Tersenyum Karena Berbagi

Meta pikiran kita terkadang sulit menangkap satu dari sekian banyak kearifan dari sesuatu yang kita berikan kepada orang lain. Karenanya, mencari adalah mencari untuk berbagi, sampai kita dapat terus tersenyum.

31 July 2006

Pengelolaan Zakat di Mata Megawati

Pengelolaan Zakat pasca pemerintahan Gus Dur telah mendapat tanggapan istimewa, yakni seruan secara formal oleh Presiden. Pada acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Istiqlal (1/12/2001), Megawati berkata: “Dalam bulan ramadhan yang penuh berkah dan ampunan ini, saya kira sangat tepat waktunya untuk meningkatkan gerakan sadar zakat. Zakat itu, apalagi sebagai bagian upaya untuk mempercepat pengentasan kemiskinan”. Lebih lanjut dia menyatakan “melalui BAZ, saya berharap kita dapat mengelola zakat dengan prinsip-prinsip yang modern, terbuka, dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat”. (Republika, 2/12/2001).

Menurut penulis, respons ini merupakan dampak dari pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan pada sisi lain sebagai rembesan dari tranformasi (nilai) Islam ke dalam realitas sosial yang melingkupinya. Dua sisi ini, pada gilirannya menjadikan zakat bukan seruan agama ansich, tapi merupakan proses objektivikasi nilai Islam yang akan memancarkan rona-rona inklusif dan universal.
Kata “zakat” berasal dari bahasa arab, yang artinya adalah pembersihan dan pensucian.

Idealnya, prilaku sadar zakat merupakan proses pensucian diri dari penyakit spiritual yang meliputi budaya korupsi, boros, dan kikir. Dengan gamlang al-Qur’an melarang pendapatan harta dengan cara bathil/korup (QS 4:29). Begitu juga, mengutuk tradisi berfoya-foya dalam membelanjakan harta (QS 7:31) dan terus beramal dalam waktu susah dan senang (QS 17:29). Inilah, yang membedakan zakat dengan kebiasaan money loundry yang dilakukan oleh para koruptor/penjahat dengan bantuan sosial dan menitipkan pesan pada penerimanya, “seolah-olah ada yang beramal saleh !”.
Tansformasi Islam

Menurut Kontowijoyo, zakat merupakan pemusatan akan keimanan terhadap Tuhan dan responsibilitas seorang muslim atas perjuangan untuk kemuliaan peradaban manusia (Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Mizan, 1998). Prinsip humanisme teosentrik inilah, yang kemudian akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.

Baginya, nilai Islam selalu akrab dengan pembelaan atas kaum mustad’afin yang secara ekonomi, sosial, politik, dan kultural telah tertindas oleh golongan dzalim (penindas). Dengan berzakat, Islam menghormati prinsip-prinsip egaliterianisme yang menempatkan manusia “seakan” tidak berkelas sosial. Pada kata lain, Syari’at Islam selalu mengusung misi socially provitable bagi semua lapisan masyarakat tanpa memandang etnis, budaya, dan bangsa tertentu (rahmatan lil’alamin).
Dalam konteks ini, ajakan Megawati tidak hanya dipahami sebagai retorika politik, berkaitan dengan ritusnya bulan ramadhan. Lebih dari itu, dapat dibaca sebagai refleksi keutamaan berzakat secara empiris/aktual. Dus, ada relevansinya dengan fungsi pengelolaan zakat pada UU. No.38/1999, yang sengaja diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pranata keagamaan (Islam). Sejatinya, pengelolaan zakat secara otomatis bisa tercerabut dari statusnya sebagai formulasi syari’at Islam (grand teory) yang terkesan simbolik/ekslusif dan pada gilirannya menjadi aksi yang kongkrit di lapangan (midle range teory).

“Gerakan sadar zakat” mendapat momennya di tengah krisis ekonomi, maraknya kasus korupsi (diduga kuat melibatkan public servant)‎‎‎‎‎, dan tingginya daftar kekayaan pejabat. Kampanye ini, secara otomatis akan melekat pada setiap individu yang telah “dimanjakan” oleh fasilitas-fasilitas negara. Bentuknya, meliputi tunjangan gajih, kesehatan, perumahan, dan lainnya. Secara lebih luas, akses mereka atas sumber daya sosial, ekonomi, politik, dan kultural telah berbanding terbalik dengan kemampuan rakyat.

