Efek Domino Korupsi
Maraknya pemberitaan korupsi belakangan ini, semakin mengukuhkan tesis almarhum Umar Kayam bahwa 'budaya korupsi' masih bersemayam di Indonesia, atau bisa jadi seperti dugaan Amin Rais, penyakit korupsi ini telah melembaga dalam denyut birokrasi negeri ini. Kita juga ingat bahwa secara tradisional kebiasaan upeti untuk raja adalah benih-benih korupsi. Rasa sungkan sebagai padanan untuk malu mengungkap skandal korupsi, turut juga menyemaikan kebiasaan buruk itu.
Problematika ini berimplikasi serius dengan aspek integritas kepemimpinan, sebagai subsistem penting dalam penyelenggarakan kehidupan benegara yang bersih sekaligus berwibawa. Korupsi akan menggrogoti sistem kepemimpinan, yang tadinya diharapkam membawa perubahan yang signifikan pasca rontoknya orde baru. Reformasi tidak gratis kita dapatkan, dan bukan pula cek kosong yang bisa diisi dengan praktek kekuasaan yang penuh noda dan dosa.
Dengan sedih, kita mesti mengakui bahwa tampaknya etika sebagian pemimpin kita telah diwarnia oleh 'watak kekuasaan yang cendrung korup'. Lebih menyedihkan lagi karena, meminjam istilah psikologi, kita sudah terjangkiti gejala "masochisme moral", yakni hilangnya rasa malu dan sakit hati untuk mencabik-cabik martabat bangsa sendiri. Jika ini yang terjadi, siapa pun orangnya yang tersedot ke pusaran kekuasaan, prilakunya jauh dari harapan publik.
Tidak mustahil, rakyat akan merasa frustasi karena sekandal korupsi, kolusi, dan kejahatan lain terutama yang dilakukan di kalangan elit penguasa. Yang ditakutkan, adalah 'imunitas keteladalan' berdampak secara massif, sehingga membentuk cara pandang rakyat terhadap dirinya, elit penguasanya dan bahkan bangsanya sendiri. Masyarakat yang melakukan anarkisme sosial dalam bentuk kerusuhan, penjarahan, tawuran, kericuhan dan penganiyaan atas sesamanya akan merasa tidak bersalah. Bahkan bisa jadi mereka berkata "kami juga bisa melakukannya, seperti para pemimpin kami memperlakukan negara ini!"
Kecendrungan ini disebabkan antara lain, oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa elit penguasa sungguh-sungguh mau memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Jika suasana kejiwaan ini berlangsung lama, maka pada gilirannya akan menggumpal dan menjadi pendorong bagi masyarakat umum untuk ikut-ikutan melakukan korupsi, merusak etika sosial dan tidak lagi percaya pada elit penguasa.
Spirit komunalinalitas penanggulangan krisis, dibajak oleh nafsu kekuasaan segelintir orang untuk kepentingannya. Semangat kebersamaan berhenti pada titik bagaimana penggantian rezim. Tapi tidak diteruskan pada ‘semangat perubahan’ yang holistik, yang meliputi semua lini kehidupan berbangsa. Sudah lebih dari cukup kehidupan berbangsa ini dilumuri oleh prilaku yang tidak menguntungkan dan menjadi beban bagi generasi yang sesudahnya.
Krisis Keteladanan
Dalam kacamata etis, maraknya berita korupsi menunjukkan krisis keteladanan. Sikap amanah para elit penguasa kita, berada pada deret hitung yang sangat memprihatinkan. Yang mengukur kesungguhan dan keberhasilan dalam memikul amanat tersebut, adalah masyarakat itu sendiri. Jika rakyat merasa dirinya telah dianiaya, dan tidak mau lagi mempercayakan urusannya kepada elit penguasa, maka kepercayaan bagai debu di tengah gurun pasir yang gersang.
Dalam kehidupan bernegara, sikap ketaladanan elit penguasa sangat penting, karena sesungguhnya ketauladanan merupakan kunci untuk memperolah dukungan rakyat. Siapa dan kenapa kehidupan bernegara harus diatur, akan berjalan lancar kalau saja kepercayaan masyarakat bisa diraih. Karena tidak mungkin melakukan pembangunan ini tanpa diperankan oleh elit penguasa.
