Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

29 July 2006

Mimpi Syariat Islam

Problem penegakan Syariat Islam secara umum terletak pada konflik tradisional antara Syariat (baca Wahyu-Nya) dan karakteristik fikih (Penafsiran ulama) yang telah berurat akar dalam lintas sejarah peradaban Islam. Mana yang bersifat permanen dan mana yang bersifat dinamis untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Lebih dari itu tradisi tajdid (pembaharuan) dalam pembukuan fikih terlihat merosot dengan hanya penyempurnaan (sarah terhadap mataan) dari karya-karya ulama sebelumnya. Akhirnya fikih dipandang sebagai satu rumusan mutlak yang terhimpun dalam empat aliran pokok.

Karenanya, tak jarang tranformasi fikih dari generasi ke generasi hanya dimotivasi untuk menjaga warisan intelektual saja, tanpa menorehkan sikap-sikap kritis untuk mereformulasi kembali hukum-hukumnya. Ia dipahami secara simbolik dari tafsiran Syariat sebagai wahyu-Nya yang telah dilakukan oleh ulama ‘alim serta sholih, dan menurut keyakinannya tidak bisa dilihat secara substantif untuk kemudian dikritisi dan direkontruksi menjadi tafsiran-tafsiran baru.

Identifikasi Masalah

Untuk melihat prospek penegakan syariat Islam, bisa dibantu dengan tiga pendekatan; (1) dauru al-tasyr’i yaitu masa turunnya wahyu kepada nabi Muhammad, (2) dauru al-tadwin yaitu masa pembukuan kitab-kitab fikih, dan (3) dauru al-taqniin, yakni masa pembukuan fikih sebagai norma yang berjalan/mentradisi dan menjadi hukum cita-cita (iusconstituendum), sehingga dapat diintegrasikan ke dalam sistem hukum modern (iusconstitutum).

Menurut saya, problematika penegakan Syariat Islam di Indonesia, dapat dimasukkan ke dalam point kedua dan ketiga. Pada tipikal yang ke-2, diharapkan dapat lahir karya-karya baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan peradaban. Dus, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penegakan Syariat Islam dalam konstitusi dan perundangan modern.

Konstitusionalisasi Syariat Islam pernah diyakinkan oleh ulama asal Andalusia ; Ibu Qoyyim al-Jauzziyah (1977) ketika Syariat Islam berada dalam arus pembentukan hukum positif di spanyol. Dia mengatakan bahwa pemberlakuan Syariat (hukum) Islam terhubung erat dengan waktu (azminah), tempat (amkinah), perkembangan masyarakat (ahwal), dasar-dasar etika kemanusiaan (al-‘awaid) dan agregasi kepentingan (niyah) yang berkembang pada masyarakat.

Dengan kata lain akan lahir “rasa keadilan” masyarakat yang tidak rigid dan mendekatkannya dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Empat katalisator dari Ibnu Qoyyim di atas, akan menakar perumusan, pengesahan, dan pelaksanaan Syariat Islam. Seperti ungkapan Gorden Howar seorang lawyer Inggris,“Justice should not only be done, but should manifesty an undoubtedly be seen to done”, (keadilan bukan hanya harus ditegakkan, tapi juga musti dapat dilihat, dirasakan, dan dimengerti oleh masyarakat bahwa memang benar-benar akan ditegakkan).

Kalangan elit politik muslim yang berusaha menegakkan Syariat Islam, bisa mencapainya dengan, Pertama : Syariat (hukum) Islam sebagai produk dari zaman yang berbeda dan harus direforumulasi untuk waktu yang sekarang. Kedua : letak giografis wilayah Indonesia akan berbeda dengan unsur-unsur giografis dimana itu pernah dibukukan. Ketiga : pluralitas etnis dan budaya Indonesia tidak mungkin dilepaskan. Keempat: agregasi kepentingan yang berkembang dalam perumusan, pengesahan, dan pelaksanaannya dalam sistem hukum nasional tidak bisa ditakar, bahwa itu sebuah konspirasi anti-Islam.