Pengelolaan Zakat, seharusnya berangkat dari pembelaan rakyat yang berada dalam kondisi “kemiskinan struktural”. Hendaknya, ketimpangan itu bisa diselesaikan dengan pendistribusian zakat secara merata. Karena Islam mengidealkan sumber daya sosial-ekonomi yang tidak terpusatkan pada sebagian golongan tertentu. Zakat itu berintikan keadilan, melalui distribusi harta yang dapat menjamin standar kehidupan bagi segenap lapisan masyarakat (QS 9:34). Namun, pada saat yang sama Islam tetap memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mencapai keunggulan ekonomi seoptimal mungkin.

Pada proses pembentukan akhlak, berzakat secara otomatis akan melahirkan kesalehan sosial –meminjam istilah Prof Nurcholis Madjid– yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan universal. Bagi Cak Nur, kesalehan seorang muslim dalam konteks kekinian harus berusaha menghindar dari kesalehan formal (formal piety) yang hanya menorehkan sikap dan prilaku individualistik tanpa diiringi oleh kepedulian sosial (30 Sajian Rohani ; Renungan di Bulan Ramadhan, Mizan, Bandung, 1998). Para ulama ujarnya, kerap kali menafsirkan ayat 3 dari surat al-Ma’uun, sebagai penolakan atas kasalehan yang tidak dibarengi oleh dimensi konsekuensal (turutan) untuk merespons rintihan fakir-miskin di sekelilingnya.

Dengan pandangan ini, maka “Gerakan Sadar Zakat” dapat dilihat sebagai tranformasi nilai Islam ke dalam sistem sosial masyarakat. Ia akan bersifat substantif/inklusif yang diartikulasikan dalam setiap prilaku sosial umat muslim yang otentik. Dengan berzakat, seorang tidak lagi terbebas dari beban-beban teologis yang bersifat ritual, tapi sekaligus mengkonsentrasikan dirinya pada penyelesaian problem-problem sosial di masyarakat.

Modernisasi

Adapun proses modernisasi terhadap pengelolaan zakat dalam UU No. 38/1999, dapat diurai menjadi; institusionalisasi Organisari Pengelolaan Zakat, pengawasan pengelolaan, dan pendayagunaan dana zakat. Runutan pijakan yuridisnya bisa ditilik pada hal-hal berikut ini.

Pertama : dalam pasal 6 dan 7 UU zakat, telah ditentukan bahwa masyarakat dapat membuat Lembaga Amil Zakat dan pemerintah dengan semua jajarannya dapat membuat Badan Amil Zakat. Dengan ini, secara matang dan terencana pembentukan Organisasi Pengelola Zakat (LAZ/BAZ) telah melibatkan elemen pemerintah dan masyarakat sehingga institusionalisasi OPZ menjadi legitimate.

Kedua : Pengawasan akan kwalitas pengelolaan dana zakat secara gamlang telah ditentukan dalam UU No.38/1999. Kesemuanya dapat dipadatkan menjadi, peran akuntan publik (pasal 18), laporan tahunan kepada DPR/D (pasal 19), pengelolaan diletakkan dalam ruang publik/public sphare (20), dan pemberian sanksi pidana penjara tiga bulan serta denda 30 juta untuk tindakan penyalahgunaan dana zakat (pasal 21).
Ketiga : pendayagunaan dana zakat pada preambul “Menimbang” huruf b UU Zakat, lebih didasarkan pada aspek penarikan zakat --dari orang-orang yang kena wajib zakat— untuk golongan ekonomi lemah. Alokasi dana zakat, biasanya bersifat langsung untuk fakir-miskin (cherity) dan berbentuk “dana produktif” bagi sektor ekonomi real.

Penutup

Potret modernisasi di atas, menurut hemat saya telah mendekritkan prinsip-prinsip akuntabilitas yang selalu diterapkan pada dana yang dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku –termasuk zakat. Dengan dikenakan sanksi, pengelolaan zakat seperti yang dimaksudkan Presiden akan menemukan bentuknya dalam lanskip law inforcement di Indonesia. Nantinya, kepercayaan masyarakat secara bertahap akan terus meningkat. Wa Allahu aqwami al-thariq

Amandemen UU Zakat

Undang-undang No. 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat telah memberikan kewenangan kepada pemerintah dengan pembentukan Badan Amil Zakat dengan semua tingkatannya (pasal 6) dan masyarakat untuk membuat Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Institusional building bagi pengelolaan zakat, direpresentasikan pada dua elemen yang satu dan lainnya mempunyai konsen atas pemberdayaan ekonomi rakyat. Wadah pengelolaan yang terpolakan pada dua sudut itu, tidak menutup kemungkinan untuk saling melengkapi dan dapat juga melahirkan irisan kepentingan.

