Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

31 July 2006

Pengelolaan Zakat di Mata Megawati

Pengelolaan Zakat pasca pemerintahan Gus Dur telah mendapat tanggapan istimewa, yakni seruan secara formal oleh Presiden. Pada acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Istiqlal (1/12/2001), Megawati berkata: “Dalam bulan ramadhan yang penuh berkah dan ampunan ini, saya kira sangat tepat waktunya untuk meningkatkan gerakan sadar zakat. Zakat itu, apalagi sebagai bagian upaya untuk mempercepat pengentasan kemiskinan”. Lebih lanjut dia menyatakan “melalui BAZ, saya berharap kita dapat mengelola zakat dengan prinsip-prinsip yang modern, terbuka, dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat”. (Republika, 2/12/2001).

Menurut penulis, respons ini merupakan dampak dari pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan pada sisi lain sebagai rembesan dari tranformasi (nilai) Islam ke dalam realitas sosial yang melingkupinya. Dua sisi ini, pada gilirannya menjadikan zakat bukan seruan agama ansich, tapi merupakan proses objektivikasi nilai Islam yang akan memancarkan rona-rona inklusif dan universal.
Kata “zakat” berasal dari bahasa arab, yang artinya adalah pembersihan dan pensucian.

Idealnya, prilaku sadar zakat merupakan proses pensucian diri dari penyakit spiritual yang meliputi budaya korupsi, boros, dan kikir. Dengan gamlang al-Qur’an melarang pendapatan harta dengan cara bathil/korup (QS 4:29). Begitu juga, mengutuk tradisi berfoya-foya dalam membelanjakan harta (QS 7:31) dan terus beramal dalam waktu susah dan senang (QS 17:29). Inilah, yang membedakan zakat dengan kebiasaan money loundry yang dilakukan oleh para koruptor/penjahat dengan bantuan sosial dan menitipkan pesan pada penerimanya, “seolah-olah ada yang beramal saleh !”.
Tansformasi Islam

Menurut Kontowijoyo, zakat merupakan pemusatan akan keimanan terhadap Tuhan dan responsibilitas seorang muslim atas perjuangan untuk kemuliaan peradaban manusia (Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Mizan, 1998). Prinsip humanisme teosentrik inilah, yang kemudian akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.

Baginya, nilai Islam selalu akrab dengan pembelaan atas kaum mustad’afin yang secara ekonomi, sosial, politik, dan kultural telah tertindas oleh golongan dzalim (penindas). Dengan berzakat, Islam menghormati prinsip-prinsip egaliterianisme yang menempatkan manusia “seakan” tidak berkelas sosial. Pada kata lain, Syari’at Islam selalu mengusung misi socially provitable bagi semua lapisan masyarakat tanpa memandang etnis, budaya, dan bangsa tertentu (rahmatan lil’alamin).
Dalam konteks ini, ajakan Megawati tidak hanya dipahami sebagai retorika politik, berkaitan dengan ritusnya bulan ramadhan. Lebih dari itu, dapat dibaca sebagai refleksi keutamaan berzakat secara empiris/aktual. Dus, ada relevansinya dengan fungsi pengelolaan zakat pada UU. No.38/1999, yang sengaja diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pranata keagamaan (Islam). Sejatinya, pengelolaan zakat secara otomatis bisa tercerabut dari statusnya sebagai formulasi syari’at Islam (grand teory) yang terkesan simbolik/ekslusif dan pada gilirannya menjadi aksi yang kongkrit di lapangan (midle range teory).

“Gerakan sadar zakat” mendapat momennya di tengah krisis ekonomi, maraknya kasus korupsi (diduga kuat melibatkan public servant)‎‎‎‎‎, dan tingginya daftar kekayaan pejabat. Kampanye ini, secara otomatis akan melekat pada setiap individu yang telah “dimanjakan” oleh fasilitas-fasilitas negara. Bentuknya, meliputi tunjangan gajih, kesehatan, perumahan, dan lainnya. Secara lebih luas, akses mereka atas sumber daya sosial, ekonomi, politik, dan kultural telah berbanding terbalik dengan kemampuan rakyat.

