Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

31 July 2006

Benang Merah Zakat dan Civil Society

Pengelolaan zakat di tanah air selama ini sebenarnya menyimpan benih penguatan civil society. Pasca kehadiran beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ), program-program pemberdayaan masyarakat telah banyak yang digulirkan. Out put-nya pun telah menciptakan kemandirian umat, karena pengelolaan zakat yang dilakukan tidak tergantung pada peran pemerintah. Pengelolaan zakat oleh LAZ, hadir dari muzakki untuk para mustahik atas inisiasi para amil yang inofatif, kreatif, amânah, pathânah, dan profesional. Mereka adalah entitas yang berada di luar struktur negara, tapi peran dan eksistensinya telah membantu --bahkan mengambil-- beberapa peran negara dalam merealisasikan kemakmuran bagi warganya.

Sejak zaman penjajahan Belanda, menurut Aqib Suminto (Politik Islam Hindia Belanda, 1985), kas masjid yang nota bene diambil lewat institusi ZIS, telah mempunyai andil besar terhadap kemajuan masyarakat. Pendayagunaannya pun, bersifat lintas agama dengan dasar kemashlahatan rakyat Indonesia. Eksistensinya seolah berhadapan secara diametral dengan politik kolonial Belanda yang berusaha menjinakkan elan fital zakat, lewat penasehat riligiusnya, Snouck Hurgronje, dengan pengawasan kas masjid. Inilah yang dapat kita baca sebagai benih kemandirian wilayah terjajah lewat jangkar karitas (Islamic Phylantropis), dalam upaya menghadapi penindasan kaum kolonial.

Setelah masa kemerdekaan, regulasi yang dikeluarkan meliputi Permenag No. 4 Th. 1968 tentang Badan Amil Zakat, Momerendum 11 Alim Ulama 1968 tentang Soeharto sebagai Amil Nasional, Instruksi Menag No. 16 Th 1989 Tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah, SKB Menag dan Mendagri No. 19 Maret 1991 tentang pembinaan BAZIS dan ditutup dengan diundangkannya UU. No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

Proses kelahiran Undang-undang zakat ini, dengan dasar riset Arskal Salim GP (Politik Zakat Orde Baru, Puslit UIN Jakarta, 1999), berawal dari kepedulian politisi muslim untuk mengurus masalah zakat agar berhasil-guna untuk kamakmuran rakyat Indonesia. Menariknya, dalam batas-batas tertentu, Arskal menganalisis indikasi kuat atas politisasi agama oleh rezim yang berkuasa ketika diurai dengan premis 'relasi agama dan negara' yang ternyata masih terasa canggung. Akhirnya, seperti yang kita diduga, bahwa klausul UU No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat menyimpan problem tidak ringan dalam implementasinya.

Dalam UU. No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, relefansi zakat dengan civil society terakam dalam pasal 6 tentang Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atas inisiasif masyarakat dan untuk kesejahteraan masyarakat. Jumlah dan trobosan programnya terus meningkat seiring dengan kemajuan manajemen zakat yang dirintis oleh para amil profesional. DD Republika hadir dengan kepedulian media atas realitas kemiskinan, PKPU yang lahir karena empati bencana alam, YDSF Surabaya lewat spirit komunalitas masjid Al-Falah-nya. Ketiganya adalah sebagian dari bukti otentik tentang adanya dialektika zakat dan civil society.

Beberapa LAZ itu merupakan entitias yang berada di luar negara dan bersifat otonom dalam hal pendanaan dan operasioanlisasi lembaga. Peran negara memang tetap dibutuhkan, meski sebatas pembuatan regulasi dan registrasi lembaga agar accountable, profesional, dan transparan. Bentuknya berupa proses pengukuhan, legalitas bukti setor zakat kaitannya dengan pengurang penghasilan kena pajak (tax deductable), pemberian sanksi atas penyelewengan dana oleh Amil Zakat dengan delik korupsi, dan pencabutan izin beroperasi lembaga manakala tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Eksistensi LAZ ini sangat mengandalkan suntikan dana dari masyarakat yang dikemas melalui penawaran program. Dapat dipastikan jika masyarakat tidak berperan, sebuah LAZ tidak akan berumur lama. Karena sejak awal dibangun lewat pilar swadaya dan kepercayaan masyarakat. Ia ibarat klien dari patron besar, yakni sebuah komunitas di luar negara. Dialektika patron-klien ini sepertinya akan terus bertahan, mengingat secara embriorik LAZ itu hadir dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Konsolidasi Institusional

Dalam batas tertentu menjamurnya LAZ tersebut, melahirkan apa yang kemudian diistilah oleh Eri Sudewo (2001), Funding Father DD Republika, sebagai ‘geger manajemen pengelolaan’ zakat yang bertitik tolak dari program kemanusiaan. Setidaknya sektor pendidikan lewat program beasiswa, pelayanan kesehatan cuma-cuma, penanggulangan korban bencana alam/perang, pinjaman lunak untuk kaum duafa, dan pembangunan sarana sosial masyarakat telah dijamah oleh peran LAZ. Belum lagi dikaitkan dengan pengembangan ekonomi mikro yang belakangan mulai dikerjakan oleh LAZ. Semua itu merupakan bukti, bahwa relevansi zakat dengan civil society terasa getarannya ketika Lembaga Amil Zakat hadir.

