Galeri Resensi-2
Ini yang pertama
Judul Buku : Cara Quran Membebaskan Perempuan
Penulis : Asma Barlas
Penerbit : Serambi, Jakarta
Volume : 388 hlm
Cetakan : I, Rabiulawal/Mei 2005
’Pembebasan perempuan’ menjadi menarik, ketika piranti yang digunakannya adalah nilai-nilai yang diangkat dari Al-Qur’an. Karena selama ini, telah banyak analisis yang menyimpulkan bahwa penafsiran atas ayat Al-Quran telah membentuk mainstream kaum muslim yang tidak ramah terhadap perempuan dan membeku dalam teks-teks keagamaan. Sehingga dalam batas tertentu telah membelenggu kebebasan kaum hawa.
Lewat buku ini, Asma Barlas mencoba menjernihkan masalah di atas dengan dua pertanyaan; (1) apakah Al-Quran mengajarkan atau menoleransi ketidaksetaraan dan penindasan jender? dan (2) apakah Al-Quran memperkenankan dan mendukung pembebasan perempuan?
Dengan menggunakan metodologi interpretasi (hermeneutik) yang disarikan dari Al-Quran dan pendekatan sejarah, didapatkan jawaban; yang pertama adalah ’tidak’ dan yang kedua adalah ’ya’. Epistemologi Al-Quran bagi Barlas, secara inhern anti patriarkhi, dan ia memperkenankan kita meneorikan kesetaraan jender secara radikal.
Buku ini boleh dikatakan sebagai kritik terhadap penindasan yang berkedok seksual/teksual dalam masyarakat Islam. Atau upaya kecil untuk memperbaiki apa yang disebut oleh Leila Ahmed sebagai ’egaliter Islam’ dan menempatkannya sebagai suara tandingan yang sah bagi ’suara Islam otoriter’ yang sering kita dengar belakangan ini.
Selanjutnya, buku ini diisi dua bagian. Bagian I (h. 83-180) terdiri dari bab 2 dan bab 3, yang secara bersama-sama menganalisis karakteristik teks, tekstualitas, dan inter/ekstra tekstualitas dalam wacana keagamaan muslim. Adapun bagian II berisi bab 4 – bab 6 (181-350).
Bab 2 merinci teks-teks keagamaan Islam kaitannya dengan praktek (metode) interpretasi tertentu dan konseptualisasi yang berbeda dengan hubungan di antara teks, masa, dan metode. Dibahas juga pandangan yang berbeda tentang masa yang suci dan yang duniawi, serta eksesnya dalam membentuk pemahaman atas ajaran Al-Quran.
Bab 3 berisi penelusuran atas tekstualitas dengan analisis seputar hubungan dalam, dan di antara teks (intertekstualitas) di satu sisi, peran berbagai konteks, dan ekstra tekstual (negara, hukum, dan tradisi) dalam pembentukan wacana keagamaan muslim pada sisi lain. Karenanya dapat ditemukan difinisi kitab hukum (canon) dan definisi ilmu pengetahuan sendiri kaitannya dalam membentuk penafsiran ayat Al-Quran. Begitu juga analisis atas peran negara dan komunitas interpretasi pada tahap awal sejarah Islam dalam pembentukan metode, makna, dan pengalaman.
Komunitas interpretasi tersebut telah mengaitkan praktek penafsirannya dengan praktek penafsiran nabi, yang pada gilirannya menempatkan penafsiran itu lebih tinggi dari wahyu sebagai sebuah metode yang telah menutup perbincangan tentang bagaimana kaum muslim dapat membaca Al-Quran ’secara benar’ dewasa ini. Metode penafsiran ini telah menggantikan wacana ilahi, menafikan konsep polisemi kitab suci, menghalangi perkembangan penafsiran baru, dan menutup kemunitas pembaca baru (terutama perempuan) untuk mengakses Al-Quran.
Bab 4 membahas karakteristik pengungkapan-diri Tuhan dalam Al-Quran, karena hirarki jender dan teori tentang kekuasaan ayah/suami dalam sistem patriarkhi keagamaan yang bersumber dari penggambaran Tuhan sebagai bapak/laki-laki. Tujuan Barlas, ingin menunjukkan bahwa penyebutan Islam sebagai sebuah agama bapak/para bapak merupakan hal yang menyesatkan karena ia mengabaikan penolakan tegas Al-Quran terhadap gambaran patriarkhis tentang Tuhan-Bapak dan para nabi (sebagai) bapak, dan juga kritik tajam al-Quran terhadap sejarah kekuasaan para bapak. Klaim ini dibuktikan dengan penjelasan kisah-kisah nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.
Bab 5 menganalisis pendekatan Al-Quran terhadap jenis kelamin/jender dan seksualitas, dan berargumen bahwa meskipun Al-Quran mengakui perbedaan biologis (seksual), ia tidak mendukung pandangan yang membedakan jenis kelamin/jender, atau dualisme jender. Al-Quran tidak memberikan makna simbolis terhadap jenis kelamin (biologi) atau terhadap perbedaan itu sendiri. Malah, Al-Quran membangun prinsip-prinsip kesetaraan jender, dan hal tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda dari model satu jenis kelamin maupun dua-jenis kelamin yang melandasi pemikiran patriarkis Barat. Kecuali itu, dibahas masalah seksualitas dan sebab pembedaan laki-laki dan perempuan atas dasar jenis kelamin mereka. Laki-perempuan memiliki sifat dan kebutuhan seksual yang sama lengkap dengan ajaran tentang kesantunan dan moralitas seksualnya.
Bab 6 membahas ibu dan ayah, suami dan istri, serta distingsi pandangan Al-Quran dari pemikiran patriarkis (Barat) maupun pemikiran kaum feminis. Hubungan antara dua itu (ayah-ibu/suami-istri) diletakkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keseimbangan, dan persamaan (tergantung konteksnya) meskipun terdapat ayat tentang poligami, perceraian, dan nusyuz. Ini menegaskan dalam Islam terdapat nuktah kesetaran jender sebagai bantahan atas klaim bahwa hal itu hanya ada dalam nilai Barat.
Hanya saja, buku ini ’terlalu serius’ karena setiap penyajian pendapat dijelali dengan footnote dan kita kesulitan menemukan ide asli penulisnya. Begitu juga terlalu mengandalkan sumber-sumber sekunder, terutama untuk kajian tafsir Al-Quran. Satu contoh, kata qawwamûna dan dharaba dirujuk tidak langsung kepada kitab aslinya, tapi melalui Amina Wadud, Mernisi, atau lainnya. Hampir tidak ada referensi kitab tafsir terkemuka seperit al-Thabari, Ibni Katsir, Thaba’thaba’i, Abduh dan lainnya yang biasa menggunakan bahasa arab.
Meski demikian, buku ini cukup lengkap untuk mengantarkan kita pada diskusi mengenai persoalan isu-isu perempuan dalam Al-Quran dengan menggunakan perspektif gabungan dari sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Wa Allâh’alam bishshawâb
Baru ini yang kedua
Judul Buku : Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer
Penulis : Dr. Ir. Muhammad Shahrur
Penerbit : Elsaq Press, Yogjakarta
Volume : 318 + xxii hlm
Cetakan : Pertama, Oktober 2004
Penomena stagnasi dalam dunia Arab-Islam dan atau peradaban keagamaan memasuki melenium baru dalam arus globalisasi, telah menggugah kesadaran para pemikir era kontemporer untuk melakukan evaluasi. Setidaknya dapat kita dipetakan menjadi tiga varian; (1) sikap terhadap turâs (warisan tradisi), (2) sikap terhadap Barat, dan (3) sikap terhadap medernitas.
Dalam konteks ini, Shahrur berusaha melengkapi upaya kritik diri (naqd al-dzâti) yang telah dilakukan oleh cendekiawan muslim lainnya, seperti; ’Abid al-Jâbiri, Muhammad Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Ia telah menelorkan magnum opus-nya al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ’ah Mu’âshirah, yang diterjemahkan sepertiganya menjadi buku ini, sebagai keseriusannya dalam studi al-Quran, dengan menggunakan pendekatan linguistik modern ditambah dengan analogi yang diambil dari ilmu teknik dan sains.
Al-Quran, dalam pengertian khas Shahrur berarti bagian tertentu dari kitab suci yang bertemakan ilmu pengetahuan objektif. Al-Quran sedianya dibaca dan dipahami bukan melalui prisma abab-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah ‘Rasulullah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut’. Ini pada gilirannya mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi terhadap pelbagai konsep, teori, dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas umat Islam.
Dengan kacamata linguistik, al-Quran dinyatakannya sebagai kitab berbahasa arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan; sastrawi (al-I’jâz al-balâghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif-signifikansi (al-manhaj al-washfi al-wazîji) dan ilmiah (al-‘ijâz al-‘ilmi) yang diteropong dengan menggunakan pendekatan historis-ilmiah (al-manhaj al-târikhi al’ilmi).
Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisis sastra (balâgah) dan analisis gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu biasanya dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas (at-tarâduf) dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim.
Lebih jauh, Shahrur juga menegaskan asumsinya bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia, diturunkan untuk dapat dipahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa metode memahami al-Quran yang oleh Shahrur disebut dengan istilah manhaj al-tartîl, yang dapat diidentikkan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya, Shahrur meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika al-Quran yang diistilahkannya dengan al-takwîl.
Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Shahrur mengagas teori batas (nadzâriyât al-hudûd) yang dapat disebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan jika dikatakan; Shahrur sedang meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya al-Quran.
Al-Kitâb wal al-Qur’ân merupakan karya pertamanya yang monumental dan cukup komprehensif merefleksikan pemikirannya, baik pada aspek metodologi maupun aplikasinya dalam penafsiran teks al-Quran. Hingga saat ini, paling tidak Shahrur sudah menulis tiga buku lanjutan dalam proyek ambisiusnya ‘Qirâ’ah mu’âshirah’. Salah satu muatan penting dalam buku-buku tersebut adalah revisi (al-tashwîb) terhadap pelbagai perspektif dan asumsi metodologis yang digagas dalam buku pertamanya.