Artinya, sengaja atau tidak akan melahirkan arah yang berhadap-hadapan secara diametral. Secara sosiologis, masyarakat muslim tidak bisa melepaskan dari hasrat pengabdian akan kondisi ekonomi di sekelilingnya. Dan pada saat yang bersamaan, pasal 34 UU’45 menentukan pemerintah memelihara fakir-miskin dan orang terlantar. Lebih dari, itu satu dan lainnya mempunyai kekurangan dan kelebihan dalam proyeksi optimalisasi zakat. Pihak swasta tidak mempunyai matrik birokrasi sementara pihak pemerintah pun belakangan ini mulai terkena erosi akuntabilatas. Daftar kasus korupsi yang mulai terlihat kasat mata sedikit banyak telah menempatkan pemerintah sebagai yang patut diamati.

Dalam perkembangannya seringkali dibingkai dengan platform “fastabiqu al-khairaat” (berlomba-lomba dalam kebaikan). Namun, nuansa kompitisi ini terlihat belum mewujudkan penyatuan dan penyamaan orientasi dalam pengelolaan zakat. Secara politis, basis pergerakan masyarakat berada pada kisaran mobilitas horizontal antara sesamanya. Sementara pihak pemerintah, lebih pada konsolidasi vertikal bersama jajaran birokrasinya dengan melahirkan regulasi yang kemungkinan menguntungkan pengelolaan zakat versi pemerintah.

Sarat Kepentingan

Irama persentuhan kepentingan antara BAZ-LAZ mulai diangkat dalam satu tulisan di harian Republika (4/11/2001), dengan judul “Amil Zakat di Persimpangan Jalan” oleh Aep Saepullah. Ia berusaha menyoroti secara jernih bagaimana proses pengukuhan yang diatur dalam pasal 21-24, Keputusan Menteri Agama No. 581/1999 terasa membelit legalisasi LAZ. Menurutnya, dana zakat dari reduksi atas penghasilan kena pajak (pasal 9 huruf g UU No. 17/2000) diyakini sebagai pemicu antusiasme pemerintah akan zakat. Dan pada giliarannya, bermuara pada restrukturisasi LAZ di BUMN-BUMN dan perusahan swasta menjadi Unit Pengumpul Zakat dari Badan Amil Zakat Nasional (Lembaga Pengelola Zakat buatan pemerintah).

Nah, dalam satu acara yang diselenggarakan oleh Institut Menejemen Zakat (IMZ) di Jakarta pada 9 Februari 2002, terekam inisiatif untuk merevisi UU No. 38/1999. Pembicara Drs. Ahmad Roqib, anggota DPR-MPR RI dari fraksi reformasi beserta para peserta, menyoroti tentang peran pemerintah ternyata berkaitan erat dengan kapabilitasnya yang belum bisa menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan. Lebih dari itu, secara material, UU No. 38/1999 diyakini belum sempurna serta meyumbat pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat.

Amandemen UU Zakat

Adapun point-ponit yang diajukan terdiri dari, pertama : asas equality (persamaan) antara mustahik-muzakki (orang yang berhak zakat dan wajib zakat). Dalam pasal 21 UU Zakat, Amil Zakat yang statusnya sebagai mustahik dikenakan sanksi dengan hukuman pidana kurungan selama 3 bulan dan denda sebesar 300 juta. Sementara muzakki ditempatkan sebagai yang tidak dapat sanksi dan hanya jika melaporkan daftar kekayaannya (pasal 14 ayat 1-2). Artinya, muzakki yang secara syariah diwajibkan dan secara sosial agar sadar atas realitas kemiskinan, seolah diberi hati oleh UU Zakat –untuk tidak menyebutnya dilindungi. Padahal keduanya merupakan objek hukum yang harus ditempatkan sama di hadapan hukum sebagaimana laiknya ada pada peraturan perundangan.

Kedua : ketentuan dalam UU No. 38/1999 dan UU No. 17/2000 terasa kontradiktif dalam masalah relasi pajak dan zakat. Dalam pasal 14 ayat 3 dinyatakan “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi, zakat dapat mereduksi semua harta muzakki. Di pasal 9 huruf g UU No. 17/2000 hanya ditentukan reduksi zakat atas penghasilan kena pajak. Artinya, relasi dua UU ini melahirkan asumsi : apakah perubahan UU Zakat disesuaikan ke UU Pajak ? UU Pajak diamandemen dan disesuaikan dengan UU Zakat ? dan atau keduanaya harus diamandemen disesuaikan salah satu dengan lainnya. Idealnya, berzakat dapat mengurangi semua beban pajak seperti di Malaysia dan atau mengurangi kewajiban pajak layaknya di Saudi Arabia.