Hanya saja, realitas yang menggembirakan ini memerlukan konsolidasi institusional yang terencana dan terarah. Beberapa LAZ yang hadir dan berkembang, dengan mengutip analisis ketua YDSF Surabaya Ahmad Hawi (2004), akan berhadapan dengan harapan mustahik-muzakki (baca masyarakat) yang ia ibaratkan seperti matrik ukuran yang terus naik. Kalau saja pada satu saat, satu LAZ terlihat redup berkaitan dengan eksperimentasi program yang mengandung resiko coba dan salah itu, maka kepercayaan yang diberikan bisa jadi menurun. Satu saat, lanjut Hawi, akan terjadi dimana yang satu redup dan yang satunya lagi tetap terang benderang.

Dalam konteks ini, kepercayaan masyarakat sebagai pilar civil society menjadi dilema bagi eksistensi LAZ. Indikasi ini mengingatkan kita pada rapuhnya sistem kepercayaan akan berbanding lurus dengan kelanjutan dan keberdayaan sebuah institusi-institusi yang hadir dalam masyarakat. Betapapun idealnya konsep kemandirian yang ditawarkan civil society, tetap mempunyai resiko coba-salah yang cukup signifikan. Ini terjadi manakala institusi tersebut, dilanda krisis konsolidasi yang pada gilirannya menyebabkan turunnya kepercayaan publik.

Modernisasi Pengelolaan Zakat

Problem konsolidasi tersebut telah lama menjadi pembahasan serius para pakar ilmu sosial, manakala konsep civil society ini ditawarkan dan mendapat apresiasi yang beragam. Paling tidak terletak pada basis tradisional masyarakat Indonesia yang kurang bersahabat dengan framework manajemen modern yang berasaskan akuntabilitas dan profesionalitas. Proses penyadaran ini memang memerlukan usaha yang intensif, agar relefansi zakat dengan civil society membuahkan hasil yang maksimal.
Saya kira, peran akuntan publik yang hadir berkaitan dengan optimalisasi pengelolaan zakat harus tetap dipertahankan. Selama ini, kita menangkap kesan bahwa akuntabilitas pendayagunaan zakat yang hadir di masyarakat --di langgar, masjid, dan organisasi kemasyarakatan lainnya—diselesaikan lewat mekanisme yang sebisanya. Kecuali hal itu disebabkan oleh sifat pengelolaan zakat yang musiman dengan 'kerja amil yang sambilan', juga oleh keberadaan dana zakat yang masih dilihat sebelah mata oleh sementara kalangan.

Padahal kalau diperhatikan, amanatan KH Didin Hafiduddin (Republika, 27/11/2001) atas potensi dana zakat di tanah air sebesar 7,6 triliun per tahun. Ini di luar dana wakaf, infak, dan shadaqah. Pada tahun 1999, jumlah itu baru bisa diraup sekitar 4 miliar. Jadi hampir separoh lebih yang sebenarnya bisa diraup. Rasio pendapatan dana zakat, lanjut Didin, akan berbanding lurus dengan mekanisme yang dibentuk oleh LAZ dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Jika ini naik, maka rasio pendapatan akan naik. Kalau turun jangan diharap akan ada kenaikan.
Inilah yang dapat kita baca bahwa menjamurnya LAZ, pada satu sisi merupakan penemona yang menggembirakan berkaitan dengan civil society. Akan tetapi pada sisi yang lain menyisakan pekerjaan serius untuk menumbuhkan dan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat. Kendala ini harus diantisipsi sedini mungkin, agar tidak terperangkap pada krisis kepercayaan masyarakat.

Adalah proses modernisasi terhadap pengelolaan zakat dalam UU No. 38/1999, yang bisa dijadikan pijakan oleh beberapa LAZ. Pertama : institusionalisasi Zakat dengan pasal 6 dan 7, ditentukan bahwa masyarakat dapat membuat Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan pemerintah dengan semua jajarannya dapat membuat Badan Amil Zakat (BAZ). Dengan ini, secara matang dan terencana pembentukan Organisasi Pengelola Zakat (LAZ/BAZ) menganut asas demokratisasi yang dimungkinkan terjadinya menejemen pengelolaan yang rapih dan legitimate.

Kedua : pengawasan pengelolaan dijabarkan menjadi peran akuntan publik (pasal 18), laporan tahunan kepada DPR/D (pasal 19), pengelolaan diletakkan dalam ruang publik yang memadai (pasal 20), dan pemberian sanksi pidana penjara tiga bulan serta denda 30 juta untuk tindakan korupsi dalam pengelolaan zakat (pasal 21).
Ketiga : pendayagunaan dana zakat pada preambul “Menimbang” huruf b, lebih didasarkan pada aspek penarikan zakat --dari orang-orang yang kena wajib zakat— untuk golongan ekonomi lemah. Alokasi dana zakat, biasanya bersifat langsung untuk fakir-miskin (cherity) dan berbentuk “dana produktif” bagi sektor ekonomi real.

Menurut hemat saya pijakan-pijakan tersebut mengandung prinsip-prinsip akuntabilitas dan profesinalitas dalam pengelolaan zakat. Jika ini dijalankan, secara ekternal LAZ akan berhasil menumbuhkan dan sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat yang mana akan jadi modal utamanya. Selanjutnya secara internal akan ada peningkatan kwalitas manajemen pengelolaan di masa mendatang. Sehingga, relefansi zakat dengan civil society dapat mencapai targetnya, yakni masyarakat berkeadilan yang makmur dan yang lebih penting berkemakmuran yang adil. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home