Terlepas dari kontoversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Quran. Jargon ‘qirâ’ah mu’âshirah’ yang dilontarkan oleh Shahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat al-Quran sesuai dengan perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. Wa Allâh ’alam bishshawâb
Ini ketiga
Judul Buku : Islam Liberal Versi Anak Muda
Penulis : J. Firmansyah
Pengantar : Anas Urbaningrum
Penerbit : Pustaka Zaman (Puzam)
Volume : 157
Cetakan : Pertama Mei 2003
Wacana Islam Liberal memang sangat menarik untuk kita diskusikan. Ini berkaitan dengan ekses yang ditimbulkannya ketika berhadapan dengan kelompok yang menggunakan “cara pendekatan” lain dalam memahami agama Islam. Klaim kafir-mengkafirkan pun menyeruak ke permukaan. Dan itu bukan masalah sepele di tengah keseriusan umat dalam menata kehidupan beragama yang santun dan beradab.
Sejatinya, sudut pandang yang berbeda, ditempatkan sebagai satu konklusi yang memungkinkan salah dan benar. Sulit rasanya membangun sebuah relasi harmonis dalam cara berpikir, ketika satu kebenaran melebihi hakikat dari kebenaran itu sendiri. Jauh-jauh hari nabi Muhammad SAW, mengingatkan kita bahwa prestasi berijtihad tidak lepas dari dua kutub yang selalu nempel, salah dan benar. Nampaknya, sikap tersebut butuh sosialisasi pada segenap lapisan masyarakat.
Buku “Islam Liberal Versi Anak Muda” yang ditulis oleh J Firmansyah terasa getarannya ketika publikasi yang diterbitkan berkaitan dengan Islam Liberal dibanjiri analisa “ngejelimet”. Buku ini, sepanjang pengamatan penulis, karya pertama tentang potret Islam Liberal dengan bungkusan “bahasa gaul”, tanpa menghilangkan pesan penting. Bahwa kita memang harus memulai untuk bersikap arif dan bijaksana atas perbedaan pendapat.
Dalam kata pengantar yang ditulis Anas Urbaningrum, Islam Liberal diduga kuat sebagai buah dari modernisme yang menyusup pada kalangan terdidik muslim di perkotaan (h.xii), Kecuali itu, sebagai anti tesa dari kehadiran gerakan “fundamentalis-radikal” beserta gagasannya yang menjamur pasca rontoknya orde baru (h.xi). Kedua sebab itu bermuara pada maenstrem tampilan Islam yang inklusif-pluralis dengan menitikberatkan pada kontekstualisasi ajaran dengan gerakan kultural (h.xiii). Sehingga formalisasi syariat menjadi penolakan utama bagi kalangan Islam Liberal di tanah air (Ibid).
Dengan meminjam teori G.A William, pada Bab 1 (h.1-8), dibahas tentang hegemoni liberalisme-kapitalisme dengan seabreg cara yang memikat, termasuk dalam pemberitaan pers dan buku-buku. Firmansyah, beranggapan bahwa Islam Liberal merupakan kooptasi liberalisme terhadap Islam, atau sebaliknya. Terlahir dari pemikiran Islam itu sendiri?, Dan, apakah penafsiran literal atau tekstual merupakan satu-satunya wajah pemaknaan Islam yang sah ?
Bab 2 (h.9-22) sepertinya sebagai jawaban, bahwa kesan “Islam Liberal sebagai Islam yang Terbaratkan” ternyata hanya isapan jempol belaka. Buktinya, kekritisan Umar yang sepintas lalu bertentangan dengan QS Al-Anfâl ayat 14 tentang pembagian rampasan perang 4/5 bagi pasukan muslim dan 1/5 bagi negara, adalah benih liberalisme. Umar menolak, dengan alasan hukum (illah), jika dibagikan akan terganggu kelangsungan bangsa yang ditaklukkan. Sedianya tetap dalam penguasaan warga setempat dengan sistem sewa. Dan itu disepakati setelah penentangnya yang diplopori Bilâl dapat menerima “semangat nash” dalam Ijtihad Umar.
Bab 3 (h. 23-48) membahas tentang “Negara Islam atawa Negara Sekularis Demokratis” pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air. Menurutnya, gagasan Negara Islam sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia. Karena, menganalogikannya dengan zaman peradaban Islam mengandung resiko coba dan salah yang cukup signifikan.
Kutipan dari Munawir Syazali, mengunci gagasan Negara Islam berkaitan dengan komponen bangsa yang mempunyai andil sama dalam meraih kemerdekaan. Berbeda dengan zaman khilâfah, lanjut munawir, umat muslim menjadi pioneer dan mempunyai andil “sosial-politik” dalam proses pembentukan negara. Sehingga kelompok di luar Islam (dzimmi) bisa menerima bentuk negara Islam.
Selanjutnya, dalam Bab 4 (h. 63-90) penulis buku menepis anggapan sementara kalangan yang melihat “watak desktruktif” dalam Islam Liberal. Sebagai sebuah pisau analisa, kalangan Islam Liberal berusaha menafsirkan Islam agar kompatibel dengan perkembangan zaman, bukan menghilangkan eksistensi Syariat (hukum) Islam. Bukankah, perkembangan madzhab fikih telah tumbuh subur dengan ragam penafsirannya ?.
Agama berada dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda, hingga sulit menepis berbagai “kata sifat” yang selalu melekat pada Islam. Apa yang diidamkan tentang “Islam kaffah” pun, mempunyai fungsi organik dan fungsional yang sangat dinamis. Jargon “rahmatan li al-âlamîn” sedianya menjadi patokan, ketika mengurai dilektika agama dan perubahan sosial.
Bab 5 (h. 63-90) berisi tentang “How Liberal Can You Go?” yang mengacu pada premis sebagai berikut. Pertama, Bentuk Islam Liberal mempunyai varian; (a) syariah liberal karena secara eksplisit syariat memberikan arah liberal, (b) silent syariah yang memunculkan tesis bahwa sesuatu yang tidak ditentukan syariah menjadi lahan liberalisasi, dan (c) interpreted syariah yang memberikan kesan, syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam.
Kedua, metodologi Islam Liberal, harus dilihat sebagai cara berfikir sendiri secara intelektual, yang kerap terlupakan atau sengaja direm dengan adagium pintu ijtihad telah tertutup. Padahal, tradisi berfikir mandiri, dengan meminjam analisa Budhi Munawar Rahman, secara geneologis mempunyai akar yang otentik dalam sejarah pemikiran muslim. Sehingga metodologi yang ada tak lebih dari pengulangan sejarah yang positif untuk menampilkan Islam lebih dinamis. Islam Liberal adalah tahapan dari perkembangan gerakan pembaharuan islam di tanah air.
Bab 6 (h. 91-122) penutup, yang bisa dikatakan sebagai timbangan. Penulis buku mengkritik Islam Liberal terlihat “mandul” ketika berhadapan dengan realitas kemiskinan struktural. Sebagai pembaharuan teologi, Islam Liberal, hanya menjadi konsumsi elit yang tidak mudah diserap oleh lapis bawah yang diradang krisis ekonomi. Dialektika kesalahan idiologi yang berakibat pada kemunduran ummat (baca: kemiskinan) tidak sepenuhnya benar, ini yang petama.
Kedua, pernyataan yang dilontarkan oleh pentolan Islam Liberal, kerap menaikkan suhu emosi yang merusak dialog kondusif. Kalau saja melihatnya dengan sudut sosiologi emosi, mungkin kafir-mengkafirkan tidak gampang mencuat ke permukaan. Terlebih, dialog saling mendengarkan yang diimbuhi toleransi merupakan inti demokrasi yang harus tetap dipegang.
Buku ini, dengan “watak gaulnya” memang mempunyai entri point tersendiri sebagai sebuah cara penyampaian gagasan. Sayangnya, kerap terlihat pengulangan dan penuturan argumen yang terpaksa dipermak agar menjadi gaul. Saya kira, penulis buku ini terjebak pada watak bahasa gaul yang memang tidak mempunyai struktur bahasa yang baik dan benar. Wa ’Allâh ‘Alam bi al-Shawâb
Inilah yang keempat
Judul Buku : Membedah Islam di Barat, Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman
Penulis : Alwi Shihab
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Volume : 384 h
Cetakan : Pertama, April 2004
Pasca peristiwa 11 September 2001, merupakan hari-hari yang berat bagi Umat Islam di Amerika. Para wanita lebih sering tinggal di rumah. Bahkan, untuk sementara waktu tidak berani mengenakan jilbabnya. Setidaknya seorang anggota gereja kristen Koptik dari Mesir menjadi korban penganiayaan hanya karena ia bertampang Arab. Seorang India penganut agama Sikh mengalami penganiayaan yang cukup fatal karena dikiranya sikh adalah Islam.
Agama Islam sering diidentifikasi sebagai sumber terorisme, kebencian, ketidakadilan terhadap perempuan, agama yang sesat dan palsu, dan sebagainya. Bagi sementara kalangan Islam, prejudis dan kesalahpahaman “Barat” seperti ini tidak jarang ditanggapi secara negatif. Hal ini pada gilirannya memunculkan kemarahan, frustasi, dan kebencian membabi buta terhadap “Barat.”
Tetapi bagi Alwi Shihab, prejudise dan kesalahpahaman itu justru ditanggapi secara dingin dengan melihatnya secara positif. Bahkan menjadi sumber kreatifitas dan panggilannya untuk melakukan dakwah Islam di barat. Misinya, bukan membaratkan Islam sehingga Islam hilang keunikannya, atau juga sebaliknya. Dengan buku ini alwi terlihat berusaha menjelaskan Islam kepada 'Barat' secara memadai, sebagai tanggapan atas reaksi yang kurang bersahabat atas Islam.
Bagi Alwi, banyak kalangan di Barat yang belum memahami apa itu Islam. Mereka mengenalnya sebagai agama yang “Buas”. Karena dipahami dari sudut mereka yang menggunakan Islam untuk mengabsahkan kekerasan dan kebencian. Ia berusaha memposisikan Islam sebagai agama yang hadir untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi umat manusia dan dunia (rahmatan lil 'âlamîn).
Ditengah-tengah orang “Barat” dengan spirit Islam sebagai penyerahan total, Alwi telah menjelaskan Islam apa adanya dan tidak emosionil. Rendah hati tetapi tetap penuh percaya diri dan tidak tergoda untuk melebihkan nilai-nilai positif agamanya untuk dibandingkan dengan hal-hal yang dianggapnya sebagai kelemahan agama lain.