Ketiga : masalah pemusatan pengelolaan zakat pada satu badan yang lebih dikenal dengan istilah Central of LPZ. Nah, yang diyakini, kemungkinan direpresentasikan oleh sosok Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang sudah terbentuk belakangan ini. Basis argumen pembuatan BAZNAS diadreskan pada tafsiran normatif-otentik, bahwa yang berhak memaksa adalah otoritas negara (pemerintah). Hanya saja di tengah kepercayaan yang belum terbentuk secara kuat dan rapih, maka inisiatif ke arah itu tidak mustahil mengundang nada kritisisme. Ironisnya, secara faktual-institusional telah hadir di lapangan sosok Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat dan lainnya. Lalu, apa yang akan dilakukan ? peleburan institusi zakat ke BAZNAS atau penggabungan laiknya “marger bank”.

Keempat : Amandemen UU Zakat harus dilakukan dalam ruang publik (public sphare) yang memungkinkan pelibatan seluruh elemen bangsa dan bermuara pada UU Zakat yang bercorak responsif. Ia sebagai hasil dari pembuatan hukum positif (iusconstititum) yang sedapat mungkin menyerap hukum-hukum yang hidup dalam setiap denyut kepentingan masyarakat (iusconstituendum). Karenanya, tidak bersifat top down yang selalu meyebabkan corak produk hukum konserfatif/ortodok. Dus menciptakan langgam otoriterianisme dalam corak dan bentuknya yang baru, tidak terkecuali dalam agenda penegakan Syariat Islam.

Penutup

Empat problem tersebut, menurut hemat penulis merupakan kondisi empiris yang patut diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Alih-alih mengusulkan amandemen UU Zakat, malah yang terjadi adalah vested intress yang kontra produktif. Seringkali perkembangan agregasi kepentingan dalam politik hukum tersimulkan pada level elit dan dikompromikan dengan membagi “lahan pengelolaan”. Patut dilacak oleh semua elemen yang terlibat akan domokratisasi dalam reformasi hukum itu masih mengandung resiko coba dan salah. Apalagi umur UU Zakat tidak cukup untuk ditilai secara seksama berkaitan dengan implementasi di lapangan. Tanpa menaruh kecurigaan, yang lebih penting dari itu adalah para fakir-miskin yang tidak berakses cukup terhadap amandemen UU Zakat. Wa Allahu ‘alam bi al-shawâb

Zakat-Pajak Bagi Kemandirian Ekonomi Umat

Dalam harian Republika (22/03/2002) dilansir berita tentang SPT yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak untuk merespon reduksi zakat atas pajak yang ada dalam pasal 9 huruf g Undang-undang No. 17/2000 tentang Pajak Penghasilan. Bunyi pasal tersebut adalah “kecuali zakat yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang didirikan atau disahkan oleh Pemerintah”. Meskipun tidak sepenuhnyan memuat ide akan persamaan paradigmatik zakat-pajak untuk keserjahteraan rakyat sebagai yang digulirkan oleh Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1990), akan tetapi satu titik fungsionalnya telah termuat dengan adanya reduksi zakat atas penghasilan kena pajak.

Sementara itu dalam UU. No. 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat Pasal 14 ayat (1), dipaparkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi secara yuridis kehadiran relasi Pajak-Zakat sudah termaktub ketika Undang-undang Pajak dan Zakat hadir. Tinggal bagaimana menyediakan peraturan organik yang bisa menjamin tentang pemungutan yang menyatu dan atau diketahui oleh pihak yang berkepentingan.

Nah, setelah itu terealisir dalam tahun ini, maka yang menjadi sorotan kita adalah prihal Lembaga Pengelola Zakat yang berhak memungut dan menyalurkannya. Ini karena, untuk menunjang kemandirian ekonomi umat sebagai proyeksi strategis yang bisa diemban oleh pemerintah bersama masyarakat yang concorn tehadap pengelolaan zakat. Sehingga integrasi zakat dalam sistem hukum nasional akan bermuatan positif pada sektor ekonomi kerakyatan yang cendrung tersudutkan semasa rezim orde baru dengan memanjakan pelaku ekonomi kelas kakapnya itu.

Fungsi Ideal Zakat

Elan vital zakat dalam basis subyektif normatifnya (QS 9:60) secara gamlang dialamatkan pada para fakir-miskin yang nyata-nyata sebagai unsur dominan dalam struktur masyarakat Indonesia. Dalam pada itu, penguatan sistem ekonomi akan merimbas secara paralel tanpa menorehkan sedikit pun akan maenstream ekslusivisme berkaitan asas personalitas ke-Islaman. Dengan berzakat, tidak dimaksudkan untuk menguatkan ekonomi masyarakat muslim ansich, tapi sebagai sumbangan bagi ekonomi nasional secara keseluruhan.

