Zakat-Pajak Bagi Kemandirian Ekonomi Umat
Dalam harian Republika (22/03/2002) dilansir berita tentang SPT yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak untuk merespon reduksi zakat atas pajak yang ada dalam pasal 9 huruf g Undang-undang No. 17/2000 tentang Pajak Penghasilan. Bunyi pasal tersebut adalah “kecuali zakat yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang didirikan atau disahkan oleh Pemerintah”. Meskipun tidak sepenuhnyan memuat ide akan persamaan paradigmatik zakat-pajak untuk keserjahteraan rakyat sebagai yang digulirkan oleh Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1990), akan tetapi satu titik fungsionalnya telah termuat dengan adanya reduksi zakat atas penghasilan kena pajak.
Sementara itu dalam UU. No. 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat Pasal 14 ayat (1), dipaparkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi secara yuridis kehadiran relasi Pajak-Zakat sudah termaktub ketika Undang-undang Pajak dan Zakat hadir. Tinggal bagaimana menyediakan peraturan organik yang bisa menjamin tentang pemungutan yang menyatu dan atau diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
Nah, setelah itu terealisir dalam tahun ini, maka yang menjadi sorotan kita adalah prihal Lembaga Pengelola Zakat yang berhak memungut dan menyalurkannya. Ini karena, untuk menunjang kemandirian ekonomi umat sebagai proyeksi strategis yang bisa diemban oleh pemerintah bersama masyarakat yang concorn tehadap pengelolaan zakat. Sehingga integrasi zakat dalam sistem hukum nasional akan bermuatan positif pada sektor ekonomi kerakyatan yang cendrung tersudutkan semasa rezim orde baru dengan memanjakan pelaku ekonomi kelas kakapnya itu.
Fungsi Ideal Zakat
Elan vital zakat dalam basis subyektif normatifnya (QS 9:60) secara gamlang dialamatkan pada para fakir-miskin yang nyata-nyata sebagai unsur dominan dalam struktur masyarakat Indonesia. Dalam pada itu, penguatan sistem ekonomi akan merimbas secara paralel tanpa menorehkan sedikit pun akan maenstream ekslusivisme berkaitan asas personalitas ke-Islaman. Dengan berzakat, tidak dimaksudkan untuk menguatkan ekonomi masyarakat muslim ansich, tapi sebagai sumbangan bagi ekonomi nasional secara keseluruhan.
Sejatinya, pemanfaatan dana zakat itu diletakkan pada dasar kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karenanya, penguatan sistem ekonomi akan bermakna kebangsaan bukan spirit religuitas semata. Jika problem relasi-pajak dikaburkan dengan kecurigaan atas pembongkaran kembali trauma piagam Jakarta dan atau konspirasi anti Islam misalkan, menurut hemat penulis tidak akan menghasilkan out-put yang positif atas keterdesakan penguatan ekonomi itu.
Dalam konteks inilah, legislasi reduksi zakat atas pajak tidak relavan untuk dikatakan sebagai yang mengundang kecemburuan golongan agama lain. Kalaupun, dipahami dengan kerangka politik hukum, ia merupakan representasi masyarakat muslim yang menurut jumlahnya adalah mayoritas. Betapapun demokratisasi hukum selalu saja menoleh pada pluralitas agama, namun secara sosial-politik, nyata-nyata demokrasi representatif –meminjam istilah Amin Rais—tidaklah bisa diabaikan begitu saja. Artinya, demokratisasi yang diusung dalam kehidupan nation-state kita tidaklah bijaksana, jika menegasikan pemuatan nilai hukum yang korelatif dengan hajat kemandirian ekonomi masyarakat.
Kewenangan Pengelola Zakat
Dalam kedua klausul dari UU Pajak dan Zakat di atas, Organisasi Pengelola Zakat yang berwenang mengelola dana zakat sebagai reduksi pajak adalah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Institusi-institusi zakat itu secara yuridis termaktud dalam pasal 6 UU Zakat sebagai legalisasi BAZ yang dibuat oleh pemerintah dan pasal 7 UU Zakat bagi LAZ yang dibuat oleh masyarakat dengan pengukuhan pemerintah. Nampaknya, pemuatan keduanya, menurut hemat penulis telah sengaja diarahkan lebih pada pendayagunaan dana zakat. Sehingga menciptakan irama pengelolaan yang serasi dan selaras dengan nafas UU Zakat dan UU Pajak yang telah disahkan.
