Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

05 October 2006

Puasa Kaum Dhuafa

Menarik sekali kalau kita perhatikan realitas kaum dhuafa yang terus teguh menjalankan ibadah puasa. Padahal, mempunyai problem sosial-ekonomi yang berimplikasi bukan saja pada status hukumnya, tapi juga motifasi spiritual bagi dirinya. Kaum berpunya relatif kecil resiko sosial-ekonominya sehingga hukum wajibnya pun tidak bisa ditawar lagi. Plus melatih diri untuk merengguh kesalehan sosial dan keselehan individual (ahsanu taqwin) yang menjadi tujuan ibadah puasa itu sendiri.
Berbeda dengan kaum dhuafa yang rata-rata berfrofesi pekerja berat (kuli bangunan, tukang becak, kuli pelabuhan dll) yang kontras dengan ibadah puasa. Dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum sehari penuh, lebih dari cukup untuk menghambat penghasilan mereka.
Memang belum ada penelitian yang memadai untuk memotret keluh kesah kaum dhuafa dalam melaksanakan ibadah puasanya. Namun, Sudirman Teba (Sosiologi Hukum Islam, 2003) pernah melakukan survei pada beberapa tukang beca dan tukang ojek di Jakarta tentang puasa mereka. Sebagian besar menyatakan pada awal ramadhan mereka menjalan puasa, tetapi menjelang pertengahan mereka merasa tidak mampu lagi meneruskan puasanya.
Namun, lanjut Sudirman, ditemukan sejumlah kecil dari mereka yang tetap melaksanakan ibadah puasanya. Dari wajah mereka terlihat sinar iman dan semangat puasa yang teguh, tapi dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wajah mereka memperlihatkan tanda-tanda pucat dan mulutnya berbusa-busa.
Perintah puasa bagi mereka seperti dalam QS Al-Baqarah 2;183, ditujukan untuk menjadikan diri takwa. Sebagai medium mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka pun sadar itu sangat sulit dan terkadang menyulitkan orangg lain.
Implikasi Hukum
Hanya saja, QS Al-Baqarah 2:183 yang berisi perintah puasa, belum mereka pahami mengandung pengecualian bagi yang berat untuk melakukannya atau tidak sanggup untuk menjalankannya. Dalam ayat itu kebolehan tidak berpuasa itu dipadatkan dalam kalimat yuthîkunahu.
Ada sebagian ulama yang memberi arti orang yang sudah lanjut usia dan orang sakit dalam waktu yang lama sehingga tidak mampu melakukan puasa. Ibnu Abbas seperti dituturkan oleh Muhammad Ali al-Shabuni, tidak membatasi hanya pada orang lanjut usia dan orang sakit, tapi siapa saja yang berat menjalankan puasa boleh meninggalkannya, namun diharuskan membayar fidyah, yaitu memberi makan kapada orang miskin dan meng-qada; (mengganti) puasa bagi orang sakit ketika sembuh di luar ramadhan.
Dari pendapat Ibnu Abbas itu, kaum dhuafa mempunyai alasan hukum (illat) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Karena dalam ushul fiqh terdapat teori yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman’; hukum itu terkait erat dengan alasan hukum, wajib atau tidak. QS al-Baqarah 2:185 yang masih berbicara tentang puasa, dinyatakan; ‘Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’.
Memang dalam kitab-kitab fikih tidak ditemukan istilah kaum dhuafa seperti yang dituturkan di atas tadi. Hamat saya, kodifikasi fikih pada masa lampau belum berbeda realitas sosial-ekonomi dengan yang sekarang. Analogi kriteria kaum dhuafa, sepertinya menjadi pintu awal untuk menemukan hukum baru bagi kaum dhuafa mengenai puasa.
Secara sosiologis bisa dianalisis dari pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah yang menuturkan bahwa perubahan hukum itu terkait erat dengan waktu (azminah), tempat (amkinah) keadaan sosial-ekonomi (ahwal) dan motifasi subjek hukum (niyyah). Waktu itu, Ibn Qoyyim terinspirasi oleh perubahan sosial di daerah Andalusi yang dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tingkat respektasi perubahan sosial, karena imperium islam meluas ke wilayah Eropa yang berbeda dengan konteks para ulama-ulama sebelumnya.
Dalam konteks ini, pengambilan hukum dari sekian penemuan alasan hukum yang muncul karena perubahan sosial, menjadi sangat relefan. Kaum dhuafa yang notabene tidak cukup memadai untuk menjalankan puasa harus diberikan konklusi hukum yang kritis-argumentatif. Implikasi hukumnya, sebagian sampel dari penelitian Sudirman itu merupakan komunitas yang boleh meninggalkan ibadah puasanya.
