Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

31 July 2006

Sekali lagi, Zakat sebagai Misi Sosial

Dalam syari’at Islam, ditetapkan sejumlah golongan yang berhak mendapatkan harta zakat, yaitu fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat (amilin), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (pemerdekaan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang berjuang (QS : 9 : 60). Di mana fakir-miskin ditempatkan pada urutan awal, yang menyiratkan prioritas terhadap distribusi dana zakatnya. Dari sini, agaknya kimiskinan merupakan kondisi sosial yang mesti dicarikan jaminan secara tegas terhadap usaha pengentasannya.

Persoalannya kemudian, apa kriteria fakir-miskin itu? Bagaimana cara pendistribusian zakatnya? Apakah UU Zakat telah menjamin hak fakir-miskin dari zakat yang telah terkumpul? Dari sinilah kemudian bisa diungkap aspek “socially profitable” yang terkandung dalam UU Zakat.

Sebenarnya, fakir dan miskin mempunyai arti sama, yaitu orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yusuf Al-Qordowi dalam bukunya “Hukum Zakat” (Bandung, Mizan 1991) telah memberi penjelasan berikut ini : (a) fakir adalah orang yang tidak sanggup mencari nafkah karena keadaan biologis yang menjadikannya nonfroduktif, baik karena usia dan lainnya seperti orang tua dan orang cacat. Mereka harus dijamin kebutuhannya dengan sistem gaji yang diambil dari dana zakat.(b) miskin adalah orang yang dapat bekerja dan mencari nafkah tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan kehidupannya. Seperti petani, pedagang, dan tukang. Mereka memerlukan modal untuk memajukan usahanya yang bisa diambil dari dana zakat.

Akhir-akhir ini, ada sinyalemen terhadap distribusi dana tanpa konsesi ekonomis sebagai yang menimbulkan kehawatiran pada sebahagian pengelola ZIS (Zakat, Infak dan Shadakoh). Hal mana objektifitas dan efesiensi dalam menejemen pengelolaan telah menjadi alasan kuat untuk memilih sektor riil. Langkah taktisnya berupa pemberdayaan “mustahik sehingga dapat menjadi muzakki di kemudian hari”. Hal ini pada gilirannya melahirkan bentuk “dana produktif” yang disiapkan untuk membantu sektor ekonomi dalam masyarakat. Penomena ini pada satu sisi merupakan kemajuan yang cukup berarti atas perputaran dana zakat, namun pada sisi lain akan mempengaruhi kebijakan pengelola terhadap keberadaan dana segar yang sedianya dipersiapkan untuk para fakir-miskin.

Sementara itu dalam pasal 16 UU Zakat telah dinyatakan tentang ketentuan mustahik (orang yang berhak atas) zakat yang diatur menurut Syariat Islam. Dan tujuan dari pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZ (Badan Amil Zakat) adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur (pasal 5). Konkritnya, sekian banyak orang yang berada di bi bawah garis kemiskinan harus dijadikan prioritas oleh para pengelola zakat di Indonesia. Agar hal itu tidak mengganggu struktur sosial masyarakat sebagai prasarat terwujudkannya kepentingan umum yang merata.

Lihat misalnya pesan Nabi SAW kepada Muadz bin al-Jabal ketika akan diutus ke Yaman, “beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan sedekah (zakat) atas harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya lalu diberikan lagi kepada fakir-miskin dalam golongan mereka”. Dari sini, peran zakat dalam pembangunan masyarakat, pada dasarnya, lebih merupakan dana segar yang disediakan untuk menjamin keteraturan ekonomi yang diciptakan oleh dan untuk umat.

Memang, hakikat dari pensyariatan zakat, seperti dikemukakan Abu al-‘ala al-maududi dalam bukunya “ushushu al-iqtishad baina al-islam wa munadzimi al-mu’ashirah”, adalah mencegah penumpukan harta oleh sebagian anggota masyarakat. Islam tidak menginginkan adanya harta yang melimpah tanpa dibarengi dengan mengeluarkan zakat sebagai hak fakir miskin.

Jika keberadaan “dana produktif“ itu merupakan konsekuensi dari strategi pendayagunaan zakat, maka hal ini ada kemiripan dengan “modal” dalam sistem ekonomi konvensional. Tapi, harus tetap dibedakan dalam operasionalisasinya. Sebab, pendistribusian dana zakat lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakat sebagai basis legitimasinya. Sedangkan sistem kapital lebih memposisikan pemilik modal sebagai pemegang otoritas “cost and reword”. Sehingga dalam hal ini, si pemilik modal akan mempertimbangkan untung dan rugi, sedangkan muzakki lebih mengedepankan naluri keimanan, yaitu keridhaan-Nya.

Menimbang kedua perbedaan di atas, maka pengentasan kemiskinan sebagai bagian dari kepedulian atas kepentingan umum tidak akan lepas dari basis idiologisnya. Kalau pun pada satu saat muzakki mengalami bangkrut, dia tidak akan dibiarkan begitu saja. Tetapi akan diperlakukan sebagaimana orang yang pernah dia bantu. Berbeda dengan persaingan keras dalam dunia perburuan laba, kemitraan adalah keuntungan bukan aksi sosial.

Sebagai catatan akhir, apabila menginginkan rekonstruksi pendayaguanan dana zakat, maka kita harus tetap mengedepankan hak fakir-miskin seperti yang dilansir dalam al-Qur’an dan hadits rasul.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home