Hanya saja, otoritas pemerintah untuk proses pengukuhan sebagai yang diatur dalam pasal 21-25, Keputusan Menteri Agama No. 581/1999, mengandung problem birokratis dan politis. Dan ini, pernah diangkat dalam oleh saudara Aep Saepullah dengan judul artikel“Amil Zakat di Persimpangan Jalan” ( Republika, 4/9/2001). Bangunan analisis yang disodorkan oleh AS seharusnya direspons secara secara positif oleh pemerinah. Bahwa law enforcement dalam proses institusional building zakat tidak disunat hanya karena persoalan pragmatis berkaitan dengan bumingnya jumlah dana reduksi zakat-pajak itu. Karena konspirasi anti pengukuhan yang mengendus ke permukaan mempunyai ekses yang kontra produktif dengan dasar pasal 7 UU Zakat.
Padahal peran masyarakat yang dalam hal ini diadreskan pada LAZ yang telah dan akan berdiri, tidak cukup untuk dikatakan sebagai yang kurang accounable dan legitimate. Kalau secara prosedural LAZ-LAZ itu mengajukan sederet “daftar kesehatan lembaga” (KMA pasal 21) kenapa mesti dipasung ?. Toh, BAZ juga mempunyai kedudukan sama berkaitan dengan akuntabilitas dan legalitasnya. Inilah kemudian, yang seharusnya dijadikan dasar oleh pemerintah untuk tidak “terlalu membelit” pengukuhan yang sedianya didapatkan oleh LAZ. Pemerintah juga, jangan bersikap over conviden untuk menyatakan LAZ sebagai institusi yang berada pada labirin under estimate. Lebih baik diserahkan pada kontrak yuridis, bahwa keduanya akan tetap dikenai sanksi (pasal 21 Zakat) jika menyunat dana zakatnya. Jadinya, law enforcement atas zakat yang diterapkan akan menaikkan statusnya sebagai yang bersifat karikatif (anjuran) semata menjadi wajib.
Kemandirian Ekonomi Umat
Dengan menempatkannya secara proforsional dan konstitusional, agenda kemandirian ekonomi umat tidak terkorbankan oleh konspirasi pengukuhan LAZ. Urgensi penguatan ekonomi kerakyatan yang bisa dibangun oleh BAZ/LAZ lebih tinggi takarannya dibandingkan dengan tarik ulur kewenangan kepengelolaan zakat. Jutaan rakyat miskin menanti donasi yang cepat dan tidak perlu dibingkai dengan ambiguitas kepentingan pengelolaan. Satu sisi pemerintah mengusung agenda reformasi ekonomi, tapi pada saat yang bersamaan menyumbat aspirasi masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan zakat.
Lebih dari itu, secara faktual-empiris ada beberapa program pendampingan unit usaha kecil yang bisa dilakukan oleh BAZ/LAZ. Dan itu, akan menunjang sirkulasi ekonomi yang sehat dan berkeadilan. Tanpa meyerahkan secara proporsional dan konstitusional terhadap kewenangan BAZ/LAZ, tuga-tugas strategis ini akan tersumbat di tengah himpitan kepentingan yang kontra produktif. Harga sebuah konfigurasi kepetingan dibalik kedok birokrasi dan politisasi pengukuhan, bisa jadi membelenggu penyaluran dana zakat untuk para pelaku usaha kecil di Indonesia itu.