Kalau dillustrasikan Ia seperti paulus yang memiliki keyakinan bahwa tugas, panggilan, dan misinya adalah ke Barat. Bedanya, paulus yang berada dalam semangat jamannya, berusaha meng-Kristenkan Barat. Sementara Alwi, dalam semangat inseklusif, pluralis dan lebih tepatnya semangat persaudaraan, berusaha membuat Islam dimengerti dan dipahami Barat secara proporsional.
Membaca buku ini bagaikan membaca suatu geografi, karena secara embriorik buku memang merupakan 'rekaman tertulis' tentang pengalaman mengajar Islam di bebarapa perguruan tinggi di negeri paman sam itu. Karenanya, tidak gersang dan tidak menyibukkan diri dengan teori-teori langitan. Sebaliknya, memaparkan uraian dan jawaban cerdas atas petanyaan-pertanyaan dan persoalan konkrit yang selama ini menjadi kendala untuk menjalin relasi yang sehat, setara dan saling menghormati.
Kesan yang akan didapatkan seperti moto majalah tempo ‘enak dibaca dan perlu’. Ketika membacanya, anda akan merasakan betapa pertanyaan-pertanyaan yang rumit dihadapi dan disikapi oleh Alwi Shihab dengan jawaban yang jernih, sabar, dan jujur. Anda pun akan merasakan kedalaman dan kematangan spiritualnya ketika persoalan kegamaan direspons secara tenang dan argumentatif.
Kecuali itu buku ini bisa mendorong kita untuk menilai relasi Islam-Barat secara kritis, positif, dan kreatif. Denganya berarti kita akan berani melakukan interpretasi kritis terhadap sejarah, politik, dan terutama terhadap teolog dan teologi dialog lintas agama yang mempengaruhi kita sendiri dan umat lain.
Setelah menelusuri uraian dan argumentasinya, prejudise dan kesalahpahaman ‘Barat’, ternyata mulai luntur. Digantikan dengan respek dan penghormatan untuk mencari titik temu antar agama. Dakwahnya bisa dikatakan sukses dengan munculnya sikap kritis mahasiswa-mahasiswa ‘Barat’ terhadap agaman yang dianutnya (baca; kristen). Ini sebenarnya sesuatu yang sangat positif, karena iman dan teologi sebagai doktrin agama, bukanlah sesuatu yang statis. Mereka bersifat dinamis sehingga mampu menjawab berbagai tantangan jaman.
Teologi kristen yang lahir dalam konteks peperangan dan permusuhan dengan Islam seperti yang dianut Calvin dan Luther, sudah harus dikritisi dan diganti. Mentalitas kami versus mereka harus diganti dengan mentalitas kita sebagai saudara-bersaudara. Teologi kristen yang muncul dalam konteks ‘Barat’ yang tidak bersentuhan dengan Islam atau budaya lain harus mengalami reinterpretasi. Ada banyak hal yang harus direinterpretasi agar agama dapat memaksimalkan perannya sebagai pembawa damai sejahtera bagi semua orang.
Saya kira prejudise dan kesalahpahaman telah membuat agama menjadi impoten. Padahal dia harus bisa memerankan dirinya demi perdamaian, keadilan, kesetaraan dan keutuhan ciptaan. Saya merasa, inilah visi besar buku ini. Langkah pertama untuk itu adalah melenyapkan prejudis dan kesalahpahaman. Bukan saja pada diri orang lain tetapi juga termasuk pada diri kita sendiri.
Menariknya, dalam memperjuangkan visinya ini, Alwi Shihab tidak terjebak untuk menggampangkan persoalan. Seolah-olah cukup bergaul dengan ‘Barat’ lalu semuanya beres. Alwi Shihab justru melihat hubungan Islam-Barat harus digarap secara komprehensip-integratif. Tepatnya berdasarkan kitab suci agama yang dianut oleh mitra dialognya. Karena dialog dan hubungan antar umat beragama hanya bisa langgeng bila ia memiliki dasar teologis yang kuat berdasarkan kitab suci. Tanpa itu semua, relasi umat beragama justru sering dicurigai sebagai kompromistis dan bahkan sinkritis.
Metodologi dakwah Alwi tersebut, terbilang langka dan unik. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia, terutama dari major yang non-teologi, yang tinggal di Barat tetapi semakin ‘terasing’ dari barat. Cak Nur pernah mengatakan “mahasiswa teologi di US cendrung lebih terbuka dan inklusif, sebaliknya mahasiswa non-teologi menjadi lebih “konserfatif” dan tertutup". Pengalaman sosiologis dan psikologis mereka mempengaruhi teologi dan sikap mereka terhadap Barat !, Namun bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara umat Islam di Barat dan “Barat”.
Peristiwa 911 (11 September), telah memicu inisitatif "Barat" untuk memahami Islam secara tuntas. Alwi jeli melihat peluang dakwah itu, dengan usahnya memperkenalkan Islam di Barat lewat metoda interaktif antara mitra dialog lintas agama. Memang dalam beberapa petemuan Kristen-Islam-Yahudi di Amerika, sering kali percakapan yang “dingin” berubah menjadi “panas” ketika persoalan Palestina diangkat. Kebanyakan kaum intelektual dan pihak gereja mainstream cendrung mendukung hak-hak bangsa palestina. Begitu juga sebagian besar kaum muslim Amerika.
Realitas ini berhasil dieliminir oleh seorang Alwi Shihab. Hal ini disebabkan oleh kwalitas intelektual yang matang berkat menempuh tradisi Timur dan Barat sekaligus. Meraih doktor bidang filsafat di Universitas Ains Syams di Mesir serta doktor dari Temple University USA dengan disertasi tentang misi kristenisasi. Buku ini selayaknya dibaca oleh peminat studi dialog lintas agama di tanah air.
Judul Buku : Cara Quran Membebaskan Perempuan
Penulis : Asma Barlas
Penerbit : Serambi, Jakarta
Volume : 388 hlm
Cetakan : I, Rabiulawal/Mei 2005
’Pembebasan perempuan’ menjadi menarik, ketika piranti yang digunakannya adalah nilai-nilai yang diangkat dari Al-Qur’an. Karena selama ini, telah banyak analisis yang menyimpulkan bahwa penafsiran atas ayat Al-Quran telah membentuk mainstream kaum muslim yang tidak ramah terhadap perempuan dan membeku dalam teks-teks keagamaan. Sehingga dalam batas tertentu telah membelenggu kebebasan kaum hawa.
Lewat buku ini, Asma Barlas mencoba menjernihkan masalah di atas dengan dua pertanyaan; (1) apakah Al-Quran mengajarkan atau menoleransi ketidaksetaraan dan penindasan jender? dan (2) apakah Al-Quran memperkenankan dan mendukung pembebasan perempuan?
Dengan menggunakan metodologi interpretasi (hermeneutik) yang disarikan dari Al-Quran dan pendekatan sejarah, didapatkan jawaban; yang pertama adalah ’tidak’ dan yang kedua adalah ’ya’. Epistemologi Al-Quran bagi Barlas, secara inhern anti patriarkhi, dan ia memperkenankan kita meneorikan kesetaraan jender secara radikal.
Buku ini boleh dikatakan sebagai kritik terhadap penindasan yang berkedok seksual/teksual dalam masyarakat Islam. Atau upaya kecil untuk memperbaiki apa yang disebut oleh Leila Ahmed sebagai ’egaliter Islam’ dan menempatkannya sebagai suara tandingan yang sah bagi ’suara Islam otoriter’ yang sering kita dengar belakangan ini.
Selanjutnya, buku ini diisi dua bagian. Bagian I (h. 83-180) terdiri dari bab 2 dan bab 3, yang secara bersama-sama menganalisis karakteristik teks, tekstualitas, dan inter/ekstra tekstualitas dalam wacana keagamaan muslim. Adapun bagian II berisi bab 4 – bab 6 (181-350).
Bab 2 merinci teks-teks keagamaan Islam kaitannya dengan praktek (metode) interpretasi tertentu dan konseptualisasi yang berbeda dengan hubungan di antara teks, masa, dan metode. Dibahas juga pandangan yang berbeda tentang masa yang suci dan yang duniawi, serta eksesnya dalam membentuk pemahaman atas ajaran Al-Quran.
Bab 3 berisi penelusuran atas tekstualitas dengan analisis seputar hubungan dalam, dan di antara teks (intertekstualitas) di satu sisi, peran berbagai konteks, dan ekstra tekstual (negara, hukum, dan tradisi) dalam pembentukan wacana keagamaan muslim pada sisi lain. Karenanya dapat ditemukan difinisi kitab hukum (canon) dan definisi ilmu pengetahuan sendiri kaitannya dalam membentuk penafsiran ayat Al-Quran. Begitu juga analisis atas peran negara dan komunitas interpretasi pada tahap awal sejarah Islam dalam pembentukan metode, makna, dan pengalaman.
Komunitas interpretasi tersebut telah mengaitkan praktek penafsirannya dengan praktek penafsiran nabi, yang pada gilirannya menempatkan penafsiran itu lebih tinggi dari wahyu sebagai sebuah metode yang telah menutup perbincangan tentang bagaimana kaum muslim dapat membaca Al-Quran ’secara benar’ dewasa ini. Metode penafsiran ini telah menggantikan wacana ilahi, menafikan konsep polisemi kitab suci, menghalangi perkembangan penafsiran baru, dan menutup kemunitas pembaca baru (terutama perempuan) untuk mengakses Al-Quran.
Bab 4 membahas karakteristik pengungkapan-diri Tuhan dalam Al-Quran, karena hirarki jender dan teori tentang kekuasaan ayah/suami dalam sistem patriarkhi keagamaan yang bersumber dari penggambaran Tuhan sebagai bapak/laki-laki. Tujuan Barlas, ingin menunjukkan bahwa penyebutan Islam sebagai sebuah agama bapak/para bapak merupakan hal yang menyesatkan karena ia mengabaikan penolakan tegas Al-Quran terhadap gambaran patriarkhis tentang Tuhan-Bapak dan para nabi (sebagai) bapak, dan juga kritik tajam al-Quran terhadap sejarah kekuasaan para bapak. Klaim ini dibuktikan dengan penjelasan kisah-kisah nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.
