Amandemen UU Zakat
Undang-undang No. 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat telah memberikan kewenangan kepada pemerintah dengan pembentukan Badan Amil Zakat dengan semua tingkatannya (pasal 6) dan masyarakat untuk membuat Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Institusional building bagi pengelolaan zakat, direpresentasikan pada dua elemen yang satu dan lainnya mempunyai konsen atas pemberdayaan ekonomi rakyat. Wadah pengelolaan yang terpolakan pada dua sudut itu, tidak menutup kemungkinan untuk saling melengkapi dan dapat juga melahirkan irisan kepentingan.
Artinya, sengaja atau tidak akan melahirkan arah yang berhadap-hadapan secara diametral. Secara sosiologis, masyarakat muslim tidak bisa melepaskan dari hasrat pengabdian akan kondisi ekonomi di sekelilingnya. Dan pada saat yang bersamaan, pasal 34 UU’45 menentukan pemerintah memelihara fakir-miskin dan orang terlantar. Lebih dari, itu satu dan lainnya mempunyai kekurangan dan kelebihan dalam proyeksi optimalisasi zakat. Pihak swasta tidak mempunyai matrik birokrasi sementara pihak pemerintah pun belakangan ini mulai terkena erosi akuntabilatas. Daftar kasus korupsi yang mulai terlihat kasat mata sedikit banyak telah menempatkan pemerintah sebagai yang patut diamati.
Dalam perkembangannya seringkali dibingkai dengan platform “fastabiqu al-khairaat” (berlomba-lomba dalam kebaikan). Namun, nuansa kompitisi ini terlihat belum mewujudkan penyatuan dan penyamaan orientasi dalam pengelolaan zakat. Secara politis, basis pergerakan masyarakat berada pada kisaran mobilitas horizontal antara sesamanya. Sementara pihak pemerintah, lebih pada konsolidasi vertikal bersama jajaran birokrasinya dengan melahirkan regulasi yang kemungkinan menguntungkan pengelolaan zakat versi pemerintah.
Sarat Kepentingan
Irama persentuhan kepentingan antara BAZ-LAZ mulai diangkat dalam satu tulisan di harian Republika (4/11/2001), dengan judul “Amil Zakat di Persimpangan Jalan” oleh Aep Saepullah. Ia berusaha menyoroti secara jernih bagaimana proses pengukuhan yang diatur dalam pasal 21-24, Keputusan Menteri Agama No. 581/1999 terasa membelit legalisasi LAZ. Menurutnya, dana zakat dari reduksi atas penghasilan kena pajak (pasal 9 huruf g UU No. 17/2000) diyakini sebagai pemicu antusiasme pemerintah akan zakat. Dan pada giliarannya, bermuara pada restrukturisasi LAZ di BUMN-BUMN dan perusahan swasta menjadi Unit Pengumpul Zakat dari Badan Amil Zakat Nasional (Lembaga Pengelola Zakat buatan pemerintah).
Nah, dalam satu acara yang diselenggarakan oleh Institut Menejemen Zakat (IMZ) di Jakarta pada 9 Februari 2002, terekam inisiatif untuk merevisi UU No. 38/1999. Pembicara Drs. Ahmad Roqib, anggota DPR-MPR RI dari fraksi reformasi beserta para peserta, menyoroti tentang peran pemerintah ternyata berkaitan erat dengan kapabilitasnya yang belum bisa menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan. Lebih dari itu, secara material, UU No. 38/1999 diyakini belum sempurna serta meyumbat pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat.
Amandemen UU Zakat
Adapun point-ponit yang diajukan terdiri dari, pertama : asas equality (persamaan) antara mustahik-muzakki (orang yang berhak zakat dan wajib zakat). Dalam pasal 21 UU Zakat, Amil Zakat yang statusnya sebagai mustahik dikenakan sanksi dengan hukuman pidana kurungan selama 3 bulan dan denda sebesar 300 juta. Sementara muzakki ditempatkan sebagai yang tidak dapat sanksi dan hanya jika melaporkan daftar kekayaannya (pasal 14 ayat 1-2). Artinya, muzakki yang secara syariah diwajibkan dan secara sosial agar sadar atas realitas kemiskinan, seolah diberi hati oleh UU Zakat –untuk tidak menyebutnya dilindungi. Padahal keduanya merupakan objek hukum yang harus ditempatkan sama di hadapan hukum sebagaimana laiknya ada pada peraturan perundangan.
Kedua : ketentuan dalam UU No. 38/1999 dan UU No. 17/2000 terasa kontradiktif dalam masalah relasi pajak dan zakat. Dalam pasal 14 ayat 3 dinyatakan “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi, zakat dapat mereduksi semua harta muzakki. Di pasal 9 huruf g UU No. 17/2000 hanya ditentukan reduksi zakat atas penghasilan kena pajak. Artinya, relasi dua UU ini melahirkan asumsi : apakah perubahan UU Zakat disesuaikan ke UU Pajak ? UU Pajak diamandemen dan disesuaikan dengan UU Zakat ? dan atau keduanaya harus diamandemen disesuaikan salah satu dengan lainnya. Idealnya, berzakat dapat mengurangi semua beban pajak seperti di Malaysia dan atau mengurangi kewajiban pajak layaknya di Saudi Arabia.
