Apa Kata Al-quran Tentang Jender
Problem keseteraan jender yang dialamatkan pada kaum muslim, sedianya dimulai dari kajian kritis-argumentatif atas ayat al-Qur'an yang berhubungan erat dengan isu kesetaraan jender. Sebagai sumber pertama dalam melakukan pengambilan hukum (istinbât al-hukm), al-Qur'an menyimpan banyak nilai yang dapat dikaji ulang. Apakah penafsiran ulama terhadap ayat al-Qur'an mengandung bias jender?. Faktor apakah yang mempengaruhi para mufassir, dan sejauhmana hal itu sesuai dengan realitas sosial-budaya modern?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak dijawab lewat tulisan singkat ini.
Elan fital rekonstruksi penafsiran al-Qur'an, disandarkan pada relavansi al-Qur'an yang tidak lekang karena denyut perubahan zaman (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Universalitas Islam yang kerap ditawarkan, akan terasa hambar, kalau saja pandangan atas teks kitab suci (baca penafsiran), terlampau disalahpahami. Ini akan membentuk konstruksi nilai yang terus melembaga, jika tidak ada upaya intelektual yang intensif. Yang perlu dilakukan, adalah mendinamisir cara pandang atas teks suci sebagai penjagaan kesuciannya. Justru tidak dikotori hanya karena formalisasi tafsiran teks, yang pada dasarnya bersifat sementara.
Paling tidak, kita mendapati anggapan miris atas urgensitas kesetaraan jender yang dikuatkan dengan tafsiran atas teks al-Qur'an. Penolakan itu harus dijernihkan dengan menempatkan penafsiran sebagai upaya intelektual, meski terhadap kitab suci sekalipun. Sehingga, diskusi yang berjalan akan terlihat arahnya dan tidak terperangkap pada kekeliruan identifikasi antara penafsiran pada satu sisi, dan teks al-Qur'an sebagai sentral dari tataran nilai dalam Islam, pada sisi lain. Klaim atas kesetaran jender, sebagai turunan norma sosial-budaya barat, tidak pula dijadikan alasan untuk membahasnya secara obyektif-ilmiah. Sehingga, kesan apologetis bisa dihindarkan semaksimal mungkin.
Dialektika al-Qur'an dan kesetaraan jender mengandaikan obyektifikasi atas sekian banyak penafsiran ayat al-Qur'an yang bermuara pada formulasi hukum Islam. Karena penafsiran atas al-Qur'an mempunyai tingkat resistensi sosial-budaya dan pemahaman teks para mufassir. Terbukti, dengan hadirya beberapa ragam dan corak penafsiran yang tiadk lepas dari tarik-ulur aspek yang mengitarinya. Ini merefleksikan cara pandang baru atas ayat al-Qur’an yang dibangun dengan analisa linguistik dan kondisi sosial-budaya modern.
Faktor Berpengaruh
Penelusuran Nasarudin Umar dalam master peace-nya, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur'an (Paramadina:2000), dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ditemukan peran sosial-budaya yang membentuk para mufassir dalam mengartikulasikan pesan kitab suci. Penjabaran makna yang ditelorkan para mufassir, digerakkan oleh struktur berfikir yang dibentuk oleh proses sosial-budaya pada waktu itu. Disadari atau tidak, ketimpangan atas kesetaraan jender menjadi premis mayor (bahkan premis minor) para mufassir yang bermuara pada konklusi yang bias jender.
Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, sekaligus dirjen Bimas Islam Depag RI ini, menegaskan bahwa , karya-karya yang ditulis dalam kondisi sosial-budaya arab yang patriarkhi, telah melahirkan bias jender yang sangat tinggi. Budaya dagang, perang, suksesi kepala suku, dan kepemilikan harta-benda yang diadreskan hanya untuk kaum laki-laki, bisa membuktikan kecendrungan di atas. Corak penafsiran yang bias jender terlihat begitu dominan. Kemudian dijadikan pintu awal untuk memahami makna-makna al-Qur'an
Dalam proses selanjutnya, masih menurut Nasarudin, pemahaman teks seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca, cara baca, kosa kata, kata ganti, batas pengecualian, kata penghubung, struktur bahasa, cerita isrâiliyyah, dan metode tafsir mengandung bias jender. Kecuali itu, relasi kuasa (power relation) yang mengiringi pemaknaan kata, penggunaan kamus, dan cara pandang mufassir atas peran jender, berpengaruh banyak dalam melahirkan corak penafsiran ayat al-Qur'an. Sulit untuk menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir tersebut.
