Meneguhkam Misi Kemanusiaan Zakat
Dalam bukunya yang terkenal dan mengalami sampai lima kali cetak, DR. Alwi Syihab menuturkan tentang korelasi kuat antara institusi zakat dan upaya pengentasan kemiskinan (Islam Inklusif, Cet ke-5, Mizan, Bandung, 1999). Dia mengutip QS Al-Taubah 9 : 60, yang menentukan beberapa golongan masyarakat yang menjadi mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Dari penelusurannya akan ayat itu, disimpulkan bahwa sasaran zakat kepada para fakir-miskin dan tidak berkecukupan serta menanggung utang merupakan manifestasi dari social welfare (kesejahteraan sosial) dengan mengatur distribusi penghasilan dan kekayaan. Dengan berzakat menurutnya, hendak diwujudkan pemerataan penguasaan akan sumber daya ekonomi dan tidak terpusatkan pada sebagian kelompok tertentu saja.
Jika diselesik, institusi zakat merupakan responsibilitas Islam akan problem kemananusiaan universal. Secara individual seseorang akan dibersihkan (tutharrihum) dari sikap boros dan kikir, lebih dari itu untuk menata sistem ekonomi yang kuat (watuzakkiihim) agar terhindar dari sistem oligopoli dan monopoli (QS 9 : 103). Islam menurut Kontowijoyo, adalah agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (theosentrik), namun mempunyai korelasi kuat dengan arus balik persoalan-persoalan sosial (humanisme) yang melingkupi masyarakat (Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998).
Lanskip theosentrik-humanisme, menurutnya, telah menempatkan institusi zakat bukan semata motivasi ayat-ayat dalam al-Quran sebagai turunan dari kehendak-Nya, akan tetapi secara mendasar terkandung di dalamnya akan upaya pengentasan kemiskinan agar tercipta kehidupan yang layak dan berkeadilan. Ia bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan salah satu dari lainnya. Sehingga, bagi seorang muslim zakat merupakan donasi yang mempunyai nilai ritus dan sosial sekaligus.
Kesalehan Sosial
Seorang muslim yang mengkonsentrasikan dirinya hanya pada ibadah yang bersifat individual, sebenarnya tidak akan meraih status optima forma, yakni ketakwaan yang selalu diinformasikan sebagai prestasi bagi umat yang taat. Hal ini sebagaimana seringkali ditekankan oleh cendekiawan muslim DR. Nurcholish Madjid, yang menyitir surat al-Maun ayat 1-3 sebagai penolakan dari kesalehan individual yang tidak memperdulian akan misi kemanusiaan secara universal (30 Sajian Rohani, Mizan, Bandung, 1998).
Kesalehan sosial sangat klop dengan kampanye pengentasan kemiskian yang digembar-gemborkan di media cetak dan atau elektronik. Dengan kata lain, menurut bahasa Kontowijoyo, berzakat merupakan pembelaan akan kelas mustad’afin (tertindas). Progresifitas zakat terletak pada pembebasan kelompok masyarakat yang secara ekonomi, politik, sosial, dan kultural telah tertindas oleh kelompok dzalim (korup) yang diduga kuat sengaja atau tidak telah dan akan menciptakan ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi.
Dengan kesalehan sosial, sistem ekonomi yang diproyeksikan oleh institusi zakat adalah sistem yang sehat secara sosial dan menjauhkan dari penumpukan harta oleh sebagian kelompok tertentu. Sistem ekonomi yang timpang kerapkali menimbulkan kesenjangan ekonomi pada struktur kehidupan masyarakat. Di Indonesia, kecendrungan akan hal itu sering diistilahkan dengan “Kemisikinan Struktural”.