Karenanya, relasi pajak-zakat yang sekarang akan dilakukan mendapat momentnya untuk membangkitan kembali ekonomi kerakyatan, ketika himpitan krisis ekonomi nasional masih membelit masyarakat muslim kita yang belum juga usai pasca krisis moneter tahun 1997-han. Sehingga inisitif pembuatan peraturan perundang-undangan zakat akan meratakan jalan bagi kemandirian ekonomi umat yang kita harapkan bersama. Dan itu, menjadi tanggung jawab yang harus diemban oleh Lembaga Pengelola Zakat (BAZ/LAZ), yang diatur dalam Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Undang-undang No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan. Wa Allahu ‘alam bi al-shawab
Sementara itu dalam UU. No. 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat Pasal 14 ayat (1), dipaparkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi secara yuridis kehadiran relasi Pajak-Zakat sudah termaktub ketika Undang-undang Pajak dan Zakat hadir. Tinggal bagaimana menyediakan peraturan organik yang bisa menjamin tentang pemungutan yang menyatu dan atau diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
Nah, setelah itu terealisir dalam tahun ini, maka yang menjadi sorotan kita adalah prihal Lembaga Pengelola Zakat yang berhak memungut dan menyalurkannya. Ini karena, untuk menunjang kemandirian ekonomi umat sebagai proyeksi strategis yang bisa diemban oleh pemerintah bersama masyarakat yang concorn tehadap pengelolaan zakat. Sehingga integrasi zakat dalam sistem hukum nasional akan bermuatan positif pada sektor ekonomi kerakyatan yang cendrung tersudutkan semasa rezim orde baru dengan memanjakan pelaku ekonomi kelas kakapnya itu.
Fungsi Ideal Zakat
Elan vital zakat dalam basis subyektif normatifnya (QS 9:60) secara gamlang dialamatkan pada para fakir-miskin yang nyata-nyata sebagai unsur dominan dalam struktur masyarakat Indonesia. Dalam pada itu, penguatan sistem ekonomi akan merimbas secara paralel tanpa menorehkan sedikit pun akan maenstream ekslusivisme berkaitan asas personalitas ke-Islaman. Dengan berzakat, tidak dimaksudkan untuk menguatkan ekonomi masyarakat muslim ansich, tapi sebagai sumbangan bagi ekonomi nasional secara keseluruhan.
Sejatinya, pemanfaatan dana zakat itu diletakkan pada dasar kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karenanya, penguatan sistem ekonomi akan bermakna kebangsaan bukan spirit religuitas semata. Jika problem relasi-pajak dikaburkan dengan kecurigaan atas pembongkaran kembali trauma piagam Jakarta dan atau konspirasi anti Islam misalkan, menurut hemat penulis tidak akan menghasilkan out-put yang positif atas keterdesakan penguatan ekonomi itu.
Dalam konteks inilah, legislasi reduksi zakat atas pajak tidak relavan untuk dikatakan sebagai yang mengundang kecemburuan golongan agama lain. Kalaupun, dipahami dengan kerangka politik hukum, ia merupakan representasi masyarakat muslim yang menurut jumlahnya adalah mayoritas. Betapapun demokratisasi hukum selalu saja menoleh pada pluralitas agama, namun secara sosial-politik, nyata-nyata demokrasi representatif –meminjam istilah Amin Rais—tidaklah bisa diabaikan begitu saja. Artinya, demokratisasi yang diusung dalam kehidupan nation-state kita tidaklah bijaksana, jika menegasikan pemuatan nilai hukum yang korelatif dengan hajat kemandirian ekonomi masyarakat.
Kewenangan Pengelola Zakat
Dalam kedua klausul dari UU Pajak dan Zakat di atas, Organisasi Pengelola Zakat yang berwenang mengelola dana zakat sebagai reduksi pajak adalah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Institusi-institusi zakat itu secara yuridis termaktud dalam pasal 6 UU Zakat sebagai legalisasi BAZ yang dibuat oleh pemerintah dan pasal 7 UU Zakat bagi LAZ yang dibuat oleh masyarakat dengan pengukuhan pemerintah. Nampaknya, pemuatan keduanya, menurut hemat penulis telah sengaja diarahkan lebih pada pendayagunaan dana zakat. Sehingga menciptakan irama pengelolaan yang serasi dan selaras dengan nafas UU Zakat dan UU Pajak yang telah disahkan.