Akan tetapi, pandangan ini sangat kondisional mengingat ukuran mampu dan tidaknya kaum dhuafa untuk berpuasa. Kemampuan ini jelas mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ini menjadi penting, kerana kriteria kaum dhufa yang sementara ini ada beragam. Ukurannya bisa dilihat dari resiko pekerjaannya (berat dan ringan), sehingga kondisi fisiknya juga berbeda.
Kaum dhuafa yang terbiasa ‘puasa’ karena secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya telah lemah atau dipaksa lemah mempunyai kriteria yang paling memungkinkan. Bagaimana mungkin mereka menjalankan puasa dengan kadar kalori sedikit, karena makan dan minum sehari-harinya saja kurang dari memadai.
Selanjutnya bagaimana kewajiban membayar fidyah, kalau saja mereka boleh meningglkan puasa. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang pria yang mengaku melakukan hubungan badan dengan istrinya di bulan ramadhan. Nabi bertanya: “Apakah kamu sanggup memerdekakan budah?”. “Tidak” jawabnya. “Apakah kamu kuat berpuasa dua bulan berturut-turut?”, tanya Nabi. “Tidak” imbuhnya. “Apakah kamu mempunyai makan untuk diberikan kepada 60 orang miskin?” masih ditanya nabi. “Tidak”, jawabnya. Kemudian Nabi memberi korma kepeda pria tadi sambil berucap: “Sedekahkan korma ini”. “Kepada siapa disedekahkan?, Kepada yang lebih miskin dari saya?, Demi Allah, tidak ada orang di kampung ini yang lebih membutuhkan makanan ini kecuali keluarga saya”. Maka Nabi tertawa dan berkata: “Pulanglah dan berikan korma itu kepada keluargamu”.
Dialog di atas, gambaran tidak wajibnya mengeluarkan fidyah bagi kaum dhuafa yang boleh meninggalkan puasanya itu. Meski demikian, bukan berarti tidak puasa sama sekali. Mereka tetap dituntut untuk berpuasa non fisik dengan melatih diri untuk menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa. Bukankan mengendalikan diri untuk tidak berbuat dosa merupakan inti puasa untuk menggapai kwalitas ketaqwaan dalam bepuasa?.
Hikmah Puasa
Sebenarnya makna strategis puasa yakni pengendalian diri, ditujukan bagi semua kelas sosial. Tapi sepertinya, pembahasan hikmah puasa lebih diarahkan bagi kelas sosial yang berkecukupuna. Misalnya dikatakan dengan menahan makan dan minum, orang terlatih untuk memantapkan jiwa, mengendorkan organ tubuh yang biasa mengkonsumi makanan dan untuk bisa merasakan penderitaan orang yang terpaksa ’puasa’ setipa hari, seperti yang dialami oleh kaum dhuafa.
Hikmah semacam ini jelas diadreskan pada kaum berkecukupan yang diintrogesi oleh egoisme duniwai setiap harinya. Bagi kaum dhuafa, hikmah itu tidak lagi relefan karena mereka belum tentu mendapatkan makan minum setiap harinya. Mereka terbiaa menahan makan dan minum setiap harinya. Sehingga menahan diri dari makan dan minum bukan lagi sebagai latihan, tetapi tuntuan keadaan; suka atau tidak suka harus mereka terima.
Kaum dhuafa yang oleh Farid Essak dilukiskan sebagai kaum yang tertindas secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sikap mereka yang tenang menghadapi kesulitan hidup bukan karena sabar, tetapi karena mereka menerima kemiskinan sebagai keniscayaan hidup yang tidak bisa ditolak, Tragisnya, mereka belum tentu sadar bahwa posisi mereka telah ditindas oleh struktur sosial yang ada di lingkungannya dan tidak mampu untuk meruntuhkannya.
Barangkali hikmah puasa bagi kaum dhuafa adalah menjelaskan bahwa penderitaan itu bukan suatu keniscayaan hidup yang harus diterima. Karenanya bisa ditanamkan kesadaran kepada mereka tentang harapan masa depan dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak atas nama kemanusiaan universal yang dijamin oleh konstitusi kita.
Penjelasan hikmah puasa yang diadreskan pada kaum berkecukupan tanpa transformasi pentingnya penderitaan kaum dhuafa nampaknya akan sia-sia. Puasa tidak lebih dari dogma yang meretas dalam kesalehan individual yang kering dari kosakatan kepedulian sosial. Padahal ditegaskan dalam QS Al-Maûn 107:3, bahwa keengganan memberi kepada kaum dhuafa merupakan satu indikasi mendustakan agama.
Walhasil, kaum dhuafa yang telah biasa ’berpuasa’ setiap harinya dalam bebarapa kondisi dapat meninggalkan puasa ramadhan. Dan kaum berpunya hendaknya mempunyai komitmen untuk membebaskan belenggu yang melilit kaum dhuafa. Dengan kepedulian sosial, hikmah puasa sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membebaskan beban derita kaum dhuafa, sehingga mereka diwajibkan berpuasa karena karena kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan bukan dengan beban hidup yang sulit mereka tanggulangi.

