Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

09 August 2006

Kesetaraan Itu Jauh

Pagi ini, 9 agustus 2006, saya menyempatkan diri sarapan nasi uduk bareng dengan orang-orang di terminal BSD tangerang. Itu kebiasaan saya menjelang berangkat ke kantor, Pusat Studi Al-Quran, agar tidak masuk angin di jalan. Maklum, perjalanan harus saya tempuh dengan menggunakan roda dua, supaya cepat nyampe.

Nah, ketika menyantap sepiring nasi uduk ada dua orang gadis lewat di depan mata kami. Seorang dari penyantap hidangan itu berseleroh "bang itu yang berpakaian hitam pasti kuat". Orang yang diajak bicara langsung nyahut, "wah yang benar, emang sudah pernah nyoba". "engga sih" ujarnya, "cuman dari ciri-cirinya kan bisa dilihat".

Si perempuan penjual nasi uduk itu, dan ternyata istri dari orang kedua dari dialog di atas tadi, bicara keras dan agak marah. Tebakan saya dia menanggapi atas obrolan kedua laki-laki itu. Terlepas dari satu orang yang berdialog adalah suaminya sendiri. Dia menyimpan kebencian atas striotipe yang dikandung dari dialog itu.

Ternyata perempuan masih jadi objek sek yang tak berkesudahan. Suaminya sendiri masih berani beraksi di depan matanya. Pagi hari, ketika istri sibuk sendiri menjajakan dagangannya, sementara dia sendiri asyik dengan obrolan masygulnya.

Kesetaran itu masih jauh panggang dari pada api. Begitu kiranya gambaran sederhana potret perempuan di tanah air. Saya sering menemukan kenyataan ini di tempat-tempat lain. Di semua tempat dengan latar belakang sosial yang beragam, masih menyisakan kepedihan kekerasan atas perempuan, dengan menempatkannya sebagai objek sek yang terus bisa dieksploitir begitu rupa.

Dan yang paling membuat saya heran, tiap sudut terminal itu dipenuhi oleh laki-laki yang bertipe tidak jauh dari potret dialog di atas tadi. Setidaknya saya menemukan hal yang tidak jauh beda dari tatapan dan reaksi tanda setuju atas inti dialog tadi. Terlebih kaum hawam menjadi pelengkap dari aktifitas di terminal itu. Kecuali fungsinya yang instrumental, juga jumlahnya yang kurang dari cukup untuk menandingi peran laki-laki tersebut.

Dalam konteks ini, saya teringat bagaimana perempuan sebagai anutan dan bisa jadi panutan dalam keluarga. Satu hadits meredaksikan untuk hormat sama ibu dengan tiga kali perintah, sementara untuk seorang bapak satu kali, itupun di akhir redaksi hadit tersebut.

Kesetaraan itu masih jauh ternyata.....
Muhtar Sadili

0 Comments:

Post a Comment

<< Home