis oleh J Firmansyah terasa getarannya ketika publikasi yang diterbitkan berkaitan dengan Islam Liberal dibanjiri analisa “ngejelimet”. Buku ini, sepanjang pengamatan penulis, karya pertama tentang potret Islam Liberal dengan bungkusan “bahasa gaul”, tanpa menghilangkan pesan penting. Bahwa kita memang harus memulai untuk bersikap arif dan bijaksana atas perbedaan pendapat.
Dalam kata pengantar yang ditulis Anas Urbaningrum, Islam Liberal diduga kuat sebagai buah dari modernisme yang menyusup pada kalangan terdidik muslim di perkotaan (h.xii), Kecuali itu, sebagai anti tesa dari kehadiran gerakan “fundamentalis-radikal” beserta gagasannya yang menjamur pasca rontoknya orde baru (h.xi). Kedua sebab itu bermuara pada maenstrem tampilan Islam yang inklusif-pluralis dengan menitikberatkan pada kontekstualisasi ajaran dengan gerakan kultural (h.xiii). Sehingga formalisasi syariat menjadi penolakan utama bagi kalangan Islam Liberal di tanah air (Ibid).
Dengan meminjam teori G.A William, pada Bab 1 (h.1-8), dibahas tentang hegemoni liberalisme-kapitalisme dengan seabreg cara yang memikat, termasuk dalam pemberitaan pers dan buku-buku. Firmansyah, beranggapan bahwa Islam Liberal merupakan kooptasi liberalisme terhadap Islam, atau sebaliknya. Terlahir dari pemikiran Islam itu sendiri?, Dan, apakah penafsiran literal atau tekstual merupakan satu-satunya wajah pemaknaan Islam yang sah ?
Bab 2 (h.9-22) sepertinya sebagai jawaban, bahwa kesan “Islam Liberal sebagai Islam yang Terbaratkan” ternyata hanya isapan jempol belaka. Buktinya, kekritisan Umar yang sepintas lalu bertentangan dengan QS Al-Anfâl ayat 14 tentang pembagian rampasan perang 4/5 bagi pasukan muslim dan 1/5 bagi negara, adalah benih liberalisme. Umar menolak, dengan alasan hukum (illah), jika dibagikan akan terganggu kelangsungan bangsa yang ditaklukkan. Sedianya tetap dalam penguasaan warga setempat dengan sistem sewa. Dan itu disepakati setelah penentangnya yang diplopori Bilâl dapat menerima “semangat nash” dalam Ijtihad Umar.
Bab 3 (h. 23-48) membahas tentang “Negara Islam atawa Negara Sekularis Demokratis” pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air. Menurutnya, gagasan Negara Islam sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia. Karena, menganalogikannya dengan zaman peradaban Islam mengandung resiko coba dan salah yang cukup signifikan.
Kutipan dari Munawir Syazali, mengunci gagasan Negara Islam berkaitan dengan komponen bangsa yang mempunyai andil sama dalam meraih kemerdekaan. Berbeda dengan zaman khilâfah, lanjut munawir, umat muslim menjadi pioneer dan mempunyai andil “sosial-politik” dalam proses pembentukan negara. Sehingga kelompok di luar Islam (dzimmi) bisa menerima bentuk negara Islam.
Selanjutnya, dalam Bab 4 (h. 63-90) penulis buku menepis anggapan sementara kalangan yang melihat “watak desktruktif” dalam Islam Liberal. Sebagai sebuah pisau analisa, kalangan Islam Liberal berusaha menafsirkan Islam agar kompatibel dengan perkembangan zaman, bukan menghilangkan eksistensi Syariat (hukum) Islam. Bukankah, perkembangan madzhab fikih telah tumbuh subur dengan ragam penafsirannya ?.
Agama berada dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda, hingga sulit menepis berbagai “kata sifat” yang selalu melekat pada Islam. Apa yang diidamkan tentang “Islam kaffah” pun, mempunyai fungsi organik dan fungsional yang sangat dinamis. Jargon “rahmatan li al-âlamîn” sedianya menjadi patokan, ketika mengurai dilektika agama dan perubahan sosial.
Bab 5 (h. 63-90) berisi tentang “How Liberal Can You Go?” yang mengacu pada premis sebagai berikut. Pertama, Bentuk Islam Liberal mempunyai varian; (a) syariah liberal karena secara eksplisit syariat memberikan arah liberal, (b) silent syariah yang memunculkan tesis bahwa sesuatu yang tidak ditentukan syariah menjadi lahan liberalisasi, dan (c) interpreted syariah yang memberikan kesan, syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam.
Kedua, metodologi Islam Liberal, harus dilihat sebagai cara berfikir sendiri secara intelektual, yang kerap terlupakan atau sengaja direm dengan adagium pintu ijtihad telah tertutup. Padahal, tradisi berfikir mandiri, dengan meminjam analisa Budhi Munawar Rahman, secara geneologis mempunyai akar yang otentik dalam sejarah pemikiran muslim. Sehingga metodologi yang ada tak lebih dari pengulangan sejarah yang positif untuk menampilkan Islam lebih dinamis. Islam Liberal adalah tahapan dari perkembangan gerakan pembaharuan islam di tanah air.