Secara fungsional, kondisi ini menjalar pada cara berpikir para ulama yang menggeluti disiplin hukum Islam, ketika meracik formulasi hukum. Dalam kitab-kitab fikih, ketentuan tentang waris, perkawinan, persaksian, kepemilikan harta benda dan yang lainnya, telah mengesankan laki-laki begitu dominan. Kedudukan hukum perempuan kerap di tempatkan setengah dibandingkan laki-laki. Kitab syarh ‘Uqud al-Lujjayn fî Bayân Huqûq al-Zawjayn, karya Muhammad Ibn ‘Umar al-Banteny al-Jâwî (1230/1813-1316/1898), sebagai bukti otentik, betapa subordinasi kaum hawa telah terjadi secara sistemik.
Problem internalisasi nilai tersebut, sedianya diselesaikan dengan menempatkan penafsiran ayat al-Qur'an secara proporsional. Artinya, instrumentasi penafsiran teks yang dilembagakan dengan hadirnya karya-karya ulama klasik, tidak menggeser titik sentral pesan universal al-Qur'an yang absah untuk dielaborasi berkaitan dengan pergumulan zaman. Demarkasi ‘Otonomi teks’ dan ‘pemahaman akan teks’ menjadi kunci untuk membedah kekeliruan identifikasi. Sebagai kitab suci al-Qur'an bisa berdiri sendiri, tanpa bergantung pada penafsirannya yang bersifat profan.
Sepertinya, keengganan untuk menilik kenyataan ini, lebih disebabkan oleh anggapan keliru atas status penafsiran ayat al-Qur'an. Pada dasarnya, penafsiran adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh dari seorang mufassir. Baik yang menggunakan akal (tafsîr bi al-ra'yi) ataupun dengan bantuan teks hadits dan atau atsar shahâbah (tafsîr bi al-ma'tsûr), yang mempunyai kutub salah-benar. Penafsiran merupakan mata rantai dari relatifitas hasil Ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu dimana para mufassir hidup. Proses intelektual mufassir, tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai.
Kembali Ke Dasar
Al-Qur'an sebagai kitab suci yang hanya memuat gugusan nilai yang bersifat global, meniscayakan cara pandang yang dinamis. Dalam proses turunnya, kita menyaksikan betapa al-Qur'an didesain untuk sesuai dengan gerak zaman pada setiap penerimaan pesannya. Separuh waktu dengan diturunkan di Mekkah dan separuh waktu lagi diturunkan di Madinah adalah gambaran sederhana, betapa al-Qur'an harus dilihat sebagai teks berjalan (on going process) meski berasal dari sumber yang transendent.
Hemat saya, dengan meminjam bahasa dan sistem sosial-budaya bangsa arab, al-Qu'ran sedianya dipahami sebagai korpus kitab terbuka untuk ditafsirkan ulang. Pendek kata, penafsiran atas ayat al-Qur'an tentang kesetaraan jender yang sarat dengan bahasa dan sosial-budaya bangsa arab, semestinya tidak diambil begitu saja (taken for granted). Sekarang ini, al-Qur'an hadir dalam dunia yang sudah berubah begitu jauh dari waktu dan ruang dimana al-Qur'an pernah ditafsirkan oleh para ulama.
Dengan demikian, tantangan berat dalam pengarusutamaan jender dengan mapannya streotipe-streotipe yang kurang bersahabat terhadap perempuan dapat ditanggulangi. Karena, kwalitas kemanusiaan perempuan dalam beberapa aspek, ternyata lebih unggul dari laki-laki. Kenyataan ini harus disikapi secara obyektif dan tidak dieliminasi dengan legitimasi penafsiran ayat al-Qur'an yang mengandung bias jender. Instrumentasi penafsiran ini, seperti memutar jarum jam mundur ke belakang dengan menyesuaikan diri pada kondisi sosial-budaya yang telah usai.