Sejatinya, pemanfaatan dana zakat itu diletakkan pada dasar kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karenanya, penguatan sistem ekonomi akan bermakna kebangsaan bukan spirit religuitas semata. Jika problem relasi-pajak dikaburkan dengan kecurigaan atas pembongkaran kembali trauma piagam Jakarta dan atau konspirasi anti Islam misalkan, menurut hemat penulis tidak akan menghasilkan out-put yang positif atas keterdesakan penguatan ekonomi itu.

Dalam konteks inilah, legislasi reduksi zakat atas pajak tidak relavan untuk dikatakan sebagai yang mengundang kecemburuan golongan agama lain. Kalaupun, dipahami dengan kerangka politik hukum, ia merupakan representasi masyarakat muslim yang menurut jumlahnya adalah mayoritas. Betapapun demokratisasi hukum selalu saja menoleh pada pluralitas agama, namun secara sosial-politik, nyata-nyata demokrasi representatif –meminjam istilah Amin Rais—tidaklah bisa diabaikan begitu saja. Artinya, demokratisasi yang diusung dalam kehidupan nation-state kita tidaklah bijaksana, jika menegasikan pemuatan nilai hukum yang korelatif dengan hajat kemandirian ekonomi masyarakat.

Kewenangan Pengelola Zakat

Dalam kedua klausul dari UU Pajak dan Zakat di atas, Organisasi Pengelola Zakat yang berwenang mengelola dana zakat sebagai reduksi pajak adalah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Institusi-institusi zakat itu secara yuridis termaktud dalam pasal 6 UU Zakat sebagai legalisasi BAZ yang dibuat oleh pemerintah dan pasal 7 UU Zakat bagi LAZ yang dibuat oleh masyarakat dengan pengukuhan pemerintah. Nampaknya, pemuatan keduanya, menurut hemat penulis telah sengaja diarahkan lebih pada pendayagunaan dana zakat. Sehingga menciptakan irama pengelolaan yang serasi dan selaras dengan nafas UU Zakat dan UU Pajak yang telah disahkan.

Hanya saja, otoritas pemerintah untuk proses pengukuhan sebagai yang diatur dalam pasal 21-25, Keputusan Menteri Agama No. 581/1999, mengandung problem birokratis dan politis. Dan ini, pernah diangkat dalam oleh saudara Aep Saepullah dengan judul artikel“Amil Zakat di Persimpangan Jalan” ( Republika, 4/9/2001). Bangunan analisis yang disodorkan oleh AS seharusnya direspons secara secara positif oleh pemerinah. Bahwa law enforcement dalam proses institusional building zakat tidak disunat hanya karena persoalan pragmatis berkaitan dengan bumingnya jumlah dana reduksi zakat-pajak itu. Karena konspirasi anti pengukuhan yang mengendus ke permukaan mempunyai ekses yang kontra produktif dengan dasar pasal 7 UU Zakat.

Padahal peran masyarakat yang dalam hal ini diadreskan pada LAZ yang telah dan akan berdiri, tidak cukup untuk dikatakan sebagai yang kurang accounable dan legitimate. Kalau secara prosedural LAZ-LAZ itu mengajukan sederet “daftar kesehatan lembaga” (KMA pasal 21) kenapa mesti dipasung ?. Toh, BAZ juga mempunyai kedudukan sama berkaitan dengan akuntabilitas dan legalitasnya. Inilah kemudian, yang seharusnya dijadikan dasar oleh pemerintah untuk tidak “terlalu membelit” pengukuhan yang sedianya didapatkan oleh LAZ. Pemerintah juga, jangan bersikap over conviden untuk menyatakan LAZ sebagai institusi yang berada pada labirin under estimate. Lebih baik diserahkan pada kontrak yuridis, bahwa keduanya akan tetap dikenai sanksi (pasal 21 Zakat) jika menyunat dana zakatnya. Jadinya, law enforcement atas zakat yang diterapkan akan menaikkan statusnya sebagai yang bersifat karikatif (anjuran) semata menjadi wajib.

Kemandirian Ekonomi Umat

Dengan menempatkannya secara proforsional dan konstitusional, agenda kemandirian ekonomi umat tidak terkorbankan oleh konspirasi pengukuhan LAZ. Urgensi penguatan ekonomi kerakyatan yang bisa dibangun oleh BAZ/LAZ lebih tinggi takarannya dibandingkan dengan tarik ulur kewenangan kepengelolaan zakat. Jutaan rakyat miskin menanti donasi yang cepat dan tidak perlu dibingkai dengan ambiguitas kepentingan pengelolaan. Satu sisi pemerintah mengusung agenda reformasi ekonomi, tapi pada saat yang bersamaan menyumbat aspirasi masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan zakat.

