Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

09 August 2006

Kesetaraan Itu Jauh

Pagi ini, 9 agustus 2006, saya menyempatkan diri sarapan nasi uduk bareng dengan orang-orang di terminal BSD tangerang. Itu kebiasaan saya menjelang berangkat ke kantor, Pusat Studi Al-Quran, agar tidak masuk angin di jalan. Maklum, perjalanan harus saya tempuh dengan menggunakan roda dua, supaya cepat nyampe.

Nah, ketika menyantap sepiring nasi uduk ada dua orang gadis lewat di depan mata kami. Seorang dari penyantap hidangan itu berseleroh "bang itu yang berpakaian hitam pasti kuat". Orang yang diajak bicara langsung nyahut, "wah yang benar, emang sudah pernah nyoba". "engga sih" ujarnya, "cuman dari ciri-cirinya kan bisa dilihat".

Si perempuan penjual nasi uduk itu, dan ternyata istri dari orang kedua dari dialog di atas tadi, bicara keras dan agak marah. Tebakan saya dia menanggapi atas obrolan kedua laki-laki itu. Terlepas dari satu orang yang berdialog adalah suaminya sendiri. Dia menyimpan kebencian atas striotipe yang dikandung dari dialog itu.

Ternyata perempuan masih jadi objek sek yang tak berkesudahan. Suaminya sendiri masih berani beraksi di depan matanya. Pagi hari, ketika istri sibuk sendiri menjajakan dagangannya, sementara dia sendiri asyik dengan obrolan masygulnya.

Kesetaran itu masih jauh panggang dari pada api. Begitu kiranya gambaran sederhana potret perempuan di tanah air. Saya sering menemukan kenyataan ini di tempat-tempat lain. Di semua tempat dengan latar belakang sosial yang beragam, masih menyisakan kepedihan kekerasan atas perempuan, dengan menempatkannya sebagai objek sek yang terus bisa dieksploitir begitu rupa.

Dan yang paling membuat saya heran, tiap sudut terminal itu dipenuhi oleh laki-laki yang bertipe tidak jauh dari potret dialog di atas tadi. Setidaknya saya menemukan hal yang tidak jauh beda dari tatapan dan reaksi tanda setuju atas inti dialog tadi. Terlebih kaum hawam menjadi pelengkap dari aktifitas di terminal itu. Kecuali fungsinya yang instrumental, juga jumlahnya yang kurang dari cukup untuk menandingi peran laki-laki tersebut.

Dalam konteks ini, saya teringat bagaimana perempuan sebagai anutan dan bisa jadi panutan dalam keluarga. Satu hadits meredaksikan untuk hormat sama ibu dengan tiga kali perintah, sementara untuk seorang bapak satu kali, itupun di akhir redaksi hadit tersebut.

Kesetaraan itu masih jauh ternyata.....
Muhtar Sadili

03 August 2006

Galeri Resensi-2

Ini yang pertama

Judul Buku : Cara Quran Membebaskan Perempuan
Penulis : Asma Barlas
Penerbit : Serambi, Jakarta
Volume : 388 hlm
Cetakan : I, Rabiulawal/Mei 2005

’Pembebasan perempuan’ menjadi menarik, ketika piranti yang digunakannya adalah nilai-nilai yang diangkat dari Al-Qur’an. Karena selama ini, telah banyak analisis yang menyimpulkan bahwa penafsiran atas ayat Al-Quran telah membentuk mainstream kaum muslim yang tidak ramah terhadap perempuan dan membeku dalam teks-teks keagamaan. Sehingga dalam batas tertentu telah membelenggu kebebasan kaum hawa.
Lewat buku ini, Asma Barlas mencoba menjernihkan masalah di atas dengan dua pertanyaan; (1) apakah Al-Quran mengajarkan atau menoleransi ketidaksetaraan dan penindasan jender? dan (2) apakah Al-Quran memperkenankan dan mendukung pembebasan perempuan?

Dengan menggunakan metodologi interpretasi (hermeneutik) yang disarikan dari Al-Quran dan pendekatan sejarah, didapatkan jawaban; yang pertama adalah ’tidak’ dan yang kedua adalah ’ya’. Epistemologi Al-Quran bagi Barlas, secara inhern anti patriarkhi, dan ia memperkenankan kita meneorikan kesetaraan jender secara radikal.
Buku ini boleh dikatakan sebagai kritik terhadap penindasan yang berkedok seksual/teksual dalam masyarakat Islam. Atau upaya kecil untuk memperbaiki apa yang disebut oleh Leila Ahmed sebagai ’egaliter Islam’ dan menempatkannya sebagai suara tandingan yang sah bagi ’suara Islam otoriter’ yang sering kita dengar belakangan ini.

Selanjutnya, buku ini diisi dua bagian. Bagian I (h. 83-180) terdiri dari bab 2 dan bab 3, yang secara bersama-sama menganalisis karakteristik teks, tekstualitas, dan inter/ekstra tekstualitas dalam wacana keagamaan muslim. Adapun bagian II berisi bab 4 – bab 6 (181-350).