Terakhir, bukan pula dimaksudkan untuk menelan 'pil pahit', seperti tudingan sementara kalangan, bahwa kesetaraan jender tak lebih dari konspirasi barat. Ketegangan konseptual ini sedianya dikembalikan pada pesan al-Qur'an, bahwa keutamaan manusia di hadapan sang khâlik, tidak ditentukan oleh jenis kelamin, akan tetapi oleh kwalitas kesalehan individual dan sosial (ahsanu taqwîm) untuk kemanusiaan yang universal (rahmatan li al-âlîm). Wa Allâh 'alam bi al-shawâb
Elan fital rekonstruksi penafsiran al-Qur'an, disandarkan pada relavansi al-Qur'an yang tidak lekang karena denyut perubahan zaman (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Universalitas Islam yang kerap ditawarkan, akan terasa hambar, kalau saja pandangan atas teks kitab suci (baca penafsiran), terlampau disalahpahami. Ini akan membentuk konstruksi nilai yang terus melembaga, jika tidak ada upaya intelektual yang intensif. Yang perlu dilakukan, adalah mendinamisir cara pandang atas teks suci sebagai penjagaan kesuciannya. Justru tidak dikotori hanya karena formalisasi tafsiran teks, yang pada dasarnya bersifat sementara.
Paling tidak, kita mendapati anggapan miris atas urgensitas kesetaraan jender yang dikuatkan dengan tafsiran atas teks al-Qur'an. Penolakan itu harus dijernihkan dengan menempatkan penafsiran sebagai upaya intelektual, meski terhadap kitab suci sekalipun. Sehingga, diskusi yang berjalan akan terlihat arahnya dan tidak terperangkap pada kekeliruan identifikasi antara penafsiran pada satu sisi, dan teks al-Qur'an sebagai sentral dari tataran nilai dalam Islam, pada sisi lain. Klaim atas kesetaran jender, sebagai turunan norma sosial-budaya barat, tidak pula dijadikan alasan untuk membahasnya secara obyektif-ilmiah. Sehingga, kesan apologetis bisa dihindarkan semaksimal mungkin.
Dialektika al-Qur'an dan kesetaraan jender mengandaikan obyektifikasi atas sekian banyak penafsiran ayat al-Qur'an yang bermuara pada formulasi hukum Islam. Karena penafsiran atas al-Qur'an mempunyai tingkat resistensi sosial-budaya dan pemahaman teks para mufassir. Terbukti, dengan hadirya beberapa ragam dan corak penafsiran yang tiadk lepas dari tarik-ulur aspek yang mengitarinya. Ini merefleksikan cara pandang baru atas ayat al-Qur’an yang dibangun dengan analisa linguistik dan kondisi sosial-budaya modern.
Faktor Berpengaruh
Penelusuran Nasarudin Umar dalam master peace-nya, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur'an (Paramadina:2000), dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ditemukan peran sosial-budaya yang membentuk para mufassir dalam mengartikulasikan pesan kitab suci. Penjabaran makna yang ditelorkan para mufassir, digerakkan oleh struktur berfikir yang dibentuk oleh proses sosial-budaya pada waktu itu. Disadari atau tidak, ketimpangan atas kesetaraan jender menjadi premis mayor (bahkan premis minor) para mufassir yang bermuara pada konklusi yang bias jender.
Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, sekaligus dirjen Bimas Islam Depag RI ini, menegaskan bahwa , karya-karya yang ditulis dalam kondisi sosial-budaya arab yang patriarkhi, telah melahirkan bias jender yang sangat tinggi. Budaya dagang, perang, suksesi kepala suku, dan kepemilikan harta-benda yang diadreskan hanya untuk kaum laki-laki, bisa membuktikan kecendrungan di atas. Corak penafsiran yang bias jender terlihat begitu dominan. Kemudian dijadikan pintu awal untuk memahami makna-makna al-Qur'an
Dalam proses selanjutnya, masih menurut Nasarudin, pemahaman teks seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca, cara baca, kosa kata, kata ganti, batas pengecualian, kata penghubung, struktur bahasa, cerita isrâiliyyah, dan metode tafsir mengandung bias jender. Kecuali itu, relasi kuasa (power relation) yang mengiringi pemaknaan kata, penggunaan kamus, dan cara pandang mufassir atas peran jender, berpengaruh banyak dalam melahirkan corak penafsiran ayat al-Qur'an. Sulit untuk menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir tersebut.