Bab 6 (h. 91-122) penutup, yang bisa dikatakan sebagai timbangan. Penulis buku mengkritik Islam Liberal terlihat “mandul” ketika berhadapan dengan realitas kemiskinan struktural. Sebagai pembaharuan teologi, Islam Liberal, hanya menjadi konsumsi elit yang tidak mudah diserap oleh lapis bawah yang diradang krisis ekonomi. Dialektika kesalahan idiologi yang berakibat pada kemunduran ummat (baca: kemiskinan) tidak sepenuhnya benar, ini yang petama.
Kedua, pernyataan yang dilontarkan oleh pentolan Islam Liberal, kerap menaikkan suhu emosi yang merusak dialog kondusif. Kalau saja melihatnya dengan sudut sosiologi emosi, mungkin kafir-mengkafirkan tidak gampang mencuat ke permukaan. Terlebih, dialog saling mendengarkan yang diimbuhi toleransi merupakan inti demokrasi yang harus tetap dipegang.
Buku ini, dengan “watak gaulnya” memang mempunyai entri point tersendiri sebagai sebuah cara penyampaian gagasan. Sayangnya, kerap terlihat pengulangan dan penuturan argumen yang terpaksa dipermak agar menjadi gaul. Saya kira, penulis buku ini terjebak pada watak bahasa gaul yang memang tidak mempunyai struktur bahasa yang baik dan benar. Wa ’Allâh ‘Alam bi al-Shawâb
Inilah yang keempat
Judul Buku : Membedah Islam di Barat, Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman
Penulis : Alwi Shihab
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Volume : 384 h
Cetakan : Pertama, April 2004
Pasca peristiwa 11 September 2001, merupakan hari-hari yang berat bagi Umat Islam di Amerika. Para wanita lebih sering tinggal di rumah. Bahkan, untuk sementara waktu tidak berani mengenakan jilbabnya. Setidaknya seorang anggota gereja kristen Koptik dari Mesir menjadi korban penganiayaan hanya karena ia bertampang Arab. Seorang India penganut agama Sikh mengalami penganiayaan yang cukup fatal karena dikiranya sikh adalah Islam.
Agama Islam sering diidentifikasi sebagai sumber terorisme, kebencian, ketidakadilan terhadap perempuan, agama yang sesat dan palsu, dan sebagainya. Bagi sementara kalangan Islam, prejudis dan kesalahpahaman “Barat” seperti ini tidak jarang ditanggapi secara negatif. Hal ini pada gilirannya memunculkan kemarahan, frustasi, dan kebencian membabi buta terhadap “Barat.”
Tetapi bagi Alwi Shihab, prejudise dan kesalahpahaman itu justru ditanggapi secara dingin dengan melihatnya secara positif. Bahkan menjadi sumber kreatifitas dan panggilannya untuk melakukan dakwah Islam di barat. Misinya, bukan membaratkan Islam sehingga Islam hilang keunikannya, atau juga sebaliknya. Dengan buku ini alwi terlihat berusaha menjelaskan Islam kepada 'Barat' secara memadai, sebagai tanggapan atas reaksi yang kurang bersahabat atas Islam.
Bagi Alwi, banyak kalangan di Barat yang belum memahami apa itu Islam. Mereka mengenalnya sebagai agama yang “Buas”. Karena dipahami dari sudut mereka yang menggunakan Islam untuk mengabsahkan kekerasan dan kebencian. Ia berusaha memposisikan Islam sebagai agama yang hadir untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi umat manusia dan dunia (rahmatan lil 'âlamîn).
Ditengah-tengah orang “Barat” dengan spirit Islam sebagai penyerahan total, Alwi telah menjelaskan Islam apa adanya dan tidak emosionil. Rendah hati tetapi tetap penuh percaya diri dan tidak tergoda untuk melebihkan nilai-nilai positif agamanya untuk dibandingkan dengan hal-hal yang dianggapnya sebagai kelemahan agama lain.
Kalau dillustrasikan Ia seperti paulus yang memiliki keyakinan bahwa tugas, panggilan, dan misinya adalah ke Barat. Bedanya, paulus yang berada dalam semangat jamannya, berusaha meng-Kristenkan Barat. Sementara Alwi, dalam semangat inseklusif, pluralis dan lebih tepatnya semangat persaudaraan, berusaha membuat Islam dimengerti dan dipahami Barat secara proporsional.
Membaca buku ini bagaikan membaca suatu geografi, karena secara embriorik buku memang merupakan 'rekaman tertulis' tentang pengalaman mengajar Islam di bebarapa perguruan tinggi di negeri paman sam itu. Karenanya, tidak gersang dan tidak menyibukkan diri dengan teori-teori langitan. Sebaliknya, memaparkan uraian dan jawaban cerdas atas petanyaan-pertanyaan dan persoalan konkrit yang selama ini menjadi kendala untuk menjalin relasi yang sehat, setara dan saling menghormati.