Bab 2 merinci teks-teks keagamaan Islam kaitannya dengan praktek (metode) interpretasi tertentu dan konseptualisasi yang berbeda dengan hubungan di antara teks, masa, dan metode. Dibahas juga pandangan yang berbeda tentang masa yang suci dan yang duniawi, serta eksesnya dalam membentuk pemahaman atas ajaran Al-Quran.
Bab 3 berisi penelusuran atas tekstualitas dengan analisis seputar hubungan dalam, dan di antara teks (intertekstualitas) di satu sisi, peran berbagai konteks, dan ekstra tekstual (negara, hukum, dan tradisi) dalam pembentukan wacana keagamaan muslim pada sisi lain. Karenanya dapat ditemukan difinisi kitab hukum (canon) dan definisi ilmu pengetahuan sendiri kaitannya dalam membentuk penafsiran ayat Al-Quran. Begitu juga analisis atas peran negara dan komunitas interpretasi pada tahap awal sejarah Islam dalam pembentukan metode, makna, dan pengalaman.

Komunitas interpretasi tersebut telah mengaitkan praktek penafsirannya dengan praktek penafsiran nabi, yang pada gilirannya menempatkan penafsiran itu lebih tinggi dari wahyu sebagai sebuah metode yang telah menutup perbincangan tentang bagaimana kaum muslim dapat membaca Al-Quran ’secara benar’ dewasa ini. Metode penafsiran ini telah menggantikan wacana ilahi, menafikan konsep polisemi kitab suci, menghalangi perkembangan penafsiran baru, dan menutup kemunitas pembaca baru (terutama perempuan) untuk mengakses Al-Quran.

Bab 4 membahas karakteristik pengungkapan-diri Tuhan dalam Al-Quran, karena hirarki jender dan teori tentang kekuasaan ayah/suami dalam sistem patriarkhi keagamaan yang bersumber dari penggambaran Tuhan sebagai bapak/laki-laki. Tujuan Barlas, ingin menunjukkan bahwa penyebutan Islam sebagai sebuah agama bapak/para bapak merupakan hal yang menyesatkan karena ia mengabaikan penolakan tegas Al-Quran terhadap gambaran patriarkhis tentang Tuhan-Bapak dan para nabi (sebagai) bapak, dan juga kritik tajam al-Quran terhadap sejarah kekuasaan para bapak. Klaim ini dibuktikan dengan penjelasan kisah-kisah nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.

Bab 5 menganalisis pendekatan Al-Quran terhadap jenis kelamin/jender dan seksualitas, dan berargumen bahwa meskipun Al-Quran mengakui perbedaan biologis (seksual), ia tidak mendukung pandangan yang membedakan jenis kelamin/jender, atau dualisme jender. Al-Quran tidak memberikan makna simbolis terhadap jenis kelamin (biologi) atau terhadap perbedaan itu sendiri. Malah, Al-Quran membangun prinsip-prinsip kesetaraan jender, dan hal tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda dari model satu jenis kelamin maupun dua-jenis kelamin yang melandasi pemikiran patriarkis Barat. Kecuali itu, dibahas masalah seksualitas dan sebab pembedaan laki-laki dan perempuan atas dasar jenis kelamin mereka. Laki-perempuan memiliki sifat dan kebutuhan seksual yang sama lengkap dengan ajaran tentang kesantunan dan moralitas seksualnya.

Bab 6 membahas ibu dan ayah, suami dan istri, serta distingsi pandangan Al-Quran dari pemikiran patriarkis (Barat) maupun pemikiran kaum feminis. Hubungan antara dua itu (ayah-ibu/suami-istri) diletakkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keseimbangan, dan persamaan (tergantung konteksnya) meskipun terdapat ayat tentang poligami, perceraian, dan nusyuz. Ini menegaskan dalam Islam terdapat nuktah kesetaran jender sebagai bantahan atas klaim bahwa hal itu hanya ada dalam nilai Barat.

Hanya saja, buku ini ’terlalu serius’ karena setiap penyajian pendapat dijelali dengan footnote dan kita kesulitan menemukan ide asli penulisnya. Begitu juga terlalu mengandalkan sumber-sumber sekunder, terutama untuk kajian tafsir Al-Quran. Satu contoh, kata qawwamûna dan dharaba dirujuk tidak langsung kepada kitab aslinya, tapi melalui Amina Wadud, Mernisi, atau lainnya. Hampir tidak ada referensi kitab tafsir terkemuka seperit al-Thabari, Ibni Katsir, Thaba’thaba’i, Abduh dan lainnya yang biasa menggunakan bahasa arab.

Meski demikian, buku ini cukup lengkap untuk mengantarkan kita pada diskusi mengenai persoalan isu-isu perempuan dalam Al-Quran dengan menggunakan perspektif gabungan dari sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Wa Allâh’alam bishshawâb

Baru ini yang kedua

Judul Buku : Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer
Penulis : Dr. Ir. Muhammad Shahrur
Penerbit : Elsaq Press, Yogjakarta
Volume : 318 + xxii hlm
Cetakan : Pertama, Oktober 2004

Penomena stagnasi dalam dunia Arab-Islam dan atau peradaban keagamaan memasuki melenium baru dalam arus globalisasi, telah menggugah kesadaran para pemikir era kontemporer untuk melakukan evaluasi. Setidaknya dapat kita dipetakan menjadi tiga varian; (1) sikap terhadap turâs (warisan tradisi), (2) sikap terhadap Barat, dan (3) sikap terhadap medernitas.