Namun, apabila tidak demikian, jangan diharap konsolidasi pembangunan akan berhasil meski dengan blue print yang sangat ideal. Secara sistemik, krisis keteladanan akan menggrogoti kehidupan mayoritas yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik telah tertindas oleh segilintir orang yang duduk dalam singgasana kekuasan. Yang paling ditakutkan adalah ketika rakyat menggunakan "haknya" dengan mempergunakan cara-caranya sendiri. Karena mereka adalah konstituen otentik yang memegang kedaultan berbangsa dan bernegara kita.
Krisis keteladanan akan meyebabkan rakyat bersikap apatis dan psimis untuk mendelegasikan urusannya pada elit penguasa. Prilaku sosial yang cendrung anarkis yang kita saksikan setiap hari, cukup jadi bukti, betapa krisis keteladanan ini mempunyai efek domino yang luar biasa. Rasa bangga akan figur pemimpin yang baik, tenggelam di balik himpitan nafsu kekuasaan yang begitu rupa.
Etika Transformatif
Elit penguasa sebagai tumpuan sistem tata negara, bisa memberikan contoh baik agar bisa ditiru oleh rakyatnya. Suka atau tidak penghuni wilayah atas dari piramida sosial ini sangat menentukan arah perbaikan kehidupan bernegara kita. Kepentingan mayoritas, dalam prakteknya dititipkan pada segelintir elit penguasa yang hadir karena seleksi kepemimpinan.
Posisi strategis elit penguasa, menjadi dilema demokratisasi yang baru saja dirintis. Kita sepenuhnya menyadari, seleksi kepemimpinan yang telah dilakukan sedikit banyak lebih baik dari yang sebelumnya. Namun, kita juga tidak habis pikir, proses itu tidak berbanding lurus dengan watak sebagian (besar) elit penguasa dalam menjalankan amanahnya. Pasca reformasi, tidak jarang apa yang dikata jauh dari apa yang dilakukan. Prilaku berkuasa jauh dari nilai-nilai luhur yang ditanam oleh para pendiri republik ini.
Jika kondisi ini terus berlangsung, maka 'etika tranformatif' yang diharapkan jauh panggang daripada api. Setiap kali mendengar kata pemberantasan korupsi, serentak berita tindak pidana korupsi datang ke telinga kita. Rakyat mayoritas disuguhi tontonan yang paradoksal. Satu saat elit penguasa bicara tentang anti korupsi, dan tidak berselang lama mereka 'terlihat asyik' dengan kekuasaannya.
Ironisnya, dengan realitas seratus persen mengakui nilai-nilai luhur yang ditetapkan dalam dasar negara kita, tetapi kenyatanannya, praktek korupsi ditemukan hampir di seluruh lini kehidupan. Ia menyayat nilai-nilai etis kepemimpinan bangsa. Apa yang ditahbiskan oleh para pemimpin kita tentang etika berkuasa, tidak lebih dari manisnya kata-kata dan janji-janji yang, maaf, memuakkan di podium kekuasaan.
Di tengah kesenjangan ekonomi, praktek kemewahan kekuasaan masih terlihat kasat mata. Tokoh-tokoh masyarakat yang tadinya dikenal bersih dan sekarang mendapat kesempatan di tampuk kekuasaan tidak sedikit yang diduga terlibat korupsi, bahkan telah divonis tindak pidana korupsi. Seleksi pemimpin yang terbilang demokratis itu, sepertinya gagal menghantarkan 'tokoh-tokoh panutan' menjadi pemimpin yang tetap pada komitemnya untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat. Bahkan, peringkat negara terkorup pun masih kita sandang.
Kekuasaan sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, bukan tujuan yang bisa dinikmati begitu saja, setelah bersusah payah meraihnya. Spirit kekuasaan bukan diadreskan untuk kepentingan individu dan atau golongannya, tapi sepenuhnya untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan otentik dari amanah yang diberikan.