03 October 2006

Puasa dan Kesehatan

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Dan andai kalian memilih puasa tentulah itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 184).

Dua ayat di atas menggambarkan tentang kewajiban puasa dan manfaatnya. Kecuali kita mendapati maksud untuk menjadikan orang yang berpuasa bertaqwa, tapi juga manfaat di luar itu; seperti untuk kesehatan. Setidaknya kita juga mendapati hadits yang menyatakan ’shûmû tashihhû’ ; berpuasalah niscaya kalian akan sehat !.

Sesungguhnya puasa, setelah melalui berbagai penelitian ilmiah dan terperinci terhadap organ tubuh manusia dan aktivitas fisiologisnya menemukan bahwa puasa secara jelas adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh tubuh manusia sehingga ia bisa terus melakukan aktivitasnya secara baik. Dan puasa benar-benar sangat penting dan dibutuhkan bagi kesehatan manusia sebagaimana manusia membutuhkan makan, bernafas, bergerak, dan tidur. Maka manusia sangat membutuhkan hal-hal ini. Jika manusia tidak bisa tidur, makan selama rentang waktu yang lama maka ia akan sakit. Maka, tubuh manusia pun akan mengalami hal yang jelek jika ia tidak berpuasa.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasaa'i dari shahabat Abu Umamah:"Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku satu amalan yang Allah akan memberikan manfaat-Nya kepadaku dengan sebab amalan itu". Maka Rasulullah bersabda, "Berpuasalah, sebab tidak ada satu amalan pun yang setara dengan puasa".

Dan sebab pentingnya puasa bagi tubuh adalah karena puasa bisa membantu badan dalam membuang sel-sel yang sudah rusak, sekaligus sel-sel atau hormon atau pun zat-zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh. Dan puasa, sebagaimana dituntunkan oleh Islam adalah rata-rata 14 jam, kemudian baru makan untuk durasi waktu beberapa jam.