Pengelolaan Zakat, seharusnya berangkat dari pembelaan rakyat yang berada dalam kondisi “kemiskinan struktural”. Hendaknya, ketimpangan itu bisa diselesaikan dengan pendistribusian zakat secara merata. Karena Islam mengidealkan sumber daya sosial-ekonomi yang tidak terpusatkan pada sebagian golongan tertentu. Zakat itu berintikan keadilan, melalui distribusi harta yang dapat menjamin standar kehidupan bagi segenap lapisan masyarakat (QS 9:34). Namun, pada saat yang sama Islam tetap memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mencapai keunggulan ekonomi seoptimal mungkin.

Pada proses pembentukan akhlak, berzakat secara otomatis akan melahirkan kesalehan sosial –meminjam istilah Prof Nurcholis Madjid– yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan universal. Bagi Cak Nur, kesalehan seorang muslim dalam konteks kekinian harus berusaha menghindar dari kesalehan formal (formal piety) yang hanya menorehkan sikap dan prilaku individualistik tanpa diiringi oleh kepedulian sosial (30 Sajian Rohani ; Renungan di Bulan Ramadhan, Mizan, Bandung, 1998). Para ulama ujarnya, kerap kali menafsirkan ayat 3 dari surat al-Ma’uun, sebagai penolakan atas kasalehan yang tidak dibarengi oleh dimensi konsekuensal (turutan) untuk merespons rintihan fakir-miskin di sekelilingnya.

Dengan pandangan ini, maka “Gerakan Sadar Zakat” dapat dilihat sebagai tranformasi nilai Islam ke dalam sistem sosial masyarakat. Ia akan bersifat substantif/inklusif yang diartikulasikan dalam setiap prilaku sosial umat muslim yang otentik. Dengan berzakat, seorang tidak lagi terbebas dari beban-beban teologis yang bersifat ritual, tapi sekaligus mengkonsentrasikan dirinya pada penyelesaian problem-problem sosial di masyarakat.

Modernisasi

Adapun proses modernisasi terhadap pengelolaan zakat dalam UU No. 38/1999, dapat diurai menjadi; institusionalisasi Organisari Pengelolaan Zakat, pengawasan pengelolaan, dan pendayagunaan dana zakat. Runutan pijakan yuridisnya bisa ditilik pada hal-hal berikut ini.

Pertama : dalam pasal 6 dan 7 UU zakat, telah ditentukan bahwa masyarakat dapat membuat Lembaga Amil Zakat dan pemerintah dengan semua jajarannya dapat membuat Badan Amil Zakat. Dengan ini, secara matang dan terencana pembentukan Organisasi Pengelola Zakat (LAZ/BAZ) telah melibatkan elemen pemerintah dan masyarakat sehingga institusionalisasi OPZ menjadi legitimate.

Kedua : Pengawasan akan kwalitas pengelolaan dana zakat secara gamlang telah ditentukan dalam UU No.38/1999. Kesemuanya dapat dipadatkan menjadi, peran akuntan publik (pasal 18), laporan tahunan kepada DPR/D (pasal 19), pengelolaan diletakkan dalam ruang publik/public sphare (20), dan pemberian sanksi pidana penjara tiga bulan serta denda 30 juta untuk tindakan penyalahgunaan dana zakat (pasal 21).
Ketiga : pendayagunaan dana zakat pada preambul “Menimbang” huruf b UU Zakat, lebih didasarkan pada aspek penarikan zakat --dari orang-orang yang kena wajib zakat— untuk golongan ekonomi lemah. Alokasi dana zakat, biasanya bersifat langsung untuk fakir-miskin (cherity) dan berbentuk “dana produktif” bagi sektor ekonomi real.

Penutup

Potret modernisasi di atas, menurut hemat saya telah mendekritkan prinsip-prinsip akuntabilitas yang selalu diterapkan pada dana yang dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku –termasuk zakat. Dengan dikenakan sanksi, pengelolaan zakat seperti yang dimaksudkan Presiden akan menemukan bentuknya dalam lanskip law inforcement di Indonesia. Nantinya, kepercayaan masyarakat secara bertahap akan terus meningkat. Wa Allahu aqwami al-thariq

0 Comments:

Post a Comment

<< Home