Walhasil, praktek korupsi tidak akan (bisa) berdiri sendiri. Ia merupakan satu penyakit akut yang pasti menjalar pada setiap tingkah dan kebiasaan rakyatnya. Kalau saja ini yang terjadi, maka sulit membayangkan reformasi di negeri ini menemukan relefansinya. Reformasi hanya pemanis kata dan pelipur lara selepas terdekam dalam iklim kekuasaan yang juga tidak kalah korupnya. Kita harus mengingatkan kembali mandat dari sebagian (besar) elit penguasa, jika terlihat melenceng dari etika kepemimpian bangsa. Karena reformasi lebih membutuhkan ketauladanan daripada bermanis kata di balik podium. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb
Problematika ini berimplikasi serius dengan aspek integritas kepemimpinan, sebagai subsistem penting dalam penyelenggarakan kehidupan benegara yang bersih sekaligus berwibawa. Korupsi akan menggrogoti sistem kepemimpinan, yang tadinya diharapkam membawa perubahan yang signifikan pasca rontoknya orde baru. Reformasi tidak gratis kita dapatkan, dan bukan pula cek kosong yang bisa diisi dengan praktek kekuasaan yang penuh noda dan dosa.
Dengan sedih, kita mesti mengakui bahwa tampaknya etika sebagian pemimpin kita telah diwarnia oleh 'watak kekuasaan yang cendrung korup'. Lebih menyedihkan lagi karena, meminjam istilah psikologi, kita sudah terjangkiti gejala "masochisme moral", yakni hilangnya rasa malu dan sakit hati untuk mencabik-cabik martabat bangsa sendiri. Jika ini yang terjadi, siapa pun orangnya yang tersedot ke pusaran kekuasaan, prilakunya jauh dari harapan publik.
Tidak mustahil, rakyat akan merasa frustasi karena sekandal korupsi, kolusi, dan kejahatan lain terutama yang dilakukan di kalangan elit penguasa. Yang ditakutkan, adalah 'imunitas keteladalan' berdampak secara massif, sehingga membentuk cara pandang rakyat terhadap dirinya, elit penguasanya dan bahkan bangsanya sendiri. Masyarakat yang melakukan anarkisme sosial dalam bentuk kerusuhan, penjarahan, tawuran, kericuhan dan penganiyaan atas sesamanya akan merasa tidak bersalah. Bahkan bisa jadi mereka berkata "kami juga bisa melakukannya, seperti para pemimpin kami memperlakukan negara ini!"
Kecendrungan ini disebabkan antara lain, oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa elit penguasa sungguh-sungguh mau memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Jika suasana kejiwaan ini berlangsung lama, maka pada gilirannya akan menggumpal dan menjadi pendorong bagi masyarakat umum untuk ikut-ikutan melakukan korupsi, merusak etika sosial dan tidak lagi percaya pada elit penguasa.
Spirit komunalinalitas penanggulangan krisis, dibajak oleh nafsu kekuasaan segelintir orang untuk kepentingannya. Semangat kebersamaan berhenti pada titik bagaimana penggantian rezim. Tapi tidak diteruskan pada ‘semangat perubahan’ yang holistik, yang meliputi semua lini kehidupan berbangsa. Sudah lebih dari cukup kehidupan berbangsa ini dilumuri oleh prilaku yang tidak menguntungkan dan menjadi beban bagi generasi yang sesudahnya.
Krisis Keteladanan
Dalam kacamata etis, maraknya berita korupsi menunjukkan krisis keteladanan. Sikap amanah para elit penguasa kita, berada pada deret hitung yang sangat memprihatinkan. Yang mengukur kesungguhan dan keberhasilan dalam memikul amanat tersebut, adalah masyarakat itu sendiri. Jika rakyat merasa dirinya telah dianiaya, dan tidak mau lagi mempercayakan urusannya kepada elit penguasa, maka kepercayaan bagai debu di tengah gurun pasir yang gersang.
Dalam kehidupan bernegara, sikap ketaladanan elit penguasa sangat penting, karena sesungguhnya ketauladanan merupakan kunci untuk memperolah dukungan rakyat. Siapa dan kenapa kehidupan bernegara harus diatur, akan berjalan lancar kalau saja kepercayaan masyarakat bisa diraih. Karena tidak mungkin melakukan pembangunan ini tanpa diperankan oleh elit penguasa.
Namun, apabila tidak demikian, jangan diharap konsolidasi pembangunan akan berhasil meski dengan blue print yang sangat ideal. Secara sistemik, krisis keteladanan akan menggrogoti kehidupan mayoritas yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik telah tertindas oleh segilintir orang yang duduk dalam singgasana kekuasan. Yang paling ditakutkan adalah ketika rakyat menggunakan "haknya" dengan mempergunakan cara-caranya sendiri. Karena mereka adalah konstituen otentik yang memegang kedaultan berbangsa dan bernegara kita.