Ini adalah metode yang bagus untuk sistem pembuangan sel-sel atau hotmon yang rusak dan membangun kembali badan dengan sel-sel baru. Dan ini sangat berbeda dengan apa yang difahami kebanyakan orang, bahwa puasa menyebabkan orang menjadi lemah dan lesu. Puasa yang bagus bagi badan itu adalah dengan syarat dilakukan selama satu bulan berturut-turut dalam setahun, dan bisa ditambahkan 3 hari setiap bulan. hal ini sesuai benar dengan anjuran Rasulullah dalam sebuah haditsnya: ’Siapa yang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka itu sama dengan puasa dahr (puasa sepanjang tahun)’.

Kalau memakai analisis matematika Al-Qurkan, kita akan menemukan relefansinya dengan firmanNya: ’Barangsiapa yang beramal dengan satu perbuatan baik, maka Allah memberikan kepadanya 10 kali lipat dari amalan itu’ (QS Al-An’âm : 160) . Nah, satu hari dihargai 10 hari oleh Allah, maka 3 hari dihargai 30 hari, dan bila 3 hari setiap bulan maka menjadi 36 hari. Dan ini senilai dengan 360 hari atau satu tahun dalam penghargaan Allah.

Karenanya, berpuasa kecuali dengan menargetkan kwalitas ketakwaan yang bersifat kosmis juga kwalitas kesehatan yang bersifat fisik. Manfaat itu bagaikan dua mata koin dari puasa yang kita lakukan sebulan penuh itu. Semoga

Dimuat di republika 29 September 2006

Jilbab itu khilafiyyah

Reportase acara bedah buku jilbab karya m. quraish

Alhamdulilah, bedah buku jilbab telah terlaksana dengan baik, pada pukul 09.30. – 11.30 Kamis, 21 September 2006 di Ruang Serbaguna Pusat Studi Al-Quran, Ciputat. Para pembicaranya terdiri dari Prof. Dr. Quraish Shihab, MA (Penulis Buku, Direktur PSQ), Kang Jalal, Dr Eli Maliki, dan Adian Husaini.
Peserta yang hadir sampai ada yang berdiri karena kursi yang kami sediakan sudah penuh terisi; kira-kira semua peserta berjumlah 250 orang. Bahkan ada yang sengaja datang dari luar kota; Cilegon, Bogor, dan Bandung yang sengaja datang untuk mengetahui secara langsung presentasi buku jilbab.
Acara dipandu oleh Dr. Muchlish M. Hanafi, doktor konsentrasi tafsir hadits dari Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Pembicara pertama, tentu saja M. Quraish Shihab yang tetap berpendirian bahwa masalah jilbab adalah khilafiah, sehingga implikasi hukumnya hanya dianjurkan bagi kalangan muslim. Tapi, imbuhnya, ’bukan berarti yang sudah berjilbab boleh menanggalkannya hanya karena buku ini’.
Sementara Kang Jalal menyoroti kapan waktu tepat untuk menanggalkan jilbab, dengan analisis ayat yang mendukung status hukum jilbab lewat kajian ushul fikih; dharurat dapat menggugurkan kewajiban penggunaannya. Ia tidak lupa mencontohkan anaknya yang tinggal di Amerika, yang telah menanggalkan jilbabnya karena intimidasi sosial-politik pasca tragedi 11 september.
Lain lagi dengan Dr Eli Maliki, yang menetapkan hukum Jilbab sudah jelas dalam al-Quran, dengan kewajiban menutup seluruh aurat kecuali wajah dan telapak kaki. Kalaupun ada dharurat tetap melihat batas kewajaran. Mengingat banyak alasan yang tidak proporsional ketika banyak orang dengan gampang menanggalkan jilbabnya.
Adian Husaini lebih menyoroti sisi sosiologi dakwah dari kesan orang atas pendirian M. Quraish Shihab yang seolah-olah membolehkan wanita muslimah untuk tidak berjilbab. Karena menurutnya, M. Quraish Shihab telah janggal menetapkan hukum jilbab sebagai khilafiah yang berbeda dengan arus dominan ulama klasik. Kecuali itu, status anjuran yang akan mengukuhkan anggapan bahwa berjilbab pun belum tentu terhormat.
Demikian laporang sederhan acara bedah buku.
msadili.blogspot.com