Dalam konteks ini, Shahrur berusaha melengkapi upaya kritik diri (naqd al-dzâti) yang telah dilakukan oleh cendekiawan muslim lainnya, seperti; ’Abid al-Jâbiri, Muhammad Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Ia telah menelorkan magnum opus-nya al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ’ah Mu’âshirah, yang diterjemahkan sepertiganya menjadi buku ini, sebagai keseriusannya dalam studi al-Quran, dengan menggunakan pendekatan linguistik modern ditambah dengan analogi yang diambil dari ilmu teknik dan sains.

Al-Quran, dalam pengertian khas Shahrur berarti bagian tertentu dari kitab suci yang bertemakan ilmu pengetahuan objektif. Al-Quran sedianya dibaca dan dipahami bukan melalui prisma abab-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah ‘Rasulullah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut’. Ini pada gilirannya mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi terhadap pelbagai konsep, teori, dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas umat Islam.

Dengan kacamata linguistik, al-Quran dinyatakannya sebagai kitab berbahasa arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan; sastrawi (al-I’jâz al-balâghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif-signifikansi (al-manhaj al-washfi al-wazîji) dan ilmiah (al-‘ijâz al-‘ilmi) yang diteropong dengan menggunakan pendekatan historis-ilmiah (al-manhaj al-târikhi al’ilmi).

Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisis sastra (balâgah) dan analisis gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu biasanya dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas (at-tarâduf) dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim.
Lebih jauh, Shahrur juga menegaskan asumsinya bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia, diturunkan untuk dapat dipahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa metode memahami al-Quran yang oleh Shahrur disebut dengan istilah manhaj al-tartîl, yang dapat diidentikkan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya, Shahrur meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika al-Quran yang diistilahkannya dengan al-takwîl.
Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Shahrur mengagas teori batas (nadzâriyât al-hudûd) yang dapat disebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan jika dikatakan; Shahrur sedang meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya al-Quran.

Al-Kitâb wal al-Qur’ân merupakan karya pertamanya yang monumental dan cukup komprehensif merefleksikan pemikirannya, baik pada aspek metodologi maupun aplikasinya dalam penafsiran teks al-Quran. Hingga saat ini, paling tidak Shahrur sudah menulis tiga buku lanjutan dalam proyek ambisiusnya ‘Qirâ’ah mu’âshirah’. Salah satu muatan penting dalam buku-buku tersebut adalah revisi (al-tashwîb) terhadap pelbagai perspektif dan asumsi metodologis yang digagas dalam buku pertamanya.

Terlepas dari kontoversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Quran. Jargon ‘qirâ’ah mu’âshirah’ yang dilontarkan oleh Shahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat al-Quran sesuai dengan perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. Wa Allâh ’alam bishshawâb

Ini ketiga

Judul Buku : Islam Liberal Versi Anak Muda
Penulis : J. Firmansyah
Pengantar : Anas Urbaningrum
Penerbit : Pustaka Zaman (Puzam)
Volume : 157
Cetakan : Pertama Mei 2003

Wacana Islam Liberal memang sangat menarik untuk kita diskusikan. Ini berkaitan dengan ekses yang ditimbulkannya ketika berhadapan dengan kelompok yang menggunakan “cara pendekatan” lain dalam memahami agama Islam. Klaim kafir-mengkafirkan pun menyeruak ke permukaan. Dan itu bukan masalah sepele di tengah keseriusan umat dalam menata kehidupan beragama yang santun dan beradab.

Sejatinya, sudut pandang yang berbeda, ditempatkan sebagai satu konklusi yang memungkinkan salah dan benar. Sulit rasanya membangun sebuah relasi harmonis dalam cara berpikir, ketika satu kebenaran melebihi hakikat dari kebenaran itu sendiri. Jauh-jauh hari nabi Muhammad SAW, mengingatkan kita bahwa prestasi berijtihad tidak lepas dari dua kutub yang selalu nempel, salah dan benar. Nampaknya, sikap tersebut butuh sosialisasi pada segenap lapisan masyarakat.

Buku “Islam Liberal Versi Anak Muda” yang ditulis oleh J Firmansyah terasa getarannya ketika publikasi yang diterbitkan berkaitan dengan Islam Liberal dibanjiri analisa “ngejelimet”. Buku ini, sepanjang pengamatan penulis, karya pertama tentang potret Islam Liberal dengan bungkusan “bahasa gaul”, tanpa menghilangkan pesan penting. Bahwa kita memang harus memulai untuk bersikap arif dan bijaksana atas perbedaan pendapat.

Dalam kata pengantar yang ditulis Anas Urbaningrum, Islam Liberal diduga kuat sebagai buah dari modernisme yang menyusup pada kalangan terdidik muslim di perkotaan (h.xii), Kecuali itu, sebagai anti tesa dari kehadiran gerakan “fundamentalis-radikal” beserta gagasannya yang menjamur pasca rontoknya orde baru (h.xi). Kedua sebab itu bermuara pada maenstrem tampilan Islam yang inklusif-pluralis dengan menitikberatkan pada kontekstualisasi ajaran dengan gerakan kultural (h.xiii). Sehingga formalisasi syariat menjadi penolakan utama bagi kalangan Islam Liberal di tanah air (Ibid).