Bab 5 menganalisis pendekatan Al-Quran terhadap jenis kelamin/jender dan seksualitas, dan berargumen bahwa meskipun Al-Quran mengakui perbedaan biologis (seksual), ia tidak mendukung pandangan yang membedakan jenis kelamin/jender, atau dualisme jender. Al-Quran tidak memberikan makna simbolis terhadap jenis kelamin (biologi) atau terhadap perbedaan itu sendiri. Malah, Al-Quran membangun prinsip-prinsip kesetaraan jender, dan hal tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda dari model satu jenis kelamin maupun dua-jenis kelamin yang melandasi pemikiran patriarkis Barat. Kecuali itu, dibahas masalah seksualitas dan sebab pembedaan laki-laki dan perempuan atas dasar jenis kelamin mereka. Laki-perempuan memiliki sifat dan kebutuhan seksual yang sama lengkap dengan ajaran tentang kesantunan dan moralitas seksualnya.
Bab 6 membahas ibu dan ayah, suami dan istri, serta distingsi pandangan Al-Quran dari pemikiran patriarkis (Barat) maupun pemikiran kaum feminis. Hubungan antara dua itu (ayah-ibu/suami-istri) diletakkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keseimbangan, dan persamaan (tergantung konteksnya) meskipun terdapat ayat tentang poligami, perceraian, dan nusyuz. Ini menegaskan dalam Islam terdapat nuktah kesetaran jender sebagai bantahan atas klaim bahwa hal itu hanya ada dalam nilai Barat.
Hanya saja, buku ini ’terlalu serius’ karena setiap penyajian pendapat dijelali dengan footnote dan kita kesulitan menemukan ide asli penulisnya. Begitu juga terlalu mengandalkan sumber-sumber sekunder, terutama untuk kajian tafsir Al-Quran. Satu contoh, kata qawwamûna dan dharaba dirujuk tidak langsung kepada kitab aslinya, tapi melalui Amina Wadud, Mernisi, atau lainnya. Hampir tidak ada referensi kitab tafsir terkemuka seperit al-Thabari, Ibni Katsir, Thaba’thaba’i, Abduh dan lainnya yang biasa menggunakan bahasa arab.
Meski demikian, buku ini cukup lengkap untuk mengantarkan kita pada diskusi mengenai persoalan isu-isu perempuan dalam Al-Quran dengan menggunakan perspektif gabungan dari sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Wa Allâh’alam bishshawâb
Baru ini yang kedua
Judul Buku : Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer
Penulis : Dr. Ir. Muhammad Shahrur
Penerbit : Elsaq Press, Yogjakarta
Volume : 318 + xxii hlm
Cetakan : Pertama, Oktober 2004
Penomena stagnasi dalam dunia Arab-Islam dan atau peradaban keagamaan memasuki melenium baru dalam arus globalisasi, telah menggugah kesadaran para pemikir era kontemporer untuk melakukan evaluasi. Setidaknya dapat kita dipetakan menjadi tiga varian; (1) sikap terhadap turâs (warisan tradisi), (2) sikap terhadap Barat, dan (3) sikap terhadap medernitas.
Dalam konteks ini, Shahrur berusaha melengkapi upaya kritik diri (naqd al-dzâti) yang telah dilakukan oleh cendekiawan muslim lainnya, seperti; ’Abid al-Jâbiri, Muhammad Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Ia telah menelorkan magnum opus-nya al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ’ah Mu’âshirah, yang diterjemahkan sepertiganya menjadi buku ini, sebagai keseriusannya dalam studi al-Quran, dengan menggunakan pendekatan linguistik modern ditambah dengan analogi yang diambil dari ilmu teknik dan sains.
Al-Quran, dalam pengertian khas Shahrur berarti bagian tertentu dari kitab suci yang bertemakan ilmu pengetahuan objektif. Al-Quran sedianya dibaca dan dipahami bukan melalui prisma abab-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah ‘Rasulullah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut’. Ini pada gilirannya mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi terhadap pelbagai konsep, teori, dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas umat Islam.
Dengan kacamata linguistik, al-Quran dinyatakannya sebagai kitab berbahasa arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan; sastrawi (al-I’jâz al-balâghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif-signifikansi (al-manhaj al-washfi al-wazîji) dan ilmiah (al-‘ijâz al-‘ilmi) yang diteropong dengan menggunakan pendekatan historis-ilmiah (al-manhaj al-târikhi al’ilmi).
Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisis sastra (balâgah) dan analisis gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu biasanya dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas (at-tarâduf) dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim.
Lebih jauh, Shahrur juga menegaskan asumsinya bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia, diturunkan untuk dapat dipahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa metode memahami al-Quran yang oleh Shahrur disebut dengan istilah manhaj al-tartîl, yang dapat diidentikkan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya, Shahrur meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika al-Quran yang diistilahkannya dengan al-takwîl.
Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Shahrur mengagas teori batas (nadzâriyât al-hudûd) yang dapat disebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan jika dikatakan; Shahrur sedang meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya al-Quran.
Al-Kitâb wal al-Qur’ân merupakan karya pertamanya yang monumental dan cukup komprehensif merefleksikan pemikirannya, baik pada aspek metodologi maupun aplikasinya dalam penafsiran teks al-Quran. Hingga saat ini, paling tidak Shahrur sudah menulis tiga buku lanjutan dalam proyek ambisiusnya ‘Qirâ’ah mu’âshirah’. Salah satu muatan penting dalam buku-buku tersebut adalah revisi (al-tashwîb) terhadap pelbagai perspektif dan asumsi metodologis yang digagas dalam buku pertamanya.
Terlepas dari kontoversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Quran. Jargon ‘qirâ’ah mu’âshirah’ yang dilontarkan oleh Shahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat al-Quran sesuai dengan perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. Wa Allâh ’alam bishshawâb
Ini ketiga
Judul Buku : Islam Liberal Versi Anak Muda
Penulis : J. Firmansyah
Pengantar : Anas Urbaningrum
Penerbit : Pustaka Zaman (Puzam)
Volume : 157
Cetakan : Pertama Mei 2003
Wacana Islam Liberal memang sangat menarik untuk kita diskusikan. Ini berkaitan dengan ekses yang ditimbulkannya ketika berhadapan dengan kelompok yang menggunakan “cara pendekatan” lain dalam memahami agama Islam. Klaim kafir-mengkafirkan pun menyeruak ke permukaan. Dan itu bukan masalah sepele di tengah keseriusan umat dalam menata kehidupan beragama yang santun dan beradab.
Sejatinya, sudut pandang yang berbeda, ditempatkan sebagai satu konklusi yang memungkinkan salah dan benar. Sulit rasanya membangun sebuah relasi harmonis dalam cara berpikir, ketika satu kebenaran melebihi hakikat dari kebenaran itu sendiri. Jauh-jauh hari nabi Muhammad SAW, mengingatkan kita bahwa prestasi berijtihad tidak lepas dari dua kutub yang selalu nempel, salah dan benar. Nampaknya, sikap tersebut butuh sosialisasi pada segenap lapisan masyarakat.
Buku “Islam Liberal Versi Anak Muda” yang ditulis oleh J Firmansyah terasa getarannya ketika publikasi yang diterbitkan berkaitan dengan Islam Liberal dibanjiri analisa “ngejelimet”. Buku ini, sepanjang pengamatan penulis, karya pertama tentang potret Islam Liberal dengan bungkusan “bahasa gaul”, tanpa menghilangkan pesan penting. Bahwa kita memang harus memulai untuk bersikap arif dan bijaksana atas perbedaan pendapat.
Dalam kata pengantar yang ditulis Anas Urbaningrum, Islam Liberal diduga kuat sebagai buah dari modernisme yang menyusup pada kalangan terdidik muslim di perkotaan (h.xii), Kecuali itu, sebagai anti tesa dari kehadiran gerakan “fundamentalis-radikal” beserta gagasannya yang menjamur pasca rontoknya orde baru (h.xi). Kedua sebab itu bermuara pada maenstrem tampilan Islam yang inklusif-pluralis dengan menitikberatkan pada kontekstualisasi ajaran dengan gerakan kultural (h.xiii). Sehingga formalisasi syariat menjadi penolakan utama bagi kalangan Islam Liberal di tanah air (Ibid).
Dengan meminjam teori G.A William, pada Bab 1 (h.1-8), dibahas tentang hegemoni liberalisme-kapitalisme dengan seabreg cara yang memikat, termasuk dalam pemberitaan pers dan buku-buku. Firmansyah, beranggapan bahwa Islam Liberal merupakan kooptasi liberalisme terhadap Islam, atau sebaliknya. Terlahir dari pemikiran Islam itu sendiri?, Dan, apakah penafsiran literal atau tekstual merupakan satu-satunya wajah pemaknaan Islam yang sah ?
Bab 2 (h.9-22) sepertinya sebagai jawaban, bahwa kesan “Islam Liberal sebagai Islam yang Terbaratkan” ternyata hanya isapan jempol belaka. Buktinya, kekritisan Umar yang sepintas lalu bertentangan dengan QS Al-Anfâl ayat 14 tentang pembagian rampasan perang 4/5 bagi pasukan muslim dan 1/5 bagi negara, adalah benih liberalisme. Umar menolak, dengan alasan hukum (illah), jika dibagikan akan terganggu kelangsungan bangsa yang ditaklukkan. Sedianya tetap dalam penguasaan warga setempat dengan sistem sewa. Dan itu disepakati setelah penentangnya yang diplopori Bilâl dapat menerima “semangat nash” dalam Ijtihad Umar.
Bab 3 (h. 23-48) membahas tentang “Negara Islam atawa Negara Sekularis Demokratis” pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air. Menurutnya, gagasan Negara Islam sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia. Karena, menganalogikannya dengan zaman peradaban Islam mengandung resiko coba dan salah yang cukup signifikan.
Kutipan dari Munawir Syazali, mengunci gagasan Negara Islam berkaitan dengan komponen bangsa yang mempunyai andil sama dalam meraih kemerdekaan. Berbeda dengan zaman khilâfah, lanjut munawir, umat muslim menjadi pioneer dan mempunyai andil “sosial-politik” dalam proses pembentukan negara. Sehingga kelompok di luar Islam (dzimmi) bisa menerima bentuk negara Islam.