Pada kondisi ini, golongan ekonomi lemah seringkali sulit mengakses sumber daya ekonomi, meskipun mereka mempunyai kemampuan dan keinginan ke arah itu. Karena pada saat yang bersamaan sistem ekonomi yang tersedia, memaksa dirinya untuk terus menerus menjadi miskin !. Mereka sebagai entitas yang stagnan dan pasif karena struktur kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungannya, tidak menyediakan ruang yang memadai bagi dirinya,
Pengentasan Sistemik
Kemiskinan dalam kondisi sedemikian mempunyai corak dan sifat yang kompleks. Para fakir-miskin dalam struktur sosial, terpaksa menjadi kemunitas yang lemah ketika berhadap-hadapan dengan kepentingan kelompok yang lebih kuat secara ekonomi dan politik. Tak pelak lagi, kecuali penyelesaian yang dilakukan dengan distribusi langsung sebagai bentuk charity, juga dengan pengentasan secara sistemik yang menyentuh akar persoalan dari sebuah kemiskinan. Kalau tidak, malah melestarikannya!.
Distribusi zakat pada sektor produktif, kelihatannya merupakan mekanisme yang efektif dalam menata kembali sistem ekonomi yang secara mendasar telah melahirkan ribuan rakyat miskin. Dengan demikian, akan menciptakan sistem ekonomi yang memberikan penguasaan akan sumber daya ekonomi pada perseorangan dan atau kelompok yang sehat dan berkeadilan.
Dalan setiap harta yang dimiliki terkandung di dalamnya bagian fakir-miskin. Jika tidak dibersihakan, akan membuatnya bathil dan disinyalir akan mendatangkan kerugian. Begitu juga, secara kasat mata struktur penguasaan akan sumber daya ekonomi menghasilkan kesetaraan peran pada sektor produksi dan distribusinya. Sehingga, secara imaniyah harta itu suci serta halal untuk dikonsumsi dan secara sosial ia memancarkan hubungan ekonomi yang sehat.
Zakat merupakan simbol dari fiscal policy sebagai sarana pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menciptakan mekanisme yang bersifat built-in untuk tujuan pemerataan penghasilan dan kekayaan. Di samping itu ketentuan zakat berupa prosentase dari nishab dan bukan jumlah uang tertentu, juga menunjukkan betapa sistem ini tidak akan terpengaruhi oleh krisis ekonomi. Seperti halnya di Malaysia yang berhasil menjadikan dana zakat sebagai katup pengaman (savety valve) dari terpaan krisis ekonomi dan tidak bergantung pada bantuan dari IMF.
Egaliterianisme
Di tengah rakyat Indonesia yang masih terkungkung oleh “kemiskinan struktural” maka penghilangan oligopoli dan monopoli akan ditengarai oleh institusi zakat. Pergerakan kelas yang hendak diemban dengan institusi zakat adalah membebaskan kelas lemah dari ketertindasan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam maknanya yang luas. Karena institusi zakat tidak berhenti pada tataran normatif yang disinyalir akan melahirkan sikap sosial yang profan, akan tetapi pada tataran obyektif-empiris yang
diproyeksikan untuk meraih egaliterianisme dalam setiap tindakan ekonomi.
Kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugrahkan Tuhan, mendapat perhatian yang serius. Karena, ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam yang mempunyai nilai ritual dan sosial. Jika, secara syariah keberadaan dan pemanfaatan harta diradang masalah dan tidak menanggung kesejahteraan sosial maka seorang muslim diwajibkan untuk tidak memanfaatkannya.
Perbedaanya dengan pergerakan kelas Marxisian, institusi zakat tidak menghendaki diktator proletariat dan merampas hak kaum berjuis untuk menciptakan kesetaraan dan memasung hak individu dalam upaya meraih keutamaan dalam aktifitas ekonomi. Institusi zakat mengemban pembebasan kelas yang berorientasikan pada kesehatan harta dan pengakuan atas prestasi setiap individu. Sehingga setiap orang boleh mengerahkan segala usahanya, asal saja mengakui urgensi pengentasan kemiskinan.