Dengan meminjam teori G.A William, pada Bab 1 (h.1-8), dibahas tentang hegemoni liberalisme-kapitalisme dengan seabreg cara yang memikat, termasuk dalam pemberitaan pers dan buku-buku. Firmansyah, beranggapan bahwa Islam Liberal merupakan kooptasi liberalisme terhadap Islam, atau sebaliknya. Terlahir dari pemikiran Islam itu sendiri?, Dan, apakah penafsiran literal atau tekstual merupakan satu-satunya wajah pemaknaan Islam yang sah ?

Bab 2 (h.9-22) sepertinya sebagai jawaban, bahwa kesan “Islam Liberal sebagai Islam yang Terbaratkan” ternyata hanya isapan jempol belaka. Buktinya, kekritisan Umar yang sepintas lalu bertentangan dengan QS Al-Anfâl ayat 14 tentang pembagian rampasan perang 4/5 bagi pasukan muslim dan 1/5 bagi negara, adalah benih liberalisme. Umar menolak, dengan alasan hukum (illah), jika dibagikan akan terganggu kelangsungan bangsa yang ditaklukkan. Sedianya tetap dalam penguasaan warga setempat dengan sistem sewa. Dan itu disepakati setelah penentangnya yang diplopori Bilâl dapat menerima “semangat nash” dalam Ijtihad Umar.

Bab 3 (h. 23-48) membahas tentang “Negara Islam atawa Negara Sekularis Demokratis” pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air. Menurutnya, gagasan Negara Islam sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia. Karena, menganalogikannya dengan zaman peradaban Islam mengandung resiko coba dan salah yang cukup signifikan.
Kutipan dari Munawir Syazali, mengunci gagasan Negara Islam berkaitan dengan komponen bangsa yang mempunyai andil sama dalam meraih kemerdekaan. Berbeda dengan zaman khilâfah, lanjut munawir, umat muslim menjadi pioneer dan mempunyai andil “sosial-politik” dalam proses pembentukan negara. Sehingga kelompok di luar Islam (dzimmi) bisa menerima bentuk negara Islam.

Selanjutnya, dalam Bab 4 (h. 63-90) penulis buku menepis anggapan sementara kalangan yang melihat “watak desktruktif” dalam Islam Liberal. Sebagai sebuah pisau analisa, kalangan Islam Liberal berusaha menafsirkan Islam agar kompatibel dengan perkembangan zaman, bukan menghilangkan eksistensi Syariat (hukum) Islam. Bukankah, perkembangan madzhab fikih telah tumbuh subur dengan ragam penafsirannya ?.
Agama berada dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda, hingga sulit menepis berbagai “kata sifat” yang selalu melekat pada Islam. Apa yang diidamkan tentang “Islam kaffah” pun, mempunyai fungsi organik dan fungsional yang sangat dinamis. Jargon “rahmatan li al-âlamîn” sedianya menjadi patokan, ketika mengurai dilektika agama dan perubahan sosial.

Bab 5 (h. 63-90) berisi tentang “How Liberal Can You Go?” yang mengacu pada premis sebagai berikut. Pertama, Bentuk Islam Liberal mempunyai varian; (a) syariah liberal karena secara eksplisit syariat memberikan arah liberal, (b) silent syariah yang memunculkan tesis bahwa sesuatu yang tidak ditentukan syariah menjadi lahan liberalisasi, dan (c) interpreted syariah yang memberikan kesan, syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam.

Kedua, metodologi Islam Liberal, harus dilihat sebagai cara berfikir sendiri secara intelektual, yang kerap terlupakan atau sengaja direm dengan adagium pintu ijtihad telah tertutup. Padahal, tradisi berfikir mandiri, dengan meminjam analisa Budhi Munawar Rahman, secara geneologis mempunyai akar yang otentik dalam sejarah pemikiran muslim. Sehingga metodologi yang ada tak lebih dari pengulangan sejarah yang positif untuk menampilkan Islam lebih dinamis. Islam Liberal adalah tahapan dari perkembangan gerakan pembaharuan islam di tanah air.

Bab 6 (h. 91-122) penutup, yang bisa dikatakan sebagai timbangan. Penulis buku mengkritik Islam Liberal terlihat “mandul” ketika berhadapan dengan realitas kemiskinan struktural. Sebagai pembaharuan teologi, Islam Liberal, hanya menjadi konsumsi elit yang tidak mudah diserap oleh lapis bawah yang diradang krisis ekonomi. Dialektika kesalahan idiologi yang berakibat pada kemunduran ummat (baca: kemiskinan) tidak sepenuhnya benar, ini yang petama.

Kedua, pernyataan yang dilontarkan oleh pentolan Islam Liberal, kerap menaikkan suhu emosi yang merusak dialog kondusif. Kalau saja melihatnya dengan sudut sosiologi emosi, mungkin kafir-mengkafirkan tidak gampang mencuat ke permukaan. Terlebih, dialog saling mendengarkan yang diimbuhi toleransi merupakan inti demokrasi yang harus tetap dipegang.