Selanjutnya, dalam Bab 4 (h. 63-90) penulis buku menepis anggapan sementara kalangan yang melihat “watak desktruktif” dalam Islam Liberal. Sebagai sebuah pisau analisa, kalangan Islam Liberal berusaha menafsirkan Islam agar kompatibel dengan perkembangan zaman, bukan menghilangkan eksistensi Syariat (hukum) Islam. Bukankah, perkembangan madzhab fikih telah tumbuh subur dengan ragam penafsirannya ?.
Agama berada dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda, hingga sulit menepis berbagai “kata sifat” yang selalu melekat pada Islam. Apa yang diidamkan tentang “Islam kaffah” pun, mempunyai fungsi organik dan fungsional yang sangat dinamis. Jargon “rahmatan li al-âlamîn” sedianya menjadi patokan, ketika mengurai dilektika agama dan perubahan sosial.
Bab 5 (h. 63-90) berisi tentang “How Liberal Can You Go?” yang mengacu pada premis sebagai berikut. Pertama, Bentuk Islam Liberal mempunyai varian; (a) syariah liberal karena secara eksplisit syariat memberikan arah liberal, (b) silent syariah yang memunculkan tesis bahwa sesuatu yang tidak ditentukan syariah menjadi lahan liberalisasi, dan (c) interpreted syariah yang memberikan kesan, syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam.
Kedua, metodologi Islam Liberal, harus dilihat sebagai cara berfikir sendiri secara intelektual, yang kerap terlupakan atau sengaja direm dengan adagium pintu ijtihad telah tertutup. Padahal, tradisi berfikir mandiri, dengan meminjam analisa Budhi Munawar Rahman, secara geneologis mempunyai akar yang otentik dalam sejarah pemikiran muslim. Sehingga metodologi yang ada tak lebih dari pengulangan sejarah yang positif untuk menampilkan Islam lebih dinamis. Islam Liberal adalah tahapan dari perkembangan gerakan pembaharuan islam di tanah air.
Bab 6 (h. 91-122) penutup, yang bisa dikatakan sebagai timbangan. Penulis buku mengkritik Islam Liberal terlihat “mandul” ketika berhadapan dengan realitas kemiskinan struktural. Sebagai pembaharuan teologi, Islam Liberal, hanya menjadi konsumsi elit yang tidak mudah diserap oleh lapis bawah yang diradang krisis ekonomi. Dialektika kesalahan idiologi yang berakibat pada kemunduran ummat (baca: kemiskinan) tidak sepenuhnya benar, ini yang petama.
Kedua, pernyataan yang dilontarkan oleh pentolan Islam Liberal, kerap menaikkan suhu emosi yang merusak dialog kondusif. Kalau saja melihatnya dengan sudut sosiologi emosi, mungkin kafir-mengkafirkan tidak gampang mencuat ke permukaan. Terlebih, dialog saling mendengarkan yang diimbuhi toleransi merupakan inti demokrasi yang harus tetap dipegang.
Buku ini, dengan “watak gaulnya” memang mempunyai entri point tersendiri sebagai sebuah cara penyampaian gagasan. Sayangnya, kerap terlihat pengulangan dan penuturan argumen yang terpaksa dipermak agar menjadi gaul. Saya kira, penulis buku ini terjebak pada watak bahasa gaul yang memang tidak mempunyai struktur bahasa yang baik dan benar. Wa ’Allâh ‘Alam bi al-Shawâb
Inilah yang keempat
Judul Buku : Membedah Islam di Barat, Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman
Penulis : Alwi Shihab
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Volume : 384 h
Cetakan : Pertama, April 2004
Pasca peristiwa 11 September 2001, merupakan hari-hari yang berat bagi Umat Islam di Amerika. Para wanita lebih sering tinggal di rumah. Bahkan, untuk sementara waktu tidak berani mengenakan jilbabnya. Setidaknya seorang anggota gereja kristen Koptik dari Mesir menjadi korban penganiayaan hanya karena ia bertampang Arab. Seorang India penganut agama Sikh mengalami penganiayaan yang cukup fatal karena dikiranya sikh adalah Islam.
Agama Islam sering diidentifikasi sebagai sumber terorisme, kebencian, ketidakadilan terhadap perempuan, agama yang sesat dan palsu, dan sebagainya. Bagi sementara kalangan Islam, prejudis dan kesalahpahaman “Barat” seperti ini tidak jarang ditanggapi secara negatif. Hal ini pada gilirannya memunculkan kemarahan, frustasi, dan kebencian membabi buta terhadap “Barat.”
Tetapi bagi Alwi Shihab, prejudise dan kesalahpahaman itu justru ditanggapi secara dingin dengan melihatnya secara positif. Bahkan menjadi sumber kreatifitas dan panggilannya untuk melakukan dakwah Islam di barat. Misinya, bukan membaratkan Islam sehingga Islam hilang keunikannya, atau juga sebaliknya. Dengan buku ini alwi terlihat berusaha menjelaskan Islam kepada 'Barat' secara memadai, sebagai tanggapan atas reaksi yang kurang bersahabat atas Islam.
Bagi Alwi, banyak kalangan di Barat yang belum memahami apa itu Islam. Mereka mengenalnya sebagai agama yang “Buas”. Karena dipahami dari sudut mereka yang menggunakan Islam untuk mengabsahkan kekerasan dan kebencian. Ia berusaha memposisikan Islam sebagai agama yang hadir untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi umat manusia dan dunia (rahmatan lil 'âlamîn).
Ditengah-tengah orang “Barat” dengan spirit Islam sebagai penyerahan total, Alwi telah menjelaskan Islam apa adanya dan tidak emosionil. Rendah hati tetapi tetap penuh percaya diri dan tidak tergoda untuk melebihkan nilai-nilai positif agamanya untuk dibandingkan dengan hal-hal yang dianggapnya sebagai kelemahan agama lain.
Kalau dillustrasikan Ia seperti paulus yang memiliki keyakinan bahwa tugas, panggilan, dan misinya adalah ke Barat. Bedanya, paulus yang berada dalam semangat jamannya, berusaha meng-Kristenkan Barat. Sementara Alwi, dalam semangat inseklusif, pluralis dan lebih tepatnya semangat persaudaraan, berusaha membuat Islam dimengerti dan dipahami Barat secara proporsional.
Membaca buku ini bagaikan membaca suatu geografi, karena secara embriorik buku memang merupakan 'rekaman tertulis' tentang pengalaman mengajar Islam di bebarapa perguruan tinggi di negeri paman sam itu. Karenanya, tidak gersang dan tidak menyibukkan diri dengan teori-teori langitan. Sebaliknya, memaparkan uraian dan jawaban cerdas atas petanyaan-pertanyaan dan persoalan konkrit yang selama ini menjadi kendala untuk menjalin relasi yang sehat, setara dan saling menghormati.
Kesan yang akan didapatkan seperti moto majalah tempo ‘enak dibaca dan perlu’. Ketika membacanya, anda akan merasakan betapa pertanyaan-pertanyaan yang rumit dihadapi dan disikapi oleh Alwi Shihab dengan jawaban yang jernih, sabar, dan jujur. Anda pun akan merasakan kedalaman dan kematangan spiritualnya ketika persoalan kegamaan direspons secara tenang dan argumentatif.
Kecuali itu buku ini bisa mendorong kita untuk menilai relasi Islam-Barat secara kritis, positif, dan kreatif. Denganya berarti kita akan berani melakukan interpretasi kritis terhadap sejarah, politik, dan terutama terhadap teolog dan teologi dialog lintas agama yang mempengaruhi kita sendiri dan umat lain.
Setelah menelusuri uraian dan argumentasinya, prejudise dan kesalahpahaman ‘Barat’, ternyata mulai luntur. Digantikan dengan respek dan penghormatan untuk mencari titik temu antar agama. Dakwahnya bisa dikatakan sukses dengan munculnya sikap kritis mahasiswa-mahasiswa ‘Barat’ terhadap agaman yang dianutnya (baca; kristen). Ini sebenarnya sesuatu yang sangat positif, karena iman dan teologi sebagai doktrin agama, bukanlah sesuatu yang statis. Mereka bersifat dinamis sehingga mampu menjawab berbagai tantangan jaman.
Teologi kristen yang lahir dalam konteks peperangan dan permusuhan dengan Islam seperti yang dianut Calvin dan Luther, sudah harus dikritisi dan diganti. Mentalitas kami versus mereka harus diganti dengan mentalitas kita sebagai saudara-bersaudara. Teologi kristen yang muncul dalam konteks ‘Barat’ yang tidak bersentuhan dengan Islam atau budaya lain harus mengalami reinterpretasi. Ada banyak hal yang harus direinterpretasi agar agama dapat memaksimalkan perannya sebagai pembawa damai sejahtera bagi semua orang.
Saya kira prejudise dan kesalahpahaman telah membuat agama menjadi impoten. Padahal dia harus bisa memerankan dirinya demi perdamaian, keadilan, kesetaraan dan keutuhan ciptaan. Saya merasa, inilah visi besar buku ini. Langkah pertama untuk itu adalah melenyapkan prejudis dan kesalahpahaman. Bukan saja pada diri orang lain tetapi juga termasuk pada diri kita sendiri.
Menariknya, dalam memperjuangkan visinya ini, Alwi Shihab tidak terjebak untuk menggampangkan persoalan. Seolah-olah cukup bergaul dengan ‘Barat’ lalu semuanya beres. Alwi Shihab justru melihat hubungan Islam-Barat harus digarap secara komprehensip-integratif. Tepatnya berdasarkan kitab suci agama yang dianut oleh mitra dialognya. Karena dialog dan hubungan antar umat beragama hanya bisa langgeng bila ia memiliki dasar teologis yang kuat berdasarkan kitab suci. Tanpa itu semua, relasi umat beragama justru sering dicurigai sebagai kompromistis dan bahkan sinkritis.
Metodologi dakwah Alwi tersebut, terbilang langka dan unik. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia, terutama dari major yang non-teologi, yang tinggal di Barat tetapi semakin ‘terasing’ dari barat. Cak Nur pernah mengatakan “mahasiswa teologi di US cendrung lebih terbuka dan inklusif, sebaliknya mahasiswa non-teologi menjadi lebih “konserfatif” dan tertutup". Pengalaman sosiologis dan psikologis mereka mempengaruhi teologi dan sikap mereka terhadap Barat !, Namun bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara umat Islam di Barat dan “Barat”.