Krisis keteladanan akan meyebabkan rakyat bersikap apatis dan psimis untuk mendelegasikan urusannya pada elit penguasa. Prilaku sosial yang cendrung anarkis yang kita saksikan setiap hari, cukup jadi bukti, betapa krisis keteladanan ini mempunyai efek domino yang luar biasa. Rasa bangga akan figur pemimpin yang baik, tenggelam di balik himpitan nafsu kekuasaan yang begitu rupa.
Etika Transformatif
Elit penguasa sebagai tumpuan sistem tata negara, bisa memberikan contoh baik agar bisa ditiru oleh rakyatnya. Suka atau tidak penghuni wilayah atas dari piramida sosial ini sangat menentukan arah perbaikan kehidupan bernegara kita. Kepentingan mayoritas, dalam prakteknya dititipkan pada segelintir elit penguasa yang hadir karena seleksi kepemimpinan.
Posisi strategis elit penguasa, menjadi dilema demokratisasi yang baru saja dirintis. Kita sepenuhnya menyadari, seleksi kepemimpinan yang telah dilakukan sedikit banyak lebih baik dari yang sebelumnya. Namun, kita juga tidak habis pikir, proses itu tidak berbanding lurus dengan watak sebagian (besar) elit penguasa dalam menjalankan amanahnya. Pasca reformasi, tidak jarang apa yang dikata jauh dari apa yang dilakukan. Prilaku berkuasa jauh dari nilai-nilai luhur yang ditanam oleh para pendiri republik ini.
Jika kondisi ini terus berlangsung, maka 'etika tranformatif' yang diharapkan jauh panggang daripada api. Setiap kali mendengar kata pemberantasan korupsi, serentak berita tindak pidana korupsi datang ke telinga kita. Rakyat mayoritas disuguhi tontonan yang paradoksal. Satu saat elit penguasa bicara tentang anti korupsi, dan tidak berselang lama mereka 'terlihat asyik' dengan kekuasaannya.
Ironisnya, dengan realitas seratus persen mengakui nilai-nilai luhur yang ditetapkan dalam dasar negara kita, tetapi kenyatanannya, praktek korupsi ditemukan hampir di seluruh lini kehidupan. Ia menyayat nilai-nilai etis kepemimpinan bangsa. Apa yang ditahbiskan oleh para pemimpin kita tentang etika berkuasa, tidak lebih dari manisnya kata-kata dan janji-janji yang, maaf, memuakkan di podium kekuasaan.
Di tengah kesenjangan ekonomi, praktek kemewahan kekuasaan masih terlihat kasat mata. Tokoh-tokoh masyarakat yang tadinya dikenal bersih dan sekarang mendapat kesempatan di tampuk kekuasaan tidak sedikit yang diduga terlibat korupsi, bahkan telah divonis tindak pidana korupsi. Seleksi pemimpin yang terbilang demokratis itu, sepertinya gagal menghantarkan 'tokoh-tokoh panutan' menjadi pemimpin yang tetap pada komitemnya untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat. Bahkan, peringkat negara terkorup pun masih kita sandang.
Kekuasaan sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, bukan tujuan yang bisa dinikmati begitu saja, setelah bersusah payah meraihnya. Spirit kekuasaan bukan diadreskan untuk kepentingan individu dan atau golongannya, tapi sepenuhnya untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan otentik dari amanah yang diberikan.
Walhasil, praktek korupsi tidak akan (bisa) berdiri sendiri. Ia merupakan satu penyakit akut yang pasti menjalar pada setiap tingkah dan kebiasaan rakyatnya. Kalau saja ini yang terjadi, maka sulit membayangkan reformasi di negeri ini menemukan relefansinya. Reformasi hanya pemanis kata dan pelipur lara selepas terdekam dalam iklim kekuasaan yang juga tidak kalah korupnya. Kita harus mengingatkan kembali mandat dari sebagian (besar) elit penguasa, jika terlihat melenceng dari etika kepemimpian bangsa. Karena reformasi lebih membutuhkan ketauladanan daripada bermanis kata di balik podium. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb
0 Comments:
Post a Comment
<< Home