Ketiga : masalah pemusatan pengelolaan zakat pada satu badan yang lebih dikenal dengan istilah Central of LPZ. Nah, yang diyakini, kemungkinan direpresentasikan oleh sosok Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang sudah terbentuk belakangan ini. Basis argumen pembuatan BAZNAS diadreskan pada tafsiran normatif-otentik, bahwa yang berhak memaksa adalah otoritas negara (pemerintah). Hanya saja di tengah kepercayaan yang belum terbentuk secara kuat dan rapih, maka inisiatif ke arah itu tidak mustahil mengundang nada kritisisme. Ironisnya, secara faktual-institusional telah hadir di lapangan sosok Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat dan lainnya. Lalu, apa yang akan dilakukan ? peleburan institusi zakat ke BAZNAS atau penggabungan laiknya “marger bank”.
Keempat : Amandemen UU Zakat harus dilakukan dalam ruang publik (public sphare) yang memungkinkan pelibatan seluruh elemen bangsa dan bermuara pada UU Zakat yang bercorak responsif. Ia sebagai hasil dari pembuatan hukum positif (iusconstititum) yang sedapat mungkin menyerap hukum-hukum yang hidup dalam setiap denyut kepentingan masyarakat (iusconstituendum). Karenanya, tidak bersifat top down yang selalu meyebabkan corak produk hukum konserfatif/ortodok. Dus menciptakan langgam otoriterianisme dalam corak dan bentuknya yang baru, tidak terkecuali dalam agenda penegakan Syariat Islam.
Penutup
Empat problem tersebut, menurut hemat penulis merupakan kondisi empiris yang patut diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Alih-alih mengusulkan amandemen UU Zakat, malah yang terjadi adalah vested intress yang kontra produktif. Seringkali perkembangan agregasi kepentingan dalam politik hukum tersimulkan pada level elit dan dikompromikan dengan membagi “lahan pengelolaan”. Patut dilacak oleh semua elemen yang terlibat akan domokratisasi dalam reformasi hukum itu masih mengandung resiko coba dan salah. Apalagi umur UU Zakat tidak cukup untuk ditilai secara seksama berkaitan dengan implementasi di lapangan. Tanpa menaruh kecurigaan, yang lebih penting dari itu adalah para fakir-miskin yang tidak berakses cukup terhadap amandemen UU Zakat. Wa Allahu ‘alam bi al-shawâb
Artinya, sengaja atau tidak akan melahirkan arah yang berhadap-hadapan secara diametral. Secara sosiologis, masyarakat muslim tidak bisa melepaskan dari hasrat pengabdian akan kondisi ekonomi di sekelilingnya. Dan pada saat yang bersamaan, pasal 34 UU’45 menentukan pemerintah memelihara fakir-miskin dan orang terlantar. Lebih dari, itu satu dan lainnya mempunyai kekurangan dan kelebihan dalam proyeksi optimalisasi zakat. Pihak swasta tidak mempunyai matrik birokrasi sementara pihak pemerintah pun belakangan ini mulai terkena erosi akuntabilatas. Daftar kasus korupsi yang mulai terlihat kasat mata sedikit banyak telah menempatkan pemerintah sebagai yang patut diamati.
Dalam perkembangannya seringkali dibingkai dengan platform “fastabiqu al-khairaat” (berlomba-lomba dalam kebaikan). Namun, nuansa kompitisi ini terlihat belum mewujudkan penyatuan dan penyamaan orientasi dalam pengelolaan zakat. Secara politis, basis pergerakan masyarakat berada pada kisaran mobilitas horizontal antara sesamanya. Sementara pihak pemerintah, lebih pada konsolidasi vertikal bersama jajaran birokrasinya dengan melahirkan regulasi yang kemungkinan menguntungkan pengelolaan zakat versi pemerintah.
Sarat Kepentingan
Irama persentuhan kepentingan antara BAZ-LAZ mulai diangkat dalam satu tulisan di harian Republika (4/11/2001), dengan judul “Amil Zakat di Persimpangan Jalan” oleh Aep Saepullah. Ia berusaha menyoroti secara jernih bagaimana proses pengukuhan yang diatur dalam pasal 21-24, Keputusan Menteri Agama No. 581/1999 terasa membelit legalisasi LAZ. Menurutnya, dana zakat dari reduksi atas penghasilan kena pajak (pasal 9 huruf g UU No. 17/2000) diyakini sebagai pemicu antusiasme pemerintah akan zakat. Dan pada giliarannya, bermuara pada restrukturisasi LAZ di BUMN-BUMN dan perusahan swasta menjadi Unit Pengumpul Zakat dari Badan Amil Zakat Nasional (Lembaga Pengelola Zakat buatan pemerintah).