Sebagai penutup, dengan institusi zakat, ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi yang akan melahirkan kemiskinan akan direduksi secara bertahap. Namun, ia tidak bermaksud menciptakan pergerakan kelas yang mengancam kelas-kelas sosial lain yang lebih tinggi hak penguasaannya akan sumber daya ekonomi. Ia berangkat dari pembelaan kepentingan kelas mustad’afin dengan tetap menghormati usaha keras setiap individu dan atau kelempok masyarakat untuk mendapatkan keutamaan harta. Wa Aaalahu ‘alam bi al-shawab
Jika diselesik, institusi zakat merupakan responsibilitas Islam akan problem kemananusiaan universal. Secara individual seseorang akan dibersihkan (tutharrihum) dari sikap boros dan kikir, lebih dari itu untuk menata sistem ekonomi yang kuat (watuzakkiihim) agar terhindar dari sistem oligopoli dan monopoli (QS 9 : 103). Islam menurut Kontowijoyo, adalah agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (theosentrik), namun mempunyai korelasi kuat dengan arus balik persoalan-persoalan sosial (humanisme) yang melingkupi masyarakat (Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998).
Lanskip theosentrik-humanisme, menurutnya, telah menempatkan institusi zakat bukan semata motivasi ayat-ayat dalam al-Quran sebagai turunan dari kehendak-Nya, akan tetapi secara mendasar terkandung di dalamnya akan upaya pengentasan kemiskinan agar tercipta kehidupan yang layak dan berkeadilan. Ia bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan salah satu dari lainnya. Sehingga, bagi seorang muslim zakat merupakan donasi yang mempunyai nilai ritus dan sosial sekaligus.
Kesalehan Sosial
Seorang muslim yang mengkonsentrasikan dirinya hanya pada ibadah yang bersifat individual, sebenarnya tidak akan meraih status optima forma, yakni ketakwaan yang selalu diinformasikan sebagai prestasi bagi umat yang taat. Hal ini sebagaimana seringkali ditekankan oleh cendekiawan muslim DR. Nurcholish Madjid, yang menyitir surat al-Maun ayat 1-3 sebagai penolakan dari kesalehan individual yang tidak memperdulian akan misi kemanusiaan secara universal (30 Sajian Rohani, Mizan, Bandung, 1998).
Kesalehan sosial sangat klop dengan kampanye pengentasan kemiskian yang digembar-gemborkan di media cetak dan atau elektronik. Dengan kata lain, menurut bahasa Kontowijoyo, berzakat merupakan pembelaan akan kelas mustad’afin (tertindas). Progresifitas zakat terletak pada pembebasan kelompok masyarakat yang secara ekonomi, politik, sosial, dan kultural telah tertindas oleh kelompok dzalim (korup) yang diduga kuat sengaja atau tidak telah dan akan menciptakan ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi.
Dengan kesalehan sosial, sistem ekonomi yang diproyeksikan oleh institusi zakat adalah sistem yang sehat secara sosial dan menjauhkan dari penumpukan harta oleh sebagian kelompok tertentu. Sistem ekonomi yang timpang kerapkali menimbulkan kesenjangan ekonomi pada struktur kehidupan masyarakat. Di Indonesia, kecendrungan akan hal itu sering diistilahkan dengan “Kemisikinan Struktural”.
Pada kondisi ini, golongan ekonomi lemah seringkali sulit mengakses sumber daya ekonomi, meskipun mereka mempunyai kemampuan dan keinginan ke arah itu. Karena pada saat yang bersamaan sistem ekonomi yang tersedia, memaksa dirinya untuk terus menerus menjadi miskin !. Mereka sebagai entitas yang stagnan dan pasif karena struktur kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungannya, tidak menyediakan ruang yang memadai bagi dirinya,
Pengentasan Sistemik
Kemiskinan dalam kondisi sedemikian mempunyai corak dan sifat yang kompleks. Para fakir-miskin dalam struktur sosial, terpaksa menjadi kemunitas yang lemah ketika berhadap-hadapan dengan kepentingan kelompok yang lebih kuat secara ekonomi dan politik. Tak pelak lagi, kecuali penyelesaian yang dilakukan dengan distribusi langsung sebagai bentuk charity, juga dengan pengentasan secara sistemik yang menyentuh akar persoalan dari sebuah kemiskinan. Kalau tidak, malah melestarikannya!.