Lebih dari itu, secara faktual-empiris ada beberapa program pendampingan unit usaha kecil yang bisa dilakukan oleh BAZ/LAZ. Dan itu, akan menunjang sirkulasi ekonomi yang sehat dan berkeadilan. Tanpa meyerahkan secara proporsional dan konstitusional terhadap kewenangan BAZ/LAZ, tuga-tugas strategis ini akan tersumbat di tengah himpitan kepentingan yang kontra produktif. Harga sebuah konfigurasi kepetingan dibalik kedok birokrasi dan politisasi pengukuhan, bisa jadi membelenggu penyaluran dana zakat untuk para pelaku usaha kecil di Indonesia itu.

Karenanya, relasi pajak-zakat yang sekarang akan dilakukan mendapat momentnya untuk membangkitan kembali ekonomi kerakyatan, ketika himpitan krisis ekonomi nasional masih membelit masyarakat muslim kita yang belum juga usai pasca krisis moneter tahun 1997-han. Sehingga inisitif pembuatan peraturan perundang-undangan zakat akan meratakan jalan bagi kemandirian ekonomi umat yang kita harapkan bersama. Dan itu, menjadi tanggung jawab yang harus diemban oleh Lembaga Pengelola Zakat (BAZ/LAZ), yang diatur dalam Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Undang-undang No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan. Wa Allahu ‘alam bi al-shawab

Meneguhkam Misi Kemanusiaan Zakat

Dalam bukunya yang terkenal dan mengalami sampai lima kali cetak, DR. Alwi Syihab menuturkan tentang korelasi kuat antara institusi zakat dan upaya pengentasan kemiskinan (Islam Inklusif, Cet ke-5, Mizan, Bandung, 1999). Dia mengutip QS Al-Taubah 9 : 60, yang menentukan beberapa golongan masyarakat yang menjadi mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Dari penelusurannya akan ayat itu, disimpulkan bahwa sasaran zakat kepada para fakir-miskin dan tidak berkecukupan serta menanggung utang merupakan manifestasi dari social welfare (kesejahteraan sosial) dengan mengatur distribusi penghasilan dan kekayaan. Dengan berzakat menurutnya, hendak diwujudkan pemerataan penguasaan akan sumber daya ekonomi dan tidak terpusatkan pada sebagian kelompok tertentu saja.

Jika diselesik, institusi zakat merupakan responsibilitas Islam akan problem kemananusiaan universal. Secara individual seseorang akan dibersihkan (tutharrihum) dari sikap boros dan kikir, lebih dari itu untuk menata sistem ekonomi yang kuat (watuzakkiihim) agar terhindar dari sistem oligopoli dan monopoli (QS 9 : 103). Islam menurut Kontowijoyo, adalah agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (theosentrik), namun mempunyai korelasi kuat dengan arus balik persoalan-persoalan sosial (humanisme) yang melingkupi masyarakat (Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998).
Lanskip theosentrik-humanisme, menurutnya, telah menempatkan institusi zakat bukan semata motivasi ayat-ayat dalam al-Quran sebagai turunan dari kehendak-Nya, akan tetapi secara mendasar terkandung di dalamnya akan upaya pengentasan kemiskinan agar tercipta kehidupan yang layak dan berkeadilan. Ia bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan salah satu dari lainnya. Sehingga, bagi seorang muslim zakat merupakan donasi yang mempunyai nilai ritus dan sosial sekaligus.

Kesalehan Sosial

Seorang muslim yang mengkonsentrasikan dirinya hanya pada ibadah yang bersifat individual, sebenarnya tidak akan meraih status optima forma, yakni ketakwaan yang selalu diinformasikan sebagai prestasi bagi umat yang taat. Hal ini sebagaimana seringkali ditekankan oleh cendekiawan muslim DR. Nurcholish Madjid, yang menyitir surat al-Maun ayat 1-3 sebagai penolakan dari kesalehan individual yang tidak memperdulian akan misi kemanusiaan secara universal (30 Sajian Rohani, Mizan, Bandung, 1998).

Kesalehan sosial sangat klop dengan kampanye pengentasan kemiskian yang digembar-gemborkan di media cetak dan atau elektronik. Dengan kata lain, menurut bahasa Kontowijoyo, berzakat merupakan pembelaan akan kelas mustad’afin (tertindas). Progresifitas zakat terletak pada pembebasan kelompok masyarakat yang secara ekonomi, politik, sosial, dan kultural telah tertindas oleh kelompok dzalim (korup) yang diduga kuat sengaja atau tidak telah dan akan menciptakan ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi.