Jalan Keluar

Dalam penegakan Syariat Islam ada beberapa kerangka filosofis aspek-aspek mendasar dari kehidupan manusia. Ini lebih dikenal dengan maqasidu al-Syariat (tujuan ditetapkan hukum Islam) yang bisa diklasifikasikan menjadi, pengakuan akan keragaman keyakinan/agama (hirzu al-din), menjadikan pluralitas pemahaman masyarakat sebagai acuan (hirzu al-‘aql), menjaga hak setiap individu atas hidup dan kehidupan (hirzu al-nafs), mengakui ragam etnis dan suku bangsa (hirzu al-nasl), dan menjaga harta yang dimiliki oleh setiap individu (hirzu al-maal) (al-Muwafaqât, al-Syatibi :1978).
Selanjutnya, setiap individu dapat menuangkan aspirasinya dalam proses konstitusionaliasi Syariat Islam. Jika aspirasinya berkata lain, maka jangan diselesaikan dengan cara-cara repsesif; bahwa individu/kelompok yang menentang dicap sebagai warga yang tidak mentaati Syariat Islam. Karena pada saat yang bersamaan, aspek fungsional dari Syariat (hukum) Islam itu, kerap kali mempunyai bentuk dan corak yang berbeda karena perbenturan waktu, tempat, keadaan, dan motivasi.

Formulasi hukum di dalam teori ushul fikih diposisikan sebagai respon dari sebab-sebab (al-illah), bahwa : “al-hukmu yaduru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman” (hukum itu akan berjalan sesuai dengan sebab-sebab yang ada pada masyarakat).
Dukungan atas penegakan Syariat Islam, harus berangkat dari bawah (buttop up) bukan saja dengan otoritas politik dan atau kekuatan lainnya yang bersifat elitis (top down). Cara pendekatan rekayasa sosial (social enggenering), pada kesempatan berikutnya tidak akan bermuara pada substansi Syariat Islam yang responsif. Apa yang diinginkan dari proses pembuatan sistem hukum yang demokratis dan berkeadilan tidak akan pernah tewujudkan.

Tidak jarang ditemukan dalam produk hukum publik yang biasa menyeret kelompok oposisi sebagai pihak yang menentang penguasa, padahal sama-sama mempunyai basis penafsiran terhadap Syariat Islam. Persepsi aliansi utara di Afganistan tentang langgam otoritarianisme rezim taliban semasa berkuasa, merupakan bukti mutakhir dari corak produk Syariat Islam yang cendrung represif.

Saya setuju pada almarhum Dr. Satria Effendi Zein (1995) yang menuturkan bahwa selain di bidang ibadah mahdhah, Syariat Islam bukan sengaja membawa rincian tentang aturan kehidupan sosial, tatapi membawa ajaran-ajaran berupa pesan-pesan moral, prinsip-prinsip umum, dan ajaran-ajaran pokok yang bersifat universal. Misalnya, berlaku adil, berkata jujur, dilarang mengambil hak orang lain, berzina, mabuk, judi, dan lainnya. Ajaran inilah yang dipadatakan oleh para ulama-ulama ushul fikih dengan istilah mashlahah, bersifat abadi, tidak akan berubah dan tidak dapat dirubah.

Sebagai penutup, penegakan Syariat Islam di Indonesia sebenarnya bisa dimulai dengan reformulasi dalam sistem, format, dan bahasa perundangan-undangan modern yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Dan tidak dikaburkan dengan konflik simbolik yang kontra produktif. Saya kira, tanpa dikatakan secara jelas dengan simbol Islam pun, secara substantif penegakan Syariat Islam dalam sistem hukum nasional tidak mustahil untuk dilakukan. Wa allahu ‘alam bi al-shawab

1 Comments:

Post a Comment

<< Home