Distribusi zakat pada sektor produktif, kelihatannya merupakan mekanisme yang efektif dalam menata kembali sistem ekonomi yang secara mendasar telah melahirkan ribuan rakyat miskin. Dengan demikian, akan menciptakan sistem ekonomi yang memberikan penguasaan akan sumber daya ekonomi pada perseorangan dan atau kelompok yang sehat dan berkeadilan.
Dalan setiap harta yang dimiliki terkandung di dalamnya bagian fakir-miskin. Jika tidak dibersihakan, akan membuatnya bathil dan disinyalir akan mendatangkan kerugian. Begitu juga, secara kasat mata struktur penguasaan akan sumber daya ekonomi menghasilkan kesetaraan peran pada sektor produksi dan distribusinya. Sehingga, secara imaniyah harta itu suci serta halal untuk dikonsumsi dan secara sosial ia memancarkan hubungan ekonomi yang sehat.
Zakat merupakan simbol dari fiscal policy sebagai sarana pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menciptakan mekanisme yang bersifat built-in untuk tujuan pemerataan penghasilan dan kekayaan. Di samping itu ketentuan zakat berupa prosentase dari nishab dan bukan jumlah uang tertentu, juga menunjukkan betapa sistem ini tidak akan terpengaruhi oleh krisis ekonomi. Seperti halnya di Malaysia yang berhasil menjadikan dana zakat sebagai katup pengaman (savety valve) dari terpaan krisis ekonomi dan tidak bergantung pada bantuan dari IMF.
Egaliterianisme
Di tengah rakyat Indonesia yang masih terkungkung oleh “kemiskinan struktural” maka penghilangan oligopoli dan monopoli akan ditengarai oleh institusi zakat. Pergerakan kelas yang hendak diemban dengan institusi zakat adalah membebaskan kelas lemah dari ketertindasan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam maknanya yang luas. Karena institusi zakat tidak berhenti pada tataran normatif yang disinyalir akan melahirkan sikap sosial yang profan, akan tetapi pada tataran obyektif-empiris yang
diproyeksikan untuk meraih egaliterianisme dalam setiap tindakan ekonomi.
Kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugrahkan Tuhan, mendapat perhatian yang serius. Karena, ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam yang mempunyai nilai ritual dan sosial. Jika, secara syariah keberadaan dan pemanfaatan harta diradang masalah dan tidak menanggung kesejahteraan sosial maka seorang muslim diwajibkan untuk tidak memanfaatkannya.
Perbedaanya dengan pergerakan kelas Marxisian, institusi zakat tidak menghendaki diktator proletariat dan merampas hak kaum berjuis untuk menciptakan kesetaraan dan memasung hak individu dalam upaya meraih keutamaan dalam aktifitas ekonomi. Institusi zakat mengemban pembebasan kelas yang berorientasikan pada kesehatan harta dan pengakuan atas prestasi setiap individu. Sehingga setiap orang boleh mengerahkan segala usahanya, asal saja mengakui urgensi pengentasan kemiskinan.
Sebagai penutup, dengan institusi zakat, ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi yang akan melahirkan kemiskinan akan direduksi secara bertahap. Namun, ia tidak bermaksud menciptakan pergerakan kelas yang mengancam kelas-kelas sosial lain yang lebih tinggi hak penguasaannya akan sumber daya ekonomi. Ia berangkat dari pembelaan kepentingan kelas mustad’afin dengan tetap menghormati usaha keras setiap individu dan atau kelempok masyarakat untuk mendapatkan keutamaan harta. Wa Aaalahu ‘alam bi al-shawab
0 Comments:
Post a Comment
<< Home