Nah, dalam satu acara yang diselenggarakan oleh Institut Menejemen Zakat (IMZ) di Jakarta pada 9 Februari 2002, terekam inisiatif untuk merevisi UU No. 38/1999. Pembicara Drs. Ahmad Roqib, anggota DPR-MPR RI dari fraksi reformasi beserta para peserta, menyoroti tentang peran pemerintah ternyata berkaitan erat dengan kapabilitasnya yang belum bisa menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan. Lebih dari itu, secara material, UU No. 38/1999 diyakini belum sempurna serta meyumbat pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat.
Amandemen UU Zakat
Adapun point-ponit yang diajukan terdiri dari, pertama : asas equality (persamaan) antara mustahik-muzakki (orang yang berhak zakat dan wajib zakat). Dalam pasal 21 UU Zakat, Amil Zakat yang statusnya sebagai mustahik dikenakan sanksi dengan hukuman pidana kurungan selama 3 bulan dan denda sebesar 300 juta. Sementara muzakki ditempatkan sebagai yang tidak dapat sanksi dan hanya jika melaporkan daftar kekayaannya (pasal 14 ayat 1-2). Artinya, muzakki yang secara syariah diwajibkan dan secara sosial agar sadar atas realitas kemiskinan, seolah diberi hati oleh UU Zakat –untuk tidak menyebutnya dilindungi. Padahal keduanya merupakan objek hukum yang harus ditempatkan sama di hadapan hukum sebagaimana laiknya ada pada peraturan perundangan.
Kedua : ketentuan dalam UU No. 38/1999 dan UU No. 17/2000 terasa kontradiktif dalam masalah relasi pajak dan zakat. Dalam pasal 14 ayat 3 dinyatakan “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi, zakat dapat mereduksi semua harta muzakki. Di pasal 9 huruf g UU No. 17/2000 hanya ditentukan reduksi zakat atas penghasilan kena pajak. Artinya, relasi dua UU ini melahirkan asumsi : apakah perubahan UU Zakat disesuaikan ke UU Pajak ? UU Pajak diamandemen dan disesuaikan dengan UU Zakat ? dan atau keduanaya harus diamandemen disesuaikan salah satu dengan lainnya. Idealnya, berzakat dapat mengurangi semua beban pajak seperti di Malaysia dan atau mengurangi kewajiban pajak layaknya di Saudi Arabia.
Ketiga : masalah pemusatan pengelolaan zakat pada satu badan yang lebih dikenal dengan istilah Central of LPZ. Nah, yang diyakini, kemungkinan direpresentasikan oleh sosok Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang sudah terbentuk belakangan ini. Basis argumen pembuatan BAZNAS diadreskan pada tafsiran normatif-otentik, bahwa yang berhak memaksa adalah otoritas negara (pemerintah). Hanya saja di tengah kepercayaan yang belum terbentuk secara kuat dan rapih, maka inisiatif ke arah itu tidak mustahil mengundang nada kritisisme. Ironisnya, secara faktual-institusional telah hadir di lapangan sosok Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat dan lainnya. Lalu, apa yang akan dilakukan ? peleburan institusi zakat ke BAZNAS atau penggabungan laiknya “marger bank”.
Keempat : Amandemen UU Zakat harus dilakukan dalam ruang publik (public sphare) yang memungkinkan pelibatan seluruh elemen bangsa dan bermuara pada UU Zakat yang bercorak responsif. Ia sebagai hasil dari pembuatan hukum positif (iusconstititum) yang sedapat mungkin menyerap hukum-hukum yang hidup dalam setiap denyut kepentingan masyarakat (iusconstituendum). Karenanya, tidak bersifat top down yang selalu meyebabkan corak produk hukum konserfatif/ortodok. Dus menciptakan langgam otoriterianisme dalam corak dan bentuknya yang baru, tidak terkecuali dalam agenda penegakan Syariat Islam.
Penutup
Empat problem tersebut, menurut hemat penulis merupakan kondisi empiris yang patut diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Alih-alih mengusulkan amandemen UU Zakat, malah yang terjadi adalah vested intress yang kontra produktif. Seringkali perkembangan agregasi kepentingan dalam politik hukum tersimulkan pada level elit dan dikompromikan dengan membagi “lahan pengelolaan”. Patut dilacak oleh semua elemen yang terlibat akan domokratisasi dalam reformasi hukum itu masih mengandung resiko coba dan salah. Apalagi umur UU Zakat tidak cukup untuk ditilai secara seksama berkaitan dengan implementasi di lapangan. Tanpa menaruh kecurigaan, yang lebih penting dari itu adalah para fakir-miskin yang tidak berakses cukup terhadap amandemen UU Zakat. Wa Allahu ‘alam bi al-shawâb
0 Comments:
Post a Comment
<< Home