Dengan kesalehan sosial, sistem ekonomi yang diproyeksikan oleh institusi zakat adalah sistem yang sehat secara sosial dan menjauhkan dari penumpukan harta oleh sebagian kelompok tertentu. Sistem ekonomi yang timpang kerapkali menimbulkan kesenjangan ekonomi pada struktur kehidupan masyarakat. Di Indonesia, kecendrungan akan hal itu sering diistilahkan dengan “Kemisikinan Struktural”.
Pada kondisi ini, golongan ekonomi lemah seringkali sulit mengakses sumber daya ekonomi, meskipun mereka mempunyai kemampuan dan keinginan ke arah itu. Karena pada saat yang bersamaan sistem ekonomi yang tersedia, memaksa dirinya untuk terus menerus menjadi miskin !. Mereka sebagai entitas yang stagnan dan pasif karena struktur kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungannya, tidak menyediakan ruang yang memadai bagi dirinya,

Pengentasan Sistemik

Kemiskinan dalam kondisi sedemikian mempunyai corak dan sifat yang kompleks. Para fakir-miskin dalam struktur sosial, terpaksa menjadi kemunitas yang lemah ketika berhadap-hadapan dengan kepentingan kelompok yang lebih kuat secara ekonomi dan politik. Tak pelak lagi, kecuali penyelesaian yang dilakukan dengan distribusi langsung sebagai bentuk charity, juga dengan pengentasan secara sistemik yang menyentuh akar persoalan dari sebuah kemiskinan. Kalau tidak, malah melestarikannya!.
Distribusi zakat pada sektor produktif, kelihatannya merupakan mekanisme yang efektif dalam menata kembali sistem ekonomi yang secara mendasar telah melahirkan ribuan rakyat miskin. Dengan demikian, akan menciptakan sistem ekonomi yang memberikan penguasaan akan sumber daya ekonomi pada perseorangan dan atau kelompok yang sehat dan berkeadilan.

Dalan setiap harta yang dimiliki terkandung di dalamnya bagian fakir-miskin. Jika tidak dibersihakan, akan membuatnya bathil dan disinyalir akan mendatangkan kerugian. Begitu juga, secara kasat mata struktur penguasaan akan sumber daya ekonomi menghasilkan kesetaraan peran pada sektor produksi dan distribusinya. Sehingga, secara imaniyah harta itu suci serta halal untuk dikonsumsi dan secara sosial ia memancarkan hubungan ekonomi yang sehat.

Zakat merupakan simbol dari fiscal policy sebagai sarana pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menciptakan mekanisme yang bersifat built-in untuk tujuan pemerataan penghasilan dan kekayaan. Di samping itu ketentuan zakat berupa prosentase dari nishab dan bukan jumlah uang tertentu, juga menunjukkan betapa sistem ini tidak akan terpengaruhi oleh krisis ekonomi. Seperti halnya di Malaysia yang berhasil menjadikan dana zakat sebagai katup pengaman (savety valve) dari terpaan krisis ekonomi dan tidak bergantung pada bantuan dari IMF.

Egaliterianisme

Di tengah rakyat Indonesia yang masih terkungkung oleh “kemiskinan struktural” maka penghilangan oligopoli dan monopoli akan ditengarai oleh institusi zakat. Pergerakan kelas yang hendak diemban dengan institusi zakat adalah membebaskan kelas lemah dari ketertindasan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam maknanya yang luas. Karena institusi zakat tidak berhenti pada tataran normatif yang disinyalir akan melahirkan sikap sosial yang profan, akan tetapi pada tataran obyektif-empiris yang
diproyeksikan untuk meraih egaliterianisme dalam setiap tindakan ekonomi.

Kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugrahkan Tuhan, mendapat perhatian yang serius. Karena, ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam yang mempunyai nilai ritual dan sosial. Jika, secara syariah keberadaan dan pemanfaatan harta diradang masalah dan tidak menanggung kesejahteraan sosial maka seorang muslim diwajibkan untuk tidak memanfaatkannya.

Perbedaanya dengan pergerakan kelas Marxisian, institusi zakat tidak menghendaki diktator proletariat dan merampas hak kaum berjuis untuk menciptakan kesetaraan dan memasung hak individu dalam upaya meraih keutamaan dalam aktifitas ekonomi. Institusi zakat mengemban pembebasan kelas yang berorientasikan pada kesehatan harta dan pengakuan atas prestasi setiap individu. Sehingga setiap orang boleh mengerahkan segala usahanya, asal saja mengakui urgensi pengentasan kemiskinan.