Buku ini, dengan “watak gaulnya” memang mempunyai entri point tersendiri sebagai sebuah cara penyampaian gagasan. Sayangnya, kerap terlihat pengulangan dan penuturan argumen yang terpaksa dipermak agar menjadi gaul. Saya kira, penulis buku ini terjebak pada watak bahasa gaul yang memang tidak mempunyai struktur bahasa yang baik dan benar. Wa ’Allâh ‘Alam bi al-Shawâb

Inilah yang keempat

Judul Buku : Membedah Islam di Barat, Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman
Penulis : Alwi Shihab
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Volume : 384 h
Cetakan : Pertama, April 2004

Pasca peristiwa 11 September 2001, merupakan hari-hari yang berat bagi Umat Islam di Amerika. Para wanita lebih sering tinggal di rumah. Bahkan, untuk sementara waktu tidak berani mengenakan jilbabnya. Setidaknya seorang anggota gereja kristen Koptik dari Mesir menjadi korban penganiayaan hanya karena ia bertampang Arab. Seorang India penganut agama Sikh mengalami penganiayaan yang cukup fatal karena dikiranya sikh adalah Islam.

Agama Islam sering diidentifikasi sebagai sumber terorisme, kebencian, ketidakadilan terhadap perempuan, agama yang sesat dan palsu, dan sebagainya. Bagi sementara kalangan Islam, prejudis dan kesalahpahaman “Barat” seperti ini tidak jarang ditanggapi secara negatif. Hal ini pada gilirannya memunculkan kemarahan, frustasi, dan kebencian membabi buta terhadap “Barat.”

Tetapi bagi Alwi Shihab, prejudise dan kesalahpahaman itu justru ditanggapi secara dingin dengan melihatnya secara positif. Bahkan menjadi sumber kreatifitas dan panggilannya untuk melakukan dakwah Islam di barat. Misinya, bukan membaratkan Islam sehingga Islam hilang keunikannya, atau juga sebaliknya. Dengan buku ini alwi terlihat berusaha menjelaskan Islam kepada 'Barat' secara memadai, sebagai tanggapan atas reaksi yang kurang bersahabat atas Islam.

Bagi Alwi, banyak kalangan di Barat yang belum memahami apa itu Islam. Mereka mengenalnya sebagai agama yang “Buas”. Karena dipahami dari sudut mereka yang menggunakan Islam untuk mengabsahkan kekerasan dan kebencian. Ia berusaha memposisikan Islam sebagai agama yang hadir untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi umat manusia dan dunia (rahmatan lil 'âlamîn).

Ditengah-tengah orang “Barat” dengan spirit Islam sebagai penyerahan total, Alwi telah menjelaskan Islam apa adanya dan tidak emosionil. Rendah hati tetapi tetap penuh percaya diri dan tidak tergoda untuk melebihkan nilai-nilai positif agamanya untuk dibandingkan dengan hal-hal yang dianggapnya sebagai kelemahan agama lain.
Kalau dillustrasikan Ia seperti paulus yang memiliki keyakinan bahwa tugas, panggilan, dan misinya adalah ke Barat. Bedanya, paulus yang berada dalam semangat jamannya, berusaha meng-Kristenkan Barat. Sementara Alwi, dalam semangat inseklusif, pluralis dan lebih tepatnya semangat persaudaraan, berusaha membuat Islam dimengerti dan dipahami Barat secara proporsional.

Membaca buku ini bagaikan membaca suatu geografi, karena secara embriorik buku memang merupakan 'rekaman tertulis' tentang pengalaman mengajar Islam di bebarapa perguruan tinggi di negeri paman sam itu. Karenanya, tidak gersang dan tidak menyibukkan diri dengan teori-teori langitan. Sebaliknya, memaparkan uraian dan jawaban cerdas atas petanyaan-pertanyaan dan persoalan konkrit yang selama ini menjadi kendala untuk menjalin relasi yang sehat, setara dan saling menghormati.

Kesan yang akan didapatkan seperti moto majalah tempo ‘enak dibaca dan perlu’. Ketika membacanya, anda akan merasakan betapa pertanyaan-pertanyaan yang rumit dihadapi dan disikapi oleh Alwi Shihab dengan jawaban yang jernih, sabar, dan jujur. Anda pun akan merasakan kedalaman dan kematangan spiritualnya ketika persoalan kegamaan direspons secara tenang dan argumentatif.

Kecuali itu buku ini bisa mendorong kita untuk menilai relasi Islam-Barat secara kritis, positif, dan kreatif. Denganya berarti kita akan berani melakukan interpretasi kritis terhadap sejarah, politik, dan terutama terhadap teolog dan teologi dialog lintas agama yang mempengaruhi kita sendiri dan umat lain.

Setelah menelusuri uraian dan argumentasinya, prejudise dan kesalahpahaman ‘Barat’, ternyata mulai luntur. Digantikan dengan respek dan penghormatan untuk mencari titik temu antar agama. Dakwahnya bisa dikatakan sukses dengan munculnya sikap kritis mahasiswa-mahasiswa ‘Barat’ terhadap agaman yang dianutnya (baca; kristen). Ini sebenarnya sesuatu yang sangat positif, karena iman dan teologi sebagai doktrin agama, bukanlah sesuatu yang statis. Mereka bersifat dinamis sehingga mampu menjawab berbagai tantangan jaman.