Peristiwa 911 (11 September), telah memicu inisitatif "Barat" untuk memahami Islam secara tuntas. Alwi jeli melihat peluang dakwah itu, dengan usahnya memperkenalkan Islam di Barat lewat metoda interaktif antara mitra dialog lintas agama. Memang dalam beberapa petemuan Kristen-Islam-Yahudi di Amerika, sering kali percakapan yang “dingin” berubah menjadi “panas” ketika persoalan Palestina diangkat. Kebanyakan kaum intelektual dan pihak gereja mainstream cendrung mendukung hak-hak bangsa palestina. Begitu juga sebagian besar kaum muslim Amerika.
Realitas ini berhasil dieliminir oleh seorang Alwi Shihab. Hal ini disebabkan oleh kwalitas intelektual yang matang berkat menempuh tradisi Timur dan Barat sekaligus. Meraih doktor bidang filsafat di Universitas Ains Syams di Mesir serta doktor dari Temple University USA dengan disertasi tentang misi kristenisasi. Buku ini selayaknya dibaca oleh peminat studi dialog lintas agama di tanah air.
1 Comments:
At 5:59 AM, ABU IBRAHIM said…
Dialog antar agama .
DIALOG ANTAR AGAMA
Berdakwah kepada orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam, adalah perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT atas kaum muslimin. Tugas ini telah mereka laksanakan selama 14 abad. Tak henti-hentinya mereka mengajak orang-orang non-Islam untuk masuk Islam, baik golongan Ahli Kitab maupun golongan lainnya. Allah SWT berfirman :
أُدْعُ إِلى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنْ ...
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."
(An-Nahl 125)
Rasulullah SAW bersabda dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius, Raja Romawi :
فَإِنِّيْ أَدْعُوْكَ بِدِعَايَةِ اْلإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ اْلأَرِيْسِيِّيْنَ …
"...Sesungguhnya aku berseru kepadamu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu niscaya kamu akan selamat! Allah akan memberikan dua pahala kepadamu. Tapi jika kamu berpaling maka kamu menanggung dosa para petani (rakyatmu)..."
(HR. Bukhari)
Jelaslah, bahwa dakwah kita kepada kepada orang-orang non-Islam, adalah dakwah untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran.
Adapun ide dialog antar agama yang ramai dijaja-kan saat ini, adalah ide dari Barat yang sangat keji lagi sangat asing. Tidak ada asal usulnya dalam Islam, sebab ide ini menyerukan untuk mencari titik temu bersama di antara agama-agama. Bahkan ide tersebut menyerukan untuk membentuk agama baru yang sengaja direka-reka agar kaum muslimin memeluknya sebagai ganti agama Islam, karena penganut ide ini dan para propagandisnya adalah orang-orang Barat yang kafir.
Ide ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama Al-Azhar (Kairo) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 yang dihadiri oleh para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-Agama Sedunia tahun 1936 merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II yang telah membuat sibuk negara-negara Eropa untuk menyelenggarakan konferensi-konferensi serupa.
Pada tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan sebuah buku yang berjudul "Alasan Dialog Antara Kaum Muslimin dan Kaum Kristiani."
Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antara peradaban. Yang paling menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia, yang dihadiri oleh 400 delegasi dari beraneka agama yang berbeda-beda, dan Kon-ferensi Cordoba di Spanyol yang dihadiri oleh delegasi-delegasi muslim dan Kristen dari 23 negara. Kedua konferensi ini diselenggarakan tahun 1974. Kemudian diselenggarakan pula Pertemuan Islam-Kristen di Carthage di Tunisia tahun 1979.
Pada dekade akhir abad ini para propagandis dialog antar agama bergiat mengadakan Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania, yang disusul dengan Konferensi Khartoum untuk Dialog Antar Agama tahun 1994. Pada tahun 1995 diadakan dua konferensi untuk dialog antar agama, yang pertama di Stockholm, dan yang kedua di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi Islam dan Eropa di Universitas Aalul Bait (Yordania) tahun 1996.
Justifikasi Dialog Antar Agama
Justifikasi terpenting yang diajukan para peserta konferensi di berbagai konferensi antar agama, adalah untuk membendung kekufuran dan ateisme yang terwujud dalam negara Uni Soviet sebelum negara ini runtuh. Sebab, Komunisme dipandang sebagai ajaran ateis yang mengancam agama-agama samawi termasuk prestasi-prestasi peradabannya. Justifikasi lainnya, adalah adanya keprihatinan terhadap umat manusia dan pembelaan terhadap orang-orang beriman di muka bumi. Justifikasi lainnya lagi, adalah perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran, sebab kebenaran harus tunduk pada kaidah demokrasi, yaitu pendapat mayoritas merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Rekomendasi-Rekomendasi Peserta Konferensi
Rekomendasi terpenting dari konferensi-konferensi yang diselenggarakan atas nama dialog antar agama dan antar peradaban, serta dialog antara Islam dan Eropa, adalah sebagai berikut :
Perlu dicari makna-makna dan dimensi-dimensi baru untuk kata "kufur", "ateis", "syirik", "iman", "islam", "moderat", "ekstrem", dan "fundamentalisme" sedemikian rupa, sehingga kata-kata itu tidak menjadi faktor pemecah-belah di antara penganut-penganut agama.
Perlu dicari titik-temu dari ketiga agama, yang meliputi aspek aqidah, akhlaq, dan budaya, untuk menegaskan adanya titik-temu positif di antara berbagai agama dan peradaban, sebab semua Ahli Kitab adalah orang-orang beriman yang sama-sama menyembah Allah.
Perlu adanya piagam bersama hak-hak asasi manu-sia, untuk memantapkan perdamaian dan pola hidup berdampingan secara damai di antara penganut agama-agama. Hal ini dilakukan dengan cara meng-hilangkan perasaan akan adanya batas-batas prinsipil antar agama, dan dengan menghilangkan persepsi permusuhan dalam budaya berbagai bangsa dan politik berbagai negara.
Perlu dilakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan, agar jauh dari hal-hal yang dapat mem-bangkitkan kemarahan dan kebencian, serta meng-anggap bahwa pengajaran agama adalah bagian dari kajian humaniora yang mendasar, yang ditujukan untuk membentuk kepribadian yang terbuka dengan berbagai kebudayaan umat manusia serta mau memahami agama lain. Karena itu, wajib dijauhkan beberapa pembahasan tertentu dalam aqidah dan ibadah.
Perlu adanya perhatian pada pembahasan tema-tema tertentu dan menetapkan persepsi yang mempersatukan pada tema-tema tersebut. Tema-tema tersebut adalah: "keadilan", "perdamaian", "wanita", "hak asasi manusia", "demokrasi", "etos kerja", "pluralisme", "kebebasan", "perdamaian dunia", "hidup berdampingan secara damai", "keterbukaan peradaban", "masyarakat madani" (civil society), dan sebagainya.
Sarana dan Cara Dialog Antar Agama
Setelah orang-orang Barat yang kafir gagal men-jauhkan kaum muslimin dari aqidah mereka melalui para misionaris dan orientalis, beraneka literatur dan jurnal kebudayaan, serta manipulasi ideologi, politik, dan media, mereka beralih pada lembaga-lembaga resmi di negara-negara mereka dan negara-negara agen-agen mereka. Mereka mulai mengadakan berbagai konferensi dan seminar, membentuk kelompok-kelompok aksi bersama, dan mendirikan pusat-pusat studi di negeri-negeri mereka ataupun di negeri-negeri Islam, seperti Pusat Studi Islam Universitas Oxford (Inggris), Pusat Studi Timur Tengah Universitas Durham (Inggris), College of Holly Cross (Akademi Salib Suci) di Amerika, Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) di Arab Saudi, Al Majma’ Al Mulki li Buhuutsil Hadlarah Al Islamiyah (Dewan Kerajaan untuk Pengkajian Peradaban Islam), Universitas Aalul Bait (Yordania), Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan lain-lain.
Mereka menggunakan bermacam-macam istilah dan kata yang manis-memikat dengan makna-makna yang tidak jelas untuk menyesatkan dan mengecoh kaum muslimin, seperti "pembaharuan", "keterbukaan ter-hadap dunia", "peradaban umat manusia", "penge-tahuan universal", "keharusan hidup berdampingan secara damai", "membuang fanatisme dan ekstremisme", "globalisasi", dan lain sebagainya.
Mereka merancukan persepsi tentang ilmu penge-tahuan/sains (‘ilmu) dengan kebudayaan (tsaqafah), serta peradaban (hadlarah) dengan corak kehidupan fisik (madaniyah). Perancuan ini lalu dijadikan landasan untuk menyerang orang-orang yang konsisten dengan pandangan hidupnya yang khas, karena dianggap menentang ilmu pengetahuan dan corak kehidupan fisik yang lahir darinya, serta dicap sebagai golongan yang terbelakang dan tertinggal. Padahal masalahnya menurut Islam tidaklah seperti yang mereka dakwakan. Sebab Islam telah membuka diri terhadap ilmu pengetahuan beserta corak kehidupan fisik yang lahir darinya. Tetapi Islam memang menutup diri terhadap kebudayaan dan peradaban apa pun yang bukan kebudayaan dan peradaban Islam, sebab kebudayaan dan peradaban merupakan pemikiran yang berhu-bungan dengan perilaku manusia yang wajib ditata hanya dengan persepsi Islam tentang kehidupan.
Mereka membagus-baguskan berbagai pemikiran ideologi kapitalisme di hadapan kaum muslimin, serta mempromosikannya sebagai sesuatu yang tidak menya-lahi ajaran Islam. Akibatnya, sebagian kaum muslimin mengira bahwa pemikiran-pemikiran itu berasal dari Islam, seperti pemikiran demokrasi, kebebasan, pluralisme politik, sosialisme, dan lain-lain. Sebaliknya, mereka menyerang sebagian pemikiran Islam dan mensifatinya sebagai sesuatu yang tidak berperadaban dan tidak layak untuk masa sekarang, seperti jihad, hudud, poligami, dan hukum-hukum syara’ lainnya.