Kesan yang akan didapatkan seperti moto majalah tempo ‘enak dibaca dan perlu’. Ketika membacanya, anda akan merasakan betapa pertanyaan-pertanyaan yang rumit dihadapi dan disikapi oleh Alwi Shihab dengan jawaban yang jernih, sabar, dan jujur. Anda pun akan merasakan kedalaman dan kematangan spiritualnya ketika persoalan kegamaan direspons secara tenang dan argumentatif.
Kecuali itu buku ini bisa mendorong kita untuk menilai relasi Islam-Barat secara kritis, positif, dan kreatif. Denganya berarti kita akan berani melakukan interpretasi kritis terhadap sejarah, politik, dan terutama terhadap teolog dan teologi dialog lintas agama yang mempengaruhi kita sendiri dan umat lain.
Setelah menelusuri uraian dan argumentasinya, prejudise dan kesalahpahaman ‘Barat’, ternyata mulai luntur. Digantikan dengan respek dan penghormatan untuk mencari titik temu antar agama. Dakwahnya bisa dikatakan sukses dengan munculnya sikap kritis mahasiswa-mahasiswa ‘Barat’ terhadap agaman yang dianutnya (baca; kristen). Ini sebenarnya sesuatu yang sangat positif, karena iman dan teologi sebagai doktrin agama, bukanlah sesuatu yang statis. Mereka bersifat dinamis sehingga mampu menjawab berbagai tantangan jaman.
Teologi kristen yang lahir dalam konteks peperangan dan permusuhan dengan Islam seperti yang dianut Calvin dan Luther, sudah harus dikritisi dan diganti. Mentalitas kami versus mereka harus diganti dengan mentalitas kita sebagai saudara-bersaudara. Teologi kristen yang muncul dalam konteks ‘Barat’ yang tidak bersentuhan dengan Islam atau budaya lain harus mengalami reinterpretasi. Ada banyak hal yang harus direinterpretasi agar agama dapat memaksimalkan perannya sebagai pembawa damai sejahtera bagi semua orang.
Saya kira prejudise dan kesalahpahaman telah membuat agama menjadi impoten. Padahal dia harus bisa memerankan dirinya demi perdamaian, keadilan, kesetaraan dan keutuhan ciptaan. Saya merasa, inilah visi besar buku ini. Langkah pertama untuk itu adalah melenyapkan prejudis dan kesalahpahaman. Bukan saja pada diri orang lain tetapi juga termasuk pada diri kita sendiri.
Menariknya, dalam memperjuangkan visinya ini, Alwi Shihab tidak terjebak untuk menggampangkan persoalan. Seolah-olah cukup bergaul dengan ‘Barat’ lalu semuanya beres. Alwi Shihab justru melihat hubungan Islam-Barat harus digarap secara komprehensip-integratif. Tepatnya berdasarkan kitab suci agama yang dianut oleh mitra dialognya. Karena dialog dan hubungan antar umat beragama hanya bisa langgeng bila ia memiliki dasar teologis yang kuat berdasarkan kitab suci. Tanpa itu semua, relasi umat beragama justru sering dicurigai sebagai kompromistis dan bahkan sinkritis.
Metodologi dakwah Alwi tersebut, terbilang langka dan unik. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia, terutama dari major yang non-teologi, yang tinggal di Barat tetapi semakin ‘terasing’ dari barat. Cak Nur pernah mengatakan “mahasiswa teologi di US cendrung lebih terbuka dan inklusif, sebaliknya mahasiswa non-teologi menjadi lebih “konserfatif” dan tertutup". Pengalaman sosiologis dan psikologis mereka mempengaruhi teologi dan sikap mereka terhadap Barat !, Namun bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara umat Islam di Barat dan “Barat”.
Peristiwa 911 (11 September), telah memicu inisitatif "Barat" untuk memahami Islam secara tuntas. Alwi jeli melihat peluang dakwah itu, dengan usahnya memperkenalkan Islam di Barat lewat metoda interaktif antara mitra dialog lintas agama. Memang dalam beberapa petemuan Kristen-Islam-Yahudi di Amerika, sering kali percakapan yang “dingin” berubah menjadi “panas” ketika persoalan Palestina diangkat. Kebanyakan kaum intelektual dan pihak gereja mainstream cendrung mendukung hak-hak bangsa palestina. Begitu juga sebagian besar kaum muslim Amerika.
Realitas ini berhasil dieliminir oleh seorang Alwi Shihab. Hal ini disebabkan oleh kwalitas intelektual yang matang berkat menempuh tradisi Timur dan Barat sekaligus. Meraih doktor bidang filsafat di Universitas Ains Syams di Mesir serta doktor dari Temple University USA dengan disertasi tentang misi kristenisasi. Buku ini selayaknya dibaca oleh peminat studi dialog lintas agama di tanah air.