Teologi kristen yang lahir dalam konteks peperangan dan permusuhan dengan Islam seperti yang dianut Calvin dan Luther, sudah harus dikritisi dan diganti. Mentalitas kami versus mereka harus diganti dengan mentalitas kita sebagai saudara-bersaudara. Teologi kristen yang muncul dalam konteks ‘Barat’ yang tidak bersentuhan dengan Islam atau budaya lain harus mengalami reinterpretasi. Ada banyak hal yang harus direinterpretasi agar agama dapat memaksimalkan perannya sebagai pembawa damai sejahtera bagi semua orang.

Saya kira prejudise dan kesalahpahaman telah membuat agama menjadi impoten. Padahal dia harus bisa memerankan dirinya demi perdamaian, keadilan, kesetaraan dan keutuhan ciptaan. Saya merasa, inilah visi besar buku ini. Langkah pertama untuk itu adalah melenyapkan prejudis dan kesalahpahaman. Bukan saja pada diri orang lain tetapi juga termasuk pada diri kita sendiri.

Menariknya, dalam memperjuangkan visinya ini, Alwi Shihab tidak terjebak untuk menggampangkan persoalan. Seolah-olah cukup bergaul dengan ‘Barat’ lalu semuanya beres. Alwi Shihab justru melihat hubungan Islam-Barat harus digarap secara komprehensip-integratif. Tepatnya berdasarkan kitab suci agama yang dianut oleh mitra dialognya. Karena dialog dan hubungan antar umat beragama hanya bisa langgeng bila ia memiliki dasar teologis yang kuat berdasarkan kitab suci. Tanpa itu semua, relasi umat beragama justru sering dicurigai sebagai kompromistis dan bahkan sinkritis.

Metodologi dakwah Alwi tersebut, terbilang langka dan unik. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia, terutama dari major yang non-teologi, yang tinggal di Barat tetapi semakin ‘terasing’ dari barat. Cak Nur pernah mengatakan “mahasiswa teologi di US cendrung lebih terbuka dan inklusif, sebaliknya mahasiswa non-teologi menjadi lebih “konserfatif” dan tertutup". Pengalaman sosiologis dan psikologis mereka mempengaruhi teologi dan sikap mereka terhadap Barat !, Namun bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara umat Islam di Barat dan “Barat”.

Peristiwa 911 (11 September), telah memicu inisitatif "Barat" untuk memahami Islam secara tuntas. Alwi jeli melihat peluang dakwah itu, dengan usahnya memperkenalkan Islam di Barat lewat metoda interaktif antara mitra dialog lintas agama. Memang dalam beberapa petemuan Kristen-Islam-Yahudi di Amerika, sering kali percakapan yang “dingin” berubah menjadi “panas” ketika persoalan Palestina diangkat. Kebanyakan kaum intelektual dan pihak gereja mainstream cendrung mendukung hak-hak bangsa palestina. Begitu juga sebagian besar kaum muslim Amerika.

Realitas ini berhasil dieliminir oleh seorang Alwi Shihab. Hal ini disebabkan oleh kwalitas intelektual yang matang berkat menempuh tradisi Timur dan Barat sekaligus. Meraih doktor bidang filsafat di Universitas Ains Syams di Mesir serta doktor dari Temple University USA dengan disertasi tentang misi kristenisasi. Buku ini selayaknya dibaca oleh peminat studi dialog lintas agama di tanah air.

01 August 2006

KH. Ahmad Sanusi adalah Mufassir Sunda

Membicarakan karya tafsir di Indonesia, kerap berangkat dari corak penafsiran yang terkandung di dalamnya. Ini berkaitan dengan cara penyampaian dan klasifikasi materi yang bermuara pada sejauhmana karya tafsir mudah dipahami oleh para peminatnya. Begitu juga, bagaimana kelebihan satu karya tafsir dengan yang lainnya. Hanya saja, biasa dibatasi dengan karya tafsir yang berbahasa Arab dan atau Indonesia. Kita jarang menemukan –untuk tidak menyebutnya tidak ada-- telaah kritis atas karya tafsir yang menggunakan bahasa daerah tertentu. Studi tersebut sangat penting untuk melihat sejauhmana efek intelektual karya tafsir dengan kondisi sosial-budaya yang mengitarinya.

Relefansi tafsir dengan bahasa daerah bukan dimaksudkan sebagai piranti lunak untuk menyuburkan rasa fanatisme etnis yang bertentangan dengan paham universilitas Islam (rahmatan lil 'âlamîn). Akan tetapi, dengan meminjam Istilah M. Quraish Shihab, Direktur Pusat Studi Al-Quran Jakarta, sebagai upaya 'membumikan Al-Quran' dalam masyarakat pluralistik yang meniscayakan sebuah proses yang terus menerus tanpa henti. Lebih Lanjut M. Quraish (Membumikan Al-Qur'an, Mizan, 2004) telah menyuguhkan format dakwah dalam Al-Qur'an, harus memperhatikan lokus budaya dan bahasa di mana nilai-nilai Al-Quran akan disampaikan. 'Sampaikanlah ajaranku dengan mempergunakan lisan umatnya' demikian kata Hadits Nabi. Bahasa adalah simbol yang padat makna dan sarat arti sehingga memungkinkan transformasi nilai secara sistemik dalam nalar komunitas yang menjadi sasaran dakwah tersebut.