Secara fungsional, kondisi ini menjalar pada cara berpikir para ulama yang menggeluti disiplin hukum Islam, ketika meracik formulasi hukum. Dalam kitab-kitab fikih, ketentuan tentang waris, perkawinan, persaksian, kepemilikan harta benda dan yang lainnya, telah mengesankan laki-laki begitu dominan. Kedudukan hukum perempuan kerap di tempatkan setengah dibandingkan laki-laki. Kitab syarh ‘Uqud al-Lujjayn fî Bayân Huqûq al-Zawjayn, karya Muhammad Ibn ‘Umar al-Banteny al-Jâwî (1230/1813-1316/1898), sebagai bukti otentik, betapa subordinasi kaum hawa telah terjadi secara sistemik.
Problem internalisasi nilai tersebut, sedianya diselesaikan dengan menempatkan penafsiran ayat al-Qur'an secara proporsional. Artinya, instrumentasi penafsiran teks yang dilembagakan dengan hadirnya karya-karya ulama klasik, tidak menggeser titik sentral pesan universal al-Qur'an yang absah untuk dielaborasi berkaitan dengan pergumulan zaman. Demarkasi ‘Otonomi teks’ dan ‘pemahaman akan teks’ menjadi kunci untuk membedah kekeliruan identifikasi. Sebagai kitab suci al-Qur'an bisa berdiri sendiri, tanpa bergantung pada penafsirannya yang bersifat profan.
Sepertinya, keengganan untuk menilik kenyataan ini, lebih disebabkan oleh anggapan keliru atas status penafsiran ayat al-Qur'an. Pada dasarnya, penafsiran adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh dari seorang mufassir. Baik yang menggunakan akal (tafsîr bi al-ra'yi) ataupun dengan bantuan teks hadits dan atau atsar shahâbah (tafsîr bi al-ma'tsûr), yang mempunyai kutub salah-benar. Penafsiran merupakan mata rantai dari relatifitas hasil Ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu dimana para mufassir hidup. Proses intelektual mufassir, tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai.
Kembali Ke Dasar
Al-Qur'an sebagai kitab suci yang hanya memuat gugusan nilai yang bersifat global, meniscayakan cara pandang yang dinamis. Dalam proses turunnya, kita menyaksikan betapa al-Qur'an didesain untuk sesuai dengan gerak zaman pada setiap penerimaan pesannya. Separuh waktu dengan diturunkan di Mekkah dan separuh waktu lagi diturunkan di Madinah adalah gambaran sederhana, betapa al-Qur'an harus dilihat sebagai teks berjalan (on going process) meski berasal dari sumber yang transendent.
Hemat saya, dengan meminjam bahasa dan sistem sosial-budaya bangsa arab, al-Qu'ran sedianya dipahami sebagai korpus kitab terbuka untuk ditafsirkan ulang. Pendek kata, penafsiran atas ayat al-Qur'an tentang kesetaraan jender yang sarat dengan bahasa dan sosial-budaya bangsa arab, semestinya tidak diambil begitu saja (taken for granted). Sekarang ini, al-Qur'an hadir dalam dunia yang sudah berubah begitu jauh dari waktu dan ruang dimana al-Qur'an pernah ditafsirkan oleh para ulama.
Dengan demikian, tantangan berat dalam pengarusutamaan jender dengan mapannya streotipe-streotipe yang kurang bersahabat terhadap perempuan dapat ditanggulangi. Karena, kwalitas kemanusiaan perempuan dalam beberapa aspek, ternyata lebih unggul dari laki-laki. Kenyataan ini harus disikapi secara obyektif dan tidak dieliminasi dengan legitimasi penafsiran ayat al-Qur'an yang mengandung bias jender. Instrumentasi penafsiran ini, seperti memutar jarum jam mundur ke belakang dengan menyesuaikan diri pada kondisi sosial-budaya yang telah usai.
Terakhir, bukan pula dimaksudkan untuk menelan 'pil pahit', seperti tudingan sementara kalangan, bahwa kesetaraan jender tak lebih dari konspirasi barat. Ketegangan konseptual ini sedianya dikembalikan pada pesan al-Qur'an, bahwa keutamaan manusia di hadapan sang khâlik, tidak ditentukan oleh jenis kelamin, akan tetapi oleh kwalitas kesalehan individual dan sosial (ahsanu taqwîm) untuk kemanusiaan yang universal (rahmatan li al-âlîm). Wa Allâh 'alam bi al-shawâb
0 Comments:
Post a Comment
<< Home