Mereka menundukkan kajian terhadap nash-nash ajaran Islam di bawah metode berpikir ideologi kapitalisme, yang menjadi fakta sebagai sumber hukum, bukannya sebagai tempat (objek) penerapan hukum, yang menetapkan kemanfaatan (kemaslahatan) sebagai standar untuk mengambil atau menolak suatu hukum, bukannya standar halal dan haram. Inilah yang mendorong sebagian kaum muslimin untuk menciptakan beberapa kaidah untuk memahami Islam yang sebenarnya tidak ada sandarannya dari nash-nash syara’, seperti fiqhul waaqi’ (penetapan hukum yang bertolak dari fakta dengan mengesampingkan nash syara’), fiqhul muwaazanaat (penetapan hukum berdasarkan pertimbangan manfaat dan mudlarat belaka), adl dlaruuratu tubiihul mahzhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan), dan sebagainya. Hal ini telah mengakibatkan lunturnya sebagian hukum-hukum Islam serta hilangnya batas-batas pembeda antara ajaran yang palsu dan yang asli, antara kufur dan Islam, sehingga akhirnya riba menjadi mubah dan mati syahid dianggap bunuh diri.
Orang-orang kafir yang mengendalikan dialog antar agama itu selalu berupaya untuk memperumum dan memperluas medan dialog, sehingga dialog tidak hanya terbatas pada pada konferensi dan seminar saja, tetapi juga menjangkau seluruh komponen masyarakat; laki-laki dan perempuan, para intelektual dan pegawai/ buruh, yang dilaksanakan melalui jalur-jalur sekolah, perguruan tinggi, lembaga studi, partai politik, dan asosiasi (buruh, pengusaha, pengacara, pedagang, dan lain-lain). Jadi, seperti yang diungkapkan oleh para peserta konferensi, kegiatan ini memang merupakan pengintegrasian diri dengan peradaban Barat dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Ideologi kapitalisme --seperti yang mereka dakwakan-- dengan ide-ide humanisme dan rasio-nalisme, liberalisme, dan demokrasi, dianggap sebagai peradaban modern yang sukses. Adapun Islam, dianggap agama taklid, mengajarkan kediktatoran, dan hanya berkutat pada warisan kebudayaan masa silam. Islam katanya mengajarkan kedaulatan agama, perbudakan, dan poligami. Islam tidak berperadaban!
Di antara teknik pengecohan atas kaum muslimin yang terjadi dalam konferensi-konferensi dialog antar agama, adalah adanya partisipasi peserta-peserta yang beraqidah lain, seperti orang Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, di samping orang Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini terjadi pada Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian di Jepang dan pada sebuah seminar di Beirut (Lebanon) pada tahun 1970. Tujuannya adalah agar kaum muslimin tidak berpraduga bahwa hanya mereka saja yang menjadi sasaran dialog antar agama. Heran, bagaimana mungkin mereka yang disebut ulama kaum muslimin itu menerima begitu saja Islam disetarakan dengan Budha dan agama-agama lain!
Pandangan Barat Yang Hakiki Terhadap Islam
Sesungguhnya pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin dan memimpin berbagai konferensi dialog antar agama itu, memandang Islam dengan pandangan permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antar agama, yang dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Ensiklopedi Kebudayaan Perancis, yang menjadi referensi setiap peneliti, mendeskripsikan Muhammad Rasulullah SAW sebagai; "pembunuh, penculik para wanita, dan musuh terbesar bagi akal umat manusia." Demikian pula halnya mayoritas literatur akademis di Eropa Barat, yang menjelaskan sifat Rasulullah SAW, Islam, dan kaum muslimin dengan sifat-sifat yang sangat keji.
Sementara itu, dalam buku The End of History karya pemikir Amerika Francis Fukuyama, terdapat sebuah pernyataan, "Sistem kapitalisme adalah babak penghabisan yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi Islam meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, kapitalisme)."
Sekjen NATO Willie Claise pernah mengatakan, "Islam fundamentalis adalah bahaya yang mengancam geopolitik masa depan. "Sedang orientalis Bernard Lewis menyatakan pandangannya tentang Islam dan kapitalisme, "Keduanya bertentangan satu sama lain. Tak mungkin ada dialog di antara keduanya." Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, dan direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard berkata, "Sesungguhnya benturan antar peradaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antar peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antar peradaban." Dia kemudian mengatakan, "Agama telah membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah Perancis setengah Arab...Tetapi sangat sulit seseorang menjadi setengah Katholik setengah muslim."
Jika demikian halnya pandangan Barat yang hakiki, lalu di mana sebenarnya dialog yang mereka serukan kepada kita dengan sikap permusuhannya itu?
Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya --seperti Perang Salib, pembasmian umat Islam di Spanyol, penghancuran Khilafah, lalu pendirian negara Yahudi di Palestina, pemberian predikat terorisme dan ekstrem-isme terhadap Islam dan gerakan-gerakan Islam-- niscaya kita akan dapat memahami target-target dari dialog antar agama yang diadakan oleh Barat yang kafir terhadap kaum muslimin.
Target-Target Dialog Antar Agama
Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh para kapitalis dari dialog antar agama dan antar peradaban itu, adalah menghalang-halangi kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh, sebab sistem ini akan mengancam kelestarian ideologi dan peradaban mereka serta akan dapat memusnahkan segala kepentingan dan pengaruh mereka.
Target-target cabang lainnya untuk merealisasikan target mendasar itu cukup banyak. Misalnya, mereka berusaha untuk mewarnai dunia dengan warna (shibghah) peradaban kapitalisme --utamanya wilayah-wilayah yang menjadi tempat hidup kaum muslimin-- untuk menggantikan peradaban Islam sehingga Barat dapat lebih mudah menghapus Tsaqafah Islamiyah dari benak kaum muslimin. Target ini diupayakan dengan menggoncang kepercayaan kaum muslimin terhadap Tsaqafah Islamiyah beserta sumber-sumber dan asas-asasnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan Islam dari medan pertarungan peradaban dengan mengosongkan Islam dari ciri khas terpenting yang membedakannya dari agama-agama lain --yaitu politik-- yang karenanya wajib didirikan negara Khilafah yang akan mengatur seluruh urusan rakyat sesuai hukum-hukum Islam dan mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia.
Mereka juga berusaha untuk membentuk kepribadian muslim dengan format kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah bila meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha merusak perasaan Islami pada seorang muslim dan membunuh semangat (ghirah) Islam yang ada dalam jiwanya, sehingga muslim tersebut tidak mampu lagi membenci kekufuran dan orang kafir, serta tidak mau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka bermaksud pula melenyapkan ketahanan budaya dalam tubuh umat Islam --yang dengannya dapat ditangkal setiap unsur pemikiran asing-- serta mera-takan barikade-barikade berupa pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang berpotensi mengancam eksistensi peradaban kapitalis di negeri-negeri Islam. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan atas segala pengaruh dan kepentingan mereka dapat berlangsung mudah yang pada gilirannya ini akan dapat menjamin kelestarian dan kesinam-bungan eksistensi mereka.
Dialog antar agama yang direkayasa oleh kaum kafir dan para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi agen mereka, yang didukung oleh kawan-kawan dekat penguasa tersebut dari kalangan ulama dan intelektual, sebenarnya bermaksud untuk menciptakan agama baru kaum muslimin yang didasarkan pada aqidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Padahal aqidah ini menetapkan bahwa membuat hukum adalah hak manusia, bukan hak Allah SWT yang telah menciptakan manusia. Mengenai para perekayasa dialog antar agama itu, Allah SWT telah berfirman :
وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا
"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu."
(Al-Baqarah 217)
Demikian pula Allah SWT berfirman :
وَلَنْ تَرْضى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النًّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka."
(Al-Baqarah 120)
Karena peradaban Islam berasaskan Aqidah Islamiyah sementara peradaban kapitalisme berasaskan aqidah kapitalis (pemisahan agama dari kehidupan), maka titik temu di antara keduanya hakikatnya tak mungkin ada. Jadi maksud dialog antar agama yang dipimpin oleh Barat yang kafir itu, adalah agar kaum muslimin melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian digantikan dengan persepsi-persepsi kapitalis, sebab Barat telah mengerti bahwa mengkompromikan dua ideologi yang kontradiktif adalah hal yang mustahil.
Dialog antar agama dan antar peradaban untuk mencari titik temu di antara agama atau peradaban yang ada dan untuk menciptakan sebuah peradaban manusia yang baru, hanyalah sebuah ilusi belaka. Justru yang harus ada adalah pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat diketahui mana yang haq mana yang bathil, mana yang mulia mana yang hina, dan mana yang baik mana yang buruk. Allah SWT berfirman :
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ
"Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat pada manusia, maka ia tetap di bumi." (Ar-Ra’d 17)
Dialog antar agama yang diserukan Barat kepada kita, sesungguhnya adalah dialog yang bersifat sepihak. Dialog ini diprakarsai oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam, peradaban Islam, dan umat Islam itu sendiri. Karena itu, kaum muslimin harus mempersiapkan segala sarana pertarungan yang memadai, yang hanya dapat terwujud dengan kembalinya negara Khilafah. Negara Khilafah inilah yang akan terjun langsung ke dalam pertarungan fisik/jihad (ash-shira’ul maadi), di samping pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri), dalam rangka menyebarluaskan peradaban Islam yang bermutu tinggi dan untuk memusnahkan peradaban kapitalis yang palsu dan bejat.
Perbincangan Tentang Anak-Cucu Nabi Ibrahim AS
Perbincangan ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi dialog antara tiga agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu telah dibawa oleh Nabi Muhammad, Isa, dan Musa AS, yang mempunyai bapak yang satu, yaitu Ibrahim AS. Karena itu, pemeluk ketiga agama itu harus hidup berdampingan secara damai, karena mereka secara agama adalah berasal dari satu keturunan.