Hanya saja, otoritas pemerintah untuk proses pengukuhan sebagai yang diatur dalam pasal 21-25, Keputusan Menteri Agama No. 581/1999, mengandung problem birokratis dan politis. Dan ini, pernah diangkat dalam oleh saudara Aep Saepullah dengan judul artikel“Amil Zakat di Persimpangan Jalan” ( Republika, 4/9/2001). Bangunan analisis yang disodorkan oleh AS seharusnya direspons secara secara positif oleh pemerinah. Bahwa law enforcement dalam proses institusional building zakat tidak disunat hanya karena persoalan pragmatis berkaitan dengan bumingnya jumlah dana reduksi zakat-pajak itu. Karena konspirasi anti pengukuhan yang mengendus ke permukaan mempunyai ekses yang kontra produktif dengan dasar pasal 7 UU Zakat.
Padahal peran masyarakat yang dalam hal ini diadreskan pada LAZ yang telah dan akan berdiri, tidak cukup untuk dikatakan sebagai yang kurang accounable dan legitimate. Kalau secara prosedural LAZ-LAZ itu mengajukan sederet “daftar kesehatan lembaga” (KMA pasal 21) kenapa mesti dipasung ?. Toh, BAZ juga mempunyai kedudukan sama berkaitan dengan akuntabilitas dan legalitasnya. Inilah kemudian, yang seharusnya dijadikan dasar oleh pemerintah untuk tidak “terlalu membelit” pengukuhan yang sedianya didapatkan oleh LAZ. Pemerintah juga, jangan bersikap over conviden untuk menyatakan LAZ sebagai institusi yang berada pada labirin under estimate. Lebih baik diserahkan pada kontrak yuridis, bahwa keduanya akan tetap dikenai sanksi (pasal 21 Zakat) jika menyunat dana zakatnya. Jadinya, law enforcement atas zakat yang diterapkan akan menaikkan statusnya sebagai yang bersifat karikatif (anjuran) semata menjadi wajib.
Kemandirian Ekonomi Umat
Dengan menempatkannya secara proforsional dan konstitusional, agenda kemandirian ekonomi umat tidak terkorbankan oleh konspirasi pengukuhan LAZ. Urgensi penguatan ekonomi kerakyatan yang bisa dibangun oleh BAZ/LAZ lebih tinggi takarannya dibandingkan dengan tarik ulur kewenangan kepengelolaan zakat. Jutaan rakyat miskin menanti donasi yang cepat dan tidak perlu dibingkai dengan ambiguitas kepentingan pengelolaan. Satu sisi pemerintah mengusung agenda reformasi ekonomi, tapi pada saat yang bersamaan menyumbat aspirasi masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan zakat.
Lebih dari itu, secara faktual-empiris ada beberapa program pendampingan unit usaha kecil yang bisa dilakukan oleh BAZ/LAZ. Dan itu, akan menunjang sirkulasi ekonomi yang sehat dan berkeadilan. Tanpa meyerahkan secara proporsional dan konstitusional terhadap kewenangan BAZ/LAZ, tuga-tugas strategis ini akan tersumbat di tengah himpitan kepentingan yang kontra produktif. Harga sebuah konfigurasi kepetingan dibalik kedok birokrasi dan politisasi pengukuhan, bisa jadi membelenggu penyaluran dana zakat untuk para pelaku usaha kecil di Indonesia itu.
Karenanya, relasi pajak-zakat yang sekarang akan dilakukan mendapat momentnya untuk membangkitan kembali ekonomi kerakyatan, ketika himpitan krisis ekonomi nasional masih membelit masyarakat muslim kita yang belum juga usai pasca krisis moneter tahun 1997-han. Sehingga inisitif pembuatan peraturan perundang-undangan zakat akan meratakan jalan bagi kemandirian ekonomi umat yang kita harapkan bersama. Dan itu, menjadi tanggung jawab yang harus diemban oleh Lembaga Pengelola Zakat (BAZ/LAZ), yang diatur dalam Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Undang-undang No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan. Wa Allahu ‘alam bi al-shawab
0 Comments:
Post a Comment
<< Home