Beberapa karya Tafsir dan atau terjemahan sunda menarik untuk dicermati. Sebagaimana sebuah disiplin ilmu, ia mempunyai titik awal yang jadi peletak dasar-dasar untuk menelorkan karya-karya ilmiah sesudahnya. KH. Ahmad Sanusi, sebagai mufassir sunda legendaris, bisa dijadikan sampel bagi para calon mufassir sunda lainnya. Jas Merah; Jangan melupakan sejarah!, begitu kata presiden pertama kita Soekarno. Kalau saja beliau tidak menelorkan karya tafsir sundanya itu, mungkin proses terbentuknya kesadaran akan urgensitas tafsir sunda tidak dimulai lebih cepat. Atau sama sekali belum ada sampai sekarang.
Sosok Mufassir Sunda

KH. Ahmad Sanusi, orang sunda memanggilnya dengan sebutan Ajengan Sanusi, Ajengan Cantayan, atau Ajengan Genteng ((Kiai Haji Ajengan Ahmad Sanusi, PUI, Jkt, 1993) adalah seorang ulama berpengaruh abad 20 di tanah parahiayangan. Ia dilahirkan pada 18 September 1989M/3 Muharram 1306, di Cantayan sebuah desa di Cibadak, Sukabumi sekitar 20 km arah Barat kota Sukabumi. Akibat timbulnya pertentangan dengan pemerintah Belanda, Haji Yasin Sebagai keturunan Suria Dadaha Dalem Sawidak Sukapura Tasikmalaya –ayah Haji Abdurrahim dan kakeknya Ahmad Sanusi—pindah ke Sukabumi dan mendirikan pesantren sambil menjadi amil di desa cantayan Sukabumi.

Uci –panggilan untuk KH. Ahmad Sanusi—sebagai representasi dari keturunan kiai yang melanjutkan estafet dakwahnya. Dalam pribahasa sunda kita mengenalnya dengan ungkapan "anak merak kukuncungan uyah tara tees ka luhur'. Uci pu meniti tangga keilmuan di tanah suci selama hampir sebelas tahun. Kemudian terlibat langsung dalam gerakan Islam sampai menjabat terakhir sebagai Shu Sangi Kai dan Wakil Residen semasa pendudukan Jepang di tanah air.

Selepas itu, beliau lebih banyak terlibat dalam dunia pendidikan dan menulis buku sebanyak 125 buah yang meliputi berbagai bidang agama, yang ditulis baik dalam bahasa sunda maupun bahasa Indonesia. Sosok ulama sunda ini dipenuhi aktifitas sosial keagamaan plus mewariskan karya yang sangat berharga dan bisa dibanggakan oleh urang sunda.

Salah satu karya KH. Ahmad Sanusi yang banyak dikenal di masyarakat Sunda adalah kitab Raudhah al-‘Irfân fi ma’rifah al-Qur’ân yang bisa dikatakan sebagai kitab tafsir sunda. Beliau adalah salah satu dari tiga ulama Sunda (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab asli Sunda yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat. Begitu juga ulama sekaligusi penyair terkenal, ‘Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karya-karya penting tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan al-Ghazâli.

Martin Van Bruinessen (Kitab Kuning, Mizan 1996), peneliti senior asal Belanda, menyebut ketiganya sebagai penulis karya orisinil dan bukan pen-syarah (penyempurna) atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX. Kitab Raudhatu al-‘Irfân fi ma’rifati al-Qur’ân bisa dikatakan sebagai starting point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang belum cekatan dalam menelorkan karya tafsir yang utuh.

Tidak kurang dari sekian banyak pesantren di ranah parahyangan mempergunakan kitab tafsir ini dalam proses belajar-mengajar. Begitu juga, “pengajian kampungan” di lingkungan masyarakat yang dibimbing oleh para almuni pesantren-pesantren di Jawa Barat tersebut, baik yang dilakukan secara rutin (berkala) maupun pada waktu tertentu (insidentil). Dengan gampang kita menemukan kitab tafsir ini di beberapa toko-toko kitab di pasar-pasar tingkat kecamatan sekalipun. Naik cetaknya juga sudah tidak terhitung berapa kali, sejak diterbitkan oleh beberapa penerbit yang berbeda-beda dan tanpa tahun penerbitan pertama.

Model Tafsir Subda

Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Sunda, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat Sunda umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya.
Keterangan yang ada di bagian kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), jumlah ayat, serta huruf-hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan masalah fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua madzhab dalam Islam itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim di wilayah Jawa Barat. Dari sini terlihat bagaimana KH. Ahmad Sanusi mempunyai strategi tersendiri dalam menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham masyarakat pada umumnya.

Pengertian perkata yang ada dalam tafsir ini nampaknya diilhami oleh Tafsîr Jalâlain Karya Jalâluddîn al-Suyûthî dan Jalâluddîn al-Mahallî yang banyak dipergunakan di lingkungan pesantren Jawa. Ini terlihat dari awal penafsiran surat al-Fâtihah sampai surat-surat yang sesudahnya. Model Tafsîr Mufradât (tafsiran kata per kata) yang melekat pada tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak atas diri KH. Ahmad Sanusi ketika meracik tafsirannya untuk setiap kata dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini yang bisa dilakukan ketika tafsir yang dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi oleh kebanyakan masyarakat muslim sunda yang belum terbentuk kesadarannya secara sempurna akan teks kitab suci. Pada kenyataanya, pengguna tafsir ini memang terpikat karena gaya penafsiran perkata itu.