Ini dari satu segi. Dari segi lain, perbincangan ini adalah untuk mendukung apa yang disebut "proses perdamaian" dan pembukaan hubungan diplomatik dengan Yahudi, serta melancarkan satu poin di antara poin-poin konspirasi Barat-Yahudi atas Islam dan kaum muslimin, yaitu mencaplok Palestina dan Masjidil Aqsha dan menancapkan pisau beracun dalam dada umat Islam. Juga untuk menjustifikasi kerjasama orang Yahudi, Kristen, dan Islam guna menjalankan otoritas keagamaan dalam pengelolaan kota Yerussalem, yang telah dianggap tempat suci untuk tiga agama. Sebab, orang Yahudi, Kristen, dan Islam katanya adalah orang-orang muslim yang berasal dari agama yang satu, yaitu agama Ibrahim AS, bapak para nabi (Abul Anbiyaa’).
Untuk menjelaskan kekeliruan pemikiran ini sekaligus untuk membantahnya, harus dijelaskan 3 (tiga) poin berikut :
Pertama, Aspek Bahasa. Kata "aslama" di antara makna bahasanya adalah "inqaada" (tunduk, patuh, berserah diri). Al-Quran telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat para nabi itu sebagai orang-orang yang tunduk-patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT telah berfirman melalui perkataan Nabi Nuh AS, nabi sebelum Ibrahim AS:
إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
"Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)"(Yunus 72)
Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Nabi Ibrahim dan Isma’il AS :
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَّكَ
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau." (Al-Baqarah 128)
Allah berfirman tentang kaum Nabi Luth AS :
فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
"Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri."
(Adz-Dzaariyaat 36)
Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Musa AS:
فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ
"Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang-orang yang berserah diri."
(Yunus 84)
Allah SWT berfirman melalui perkataan para Hawariyin (pengikut-pengikut setia Nabi Isa AS) :
آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُوْنَ
"Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri." (Ali Imraan 52)
Dengan demikian, jelas bahwa kata "muslimun" yang terdapat dalam berbagai ayat tersebut maknanya adalah "munqaaduun" (orang-orang yang patuh, tunduk, berserah diri). Jadi bukan berarti mereka itu memeluk agama yang satu, yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW, sebab Islam belum dikenal oleh mereka, disamping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam. Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang khusus bagi mereka. Dan setiap rasul itu menyeru mereka kepada syari’at (aturan) yang khusus. Allah SWT berfirman :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
"Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang."
(Al-Maa`idah 48)
Setelah turunnya wahyu kepada Muhammad SAW, wahyu tersebut telah mengarahkan perhatiannya pada beberapa kata Arab tertentu, lalu memindahkan dari makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, kepada makna syar’i yang dijelaskan oleh nash-nash syara’ dari Al-Quran dan As-Sunah. Di antara kata-kata yang telah dipindahkan maknanya ialah kata "Islam". Makna bahasanya adalah "inqiyaad" (tunduk, patuh, berserah diri). Tetapi makna syar’inya adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Makna ini misalnya terdapat dalam Allah SWT yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari Kiamat :
وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
"...dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagi kalian." (Al-Maa`idah 3)
Juga dalam firman-Nya :
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imraan 85)
Dan juga dalam sabda Rasulullah SAW :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ …
"Islam dibangun atas dasar lima perkara..."
Sebagaimana diketahui, agama-agama selain Islam tidak dibangun atas dasar lima perkara seperti tersebut dalam hadits.
Setelah pemindahan kepada makna syar’i untuk kata "Islam", maka semua kata yang berasal dari kata "Islam" --seperti fi’il "aslama", dan isim fa’il "muslim"-- jika diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), berarti yang dimaksud adalah makna syar’inya, bukan yang lain. Apabila dimaksudkan untuk menunjukkan makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, diperlukan qarinah yang mengalihkan dari makna syar’inya. Misalnya firman Allah SWT :
مَا كَانَ إِبْرَاهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah)."
(Ali Imraan 67)
Ini tidak berarti bahwa Ibrahim AS adalah penganut agama yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad SAW (agama Islam), tetapi artinya, Ibrahim AS tunduk-patuh (munqaadun) kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya, dan dia bukanlah orang Yahudi atau Nashara yang telah mengubah-ubah agama para nabi mereka.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, Isa, dan Musa telah mengikuti agama Ibrahim, maksudnya adalah mereka itu mengimani aqidah yang sama, yang merupakan dasar (pokok) dari setiap agama yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah SWT :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ...
"Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu ,’Tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya"
(Asy-Syuura 13)
Jadi agama yang terdapat dalam ayat di atas adalah dasar/pokok agama (ashlud diin), yakni aqidah. Akan tetapi syari’at mereka tidak sama, karena ayat tersebut telah ditakhsis (dikecualikan) oleh firman Allah SWT :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
"Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang." (Al-Maa`idah 48)
Kedua, Aspek Hukum Syara’. Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai penutup para nabi kepada seluruh umat manusia, dimana mereka semua dituntut untuk meninggalkan agama-agama mereka --baik samawi maupun bukan-- dan mengambil Islam sebagai agama mereka. Barangsiapa yang memenuhi tuntutan ini, berarti telah masuk Islam, sedang yang tidak memenuhinya, berarti telah kafir. Allah SWT berfirman :
وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَاْلأُمِّيِّيْنَ ءَ أَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ اْلبَلاَغُ وَاللهُ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ
"Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang yang ummi,’Apakah kalian (mau) masuk Islam)? ’Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hanba-Nya." (Ali ‘Imraan 20)
Allah SWT berfirman :
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ...
"Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad)..." (Al-Bayyinah 1-2)
Jadi, orang-orang Ahli Kitab dan musyrik itu tidak dapat dikatakan meninggalkan kekufuran, kecuali dengan cara masuk Islam, yakni mengikuti agama Muhammad SAW. Selain itu Rasulullah SAW juga pernah bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
"Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat manusia ini, baik dia Yahudi maupun Nashrani, lalu dia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka"
(HR. Muslim)
Walhasil, seluruh umat manusia telah diseru untuk memeluk Islam. Siapa saja yang tidak mau memeluk Islam setelah diajukan hujjah baginya, berarti dia secara pasti adalah orang kafir. Orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, jika mereka tetap saja menganut agama mereka masing-masing, maka mereka adalah orang-orang kafir, menurut nash Al-Quran. Haram hukumnya mensifati mereka sebagai muslim. Barang siapa beri’tiqad bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen --serta penganut agama lain selain mereka-- adalah orang-orang muslim, sungguh dia telah kafir. Karena dengan i’tiqadnya itu dia telah mengingkari nash-nash syara’ yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti maknanya). Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.
Ketiga, Perbincangan Tentang Anak-Cucu Ibrahim AS. Sebenarnya perbincangan ini menyeru kepada ikatan kebangsaan (rabithah qaumiyah), yang pada faktanya merupakan ikatan yang emosional dan bermutu rendah, yang lahir dari naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa). Ikatan ini tidak manusiawi, sebab tidak layak untuk menjadi pengikat seorang manusia dengan manusia lain tatkala keduanya berbeda dalam hal asal keturunan (nasab).
Ikatan anak-cucu Nabi Ibrahim AS telah terhapus oleh jaman, tidak ada lagi faktanya dalam kehidupan, sebab orang-orang yang bernasab kepada Ibrahim dan keturunannya telah bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain, dikarenakan hubungan perkawinan, pergaulan, imigrasi, dan peperangan. Maka kini sangat sulit, bahkan mustahil, membedakan mereka dari manusia yang lain. Di samping itu, para pengikut ketiga agama tersebut berasal dari segala bangsa dan suku yang ada di dunia, yang masing-masing telah terintegrasi atas dasar agama, bukan atas dasar asal usul keturunan. Maka dari itu, sebutan "Anak-Cucu Ibrahim" untuk orang-orang Islam, Yahudi, dan Kristen, juga untuk orang-orang yang tinggal di sekitar Masjidil Aqsha atau yang lainnya, adalah sebutan yang gegabah, serampangan, lagipula tidak benar. Maksud sebenarnya adalah untuk memerangi Islam, menjustifikasi proses perdamaian yang dipaksakan, serta meligitimasi pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi yang bercokol di tanah kaum muslimin yang dirampas. Semua ini adalah dalam rangka memberikan legalitas terhadap tindakan kriminal yang sangat menjijikkan yang telah diperbuat oleh para penguasa yang berkhianat atas dasar suruhan para majikan mereka yang kafir.
Ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan (rabithah usriyah), seperti halnya ikatan anak-cucu Ibrahim AS, tidak dibenarkan oleh syara’ untuk dijadikan asas pengaturan interaksi di antara manusia. Allah SWT berfirman :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْا حَتّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الفَاسِقِيْنَ
"Katakanlah,’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik."
(At Taubah 24)
Jelaslah bahwa perintah Allah SWT, lebih tinggi kedudukannya daripada ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan, atau aspek kemanfaatan. Allah SWT telah menjelaskan kepada para nabi sebelumnya mengenai lemahnya ikatan-ikatan seperti itu. Allah SWT berfirman:
وَنَادَى نُوْحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ:رَبِّ إِنَّ ابْنِيْ مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ: يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ...
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ’Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ’Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan disela-matkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik" (Huud 45-46)
Allah SWT berfirman mengenai Ibrahim AS :
قَالَ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قاَلَ: لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ
"Allah berfirman, ’Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ’(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ’Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim" (Al-Baqarah 124)
Ayat di atas menerangkan, bahwa anak Nabi Nuh AS dalam pandangan syara’ bukanlah termasuk keluarganya, sebab dia tidak beriman dengan risalah yang diturunkan Allah kepada ayahnya. Demikian pula, orang-orang zhalim dari keturunan Nabi Ibrahim AS dikecualikan dari janji Allah untuk mendapat kepemimpinan, sebab mereka tidak mengikuti risalah yang diturunkan Allah kepada Bapak mereka, Ibrahim AS.
Oleh sebab itu, propaganda ide "Anak-Cucu Ibrahim AS" saat ini sesungguhnya adalah propaganda jahiliyah yang bersifat politis dan sangat tendensius. Haram hukumnya menyerukan dan mempromosikan ide ini, sebab maksud hakiki dari ide itu adalah untuk memerangi Islam, memalingkan kaum muslimin dari agamanya, menjustifikasi proses perdamaian yang khianat dengan Yahudi yang kafir, menyerahkan kepada mereka bumi Palestina yang mereka jarah, mengesahkan hubungan diplomatik dengan mereka, serta menerima eksistensi negara Israel di Timur Tengah.
Post a Comment
<< Home