Belakangan ini, kita juga menemukan terjemahan Sunda yang diterbitkan dengan lisensi dari MUI Jawa Barat. Ada sebagian kalangan yang menduga, bahwa setelah kemunculan tafsir karya KH. Ahmad Sanusi di atas, kebutuhan masyarakat Sunda atas pengetahun tafsir al-Quran semakin meningkat. Hal itu tidak berbanding lurus dengan kemampuan untuk menyerap langsung dari kitab-kitab yang bertuliskan “Arab asli”. Saya kira, inilah yang kemudian menjadi motifasi untuk menyuguhkan terjemahan al-Quran “versi Sunda” yang banyak dilakukan oleh beberapa penerbit pasca kemunculan karya KH. Ahmad Sanusi.

Kecuali itu, faktor yang menyebabkan kitab ini banyak dipergunakan oleh masyarakat muslim Sunda, adalah ketokohan penulisnya. KH. Ahmad Sanusi yang dikenal sebagai pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah, yang bergabung ke dalam Persatuan Ummat Islam (PUI) pada tahun 1952. Beliau pun dikenal sebagai salah satu penganut Tarekat Qadiriyah yang banyak dianut oleh masyarakat pra/pasca kemerdekaan. Bahkan, para pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan, kerap meminta ajaran dan kekebalan kepada KH. Ahmad Sanusi berkaitan dengan terjemahan Manâqib Abdulqâdir Jailânî yang kemudian jadi pedoman Tarekat Qadiriyah itu.

Dalam konteks ini, pertimbangan pilihan karya terlihat dipengaruhi oleh faktor tertentu (baca ketokohan) terlepas dari keberadaan isi yang terkandung di dalamnya. Secara sosiologis, masyarakat muslim –khususnya di pedesaan– memang mempunyai tingkat apresiasi tinggi terhadap seorang tokoh yang dikenalnya. Cara beragama sedikit banyak dipengaruhi oleh kharisma tokohnya yang terbentuk secara alamiha. Karena kharisma, dalam sosiologi agama mempunyai peran besar dalam transformasi idiologis dalam masyarakat yang cendrung feodal-tradisionlis. Lebih dari itu, sisa-sisa kepercayaan animisme yang tidak bisa lepas dari aspek mitologi, dalam batas tertentu bisa jadi mempengaruhi 'cara pandang idiologis' setiap individunya, tidak terkecuali bagi tokoh agamanya.

Hanya saja, apresiasi atas karya KH. Ahmad Sanusi ini pada proses selanjutnya lebih diarahkan pada 'kepentingan pragmatis' untuk mencerna pesan Qur’ani, tanpa dihubung-hubungkan dengan mitologi atas diri KH. Ahmad Sanusi sebagaimana analisis di atas tadi. Berdasarkan reportase penulis ke beberapa pengguna dan pengajar di wilayah Jawa Barat, kelebihan kitab ini teletak pada kemudahan pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulisnya. Meski mempergunakan tulisan Arab dengan bacaan Sunda, tapi para peserta pengajian dapat menyerapnya dengan mudah. Padanan kata yang digunakannya pun, sesuai dengan kosakata keseharian yang mana tidak membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyerap isinya. Begitu juga, pengalih-istilahan arti yang disesuaikan dengan simbol-simbol makna bahasa Sunda. Seperti mengartikan kata dzarrah dengan biji sawi, yang diakui dan dikenal sebagai benda yang terkecil dalam tradisi bahasa Sunda.

Sepertinya, model tafsir yang mempunyai dialektika dengan simbol-simbol makna yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu tertentu mempunyai titik fungsional tersendiri. Seorang pembaca diajak menelusuri makna yang memang hadir di dalam kehidupannya sehari-hari dan langsung terasa getarannya. Kontekstualisasi tafsir semakin terlihat dalam karya KH. Ahmad Sanusi manakala membaca setiap arti kata yang berusaha dikorelasikan dengan padanan bahasa Sunda. Dan, beliau berhasil menelorkan karya itu di tengah masyarakat yang haus akan kebutuhan pesan-pesan Qur’ani yang relevan dengan realitas keseharian mereka.

Kitab Tafsir ini merupakan karya monumental dari seseorang yang bergelut lama di dunia belajar-mengajar di lingkungan pesantren. Bacaan atas teks-teks tafsir Arab yang ada di lingkungannya telah menginspirasikan KH. Ahmad Sanusi untuk membuat sebuah karya yang sampai sekarang layak dijadikan contoh oleh para pengkaji tafsir, khususnya yang berbahasa Sunda. Karena tafsir adalah nalar kita atas kitab suci yang dibentuk oleh lokus budaya dan bahasa yang terus bergerak. Intelektual muslim sunda sedianya melanjutkan estafet KH. Ahmad Sanusi, sehingga Al-Quran akan sesuai dengan perubahan ruang dan waktu (shâlihun li kulli zamân al makân). Wa Allâh 'alam bi ash-shawâb