Sebagai penutup, dengan institusi zakat, ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi yang akan melahirkan kemiskinan akan direduksi secara bertahap. Namun, ia tidak bermaksud menciptakan pergerakan kelas yang mengancam kelas-kelas sosial lain yang lebih tinggi hak penguasaannya akan sumber daya ekonomi. Ia berangkat dari pembelaan kepentingan kelas mustad’afin dengan tetap menghormati usaha keras setiap individu dan atau kelempok masyarakat untuk mendapatkan keutamaan harta. Wa Aaalahu ‘alam bi al-shawab

Sekali lagi, Zakat sebagai Misi Sosial

Dalam syari’at Islam, ditetapkan sejumlah golongan yang berhak mendapatkan harta zakat, yaitu fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat (amilin), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (pemerdekaan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang berjuang (QS : 9 : 60). Di mana fakir-miskin ditempatkan pada urutan awal, yang menyiratkan prioritas terhadap distribusi dana zakatnya. Dari sini, agaknya kimiskinan merupakan kondisi sosial yang mesti dicarikan jaminan secara tegas terhadap usaha pengentasannya.

Persoalannya kemudian, apa kriteria fakir-miskin itu? Bagaimana cara pendistribusian zakatnya? Apakah UU Zakat telah menjamin hak fakir-miskin dari zakat yang telah terkumpul? Dari sinilah kemudian bisa diungkap aspek “socially profitable” yang terkandung dalam UU Zakat.

Sebenarnya, fakir dan miskin mempunyai arti sama, yaitu orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yusuf Al-Qordowi dalam bukunya “Hukum Zakat” (Bandung, Mizan 1991) telah memberi penjelasan berikut ini : (a) fakir adalah orang yang tidak sanggup mencari nafkah karena keadaan biologis yang menjadikannya nonfroduktif, baik karena usia dan lainnya seperti orang tua dan orang cacat. Mereka harus dijamin kebutuhannya dengan sistem gaji yang diambil dari dana zakat.(b) miskin adalah orang yang dapat bekerja dan mencari nafkah tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan kehidupannya. Seperti petani, pedagang, dan tukang. Mereka memerlukan modal untuk memajukan usahanya yang bisa diambil dari dana zakat.

Akhir-akhir ini, ada sinyalemen terhadap distribusi dana tanpa konsesi ekonomis sebagai yang menimbulkan kehawatiran pada sebahagian pengelola ZIS (Zakat, Infak dan Shadakoh). Hal mana objektifitas dan efesiensi dalam menejemen pengelolaan telah menjadi alasan kuat untuk memilih sektor riil. Langkah taktisnya berupa pemberdayaan “mustahik sehingga dapat menjadi muzakki di kemudian hari”. Hal ini pada gilirannya melahirkan bentuk “dana produktif” yang disiapkan untuk membantu sektor ekonomi dalam masyarakat. Penomena ini pada satu sisi merupakan kemajuan yang cukup berarti atas perputaran dana zakat, namun pada sisi lain akan mempengaruhi kebijakan pengelola terhadap keberadaan dana segar yang sedianya dipersiapkan untuk para fakir-miskin.

Sementara itu dalam pasal 16 UU Zakat telah dinyatakan tentang ketentuan mustahik (orang yang berhak atas) zakat yang diatur menurut Syariat Islam. Dan tujuan dari pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZ (Badan Amil Zakat) adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur (pasal 5). Konkritnya, sekian banyak orang yang berada di bi bawah garis kemiskinan harus dijadikan prioritas oleh para pengelola zakat di Indonesia. Agar hal itu tidak mengganggu struktur sosial masyarakat sebagai prasarat terwujudkannya kepentingan umum yang merata.

Lihat misalnya pesan Nabi SAW kepada Muadz bin al-Jabal ketika akan diutus ke Yaman, “beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan sedekah (zakat) atas harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya lalu diberikan lagi kepada fakir-miskin dalam golongan mereka”. Dari sini, peran zakat dalam pembangunan masyarakat, pada dasarnya, lebih merupakan dana segar yang disediakan untuk menjamin keteraturan ekonomi yang diciptakan oleh dan untuk umat.

Memang, hakikat dari pensyariatan zakat, seperti dikemukakan Abu al-‘ala al-maududi dalam bukunya “ushushu al-iqtishad baina al-islam wa munadzimi al-mu’ashirah”, adalah mencegah penumpukan harta oleh sebagian anggota masyarakat. Islam tidak menginginkan adanya harta yang melimpah tanpa dibarengi dengan mengeluarkan zakat sebagai hak fakir miskin.

Jika keberadaan “dana produktif“ itu merupakan konsekuensi dari strategi pendayagunaan zakat, maka hal ini ada kemiripan dengan “modal” dalam sistem ekonomi konvensional. Tapi, harus tetap dibedakan dalam operasionalisasinya. Sebab, pendistribusian dana zakat lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakat sebagai basis legitimasinya. Sedangkan sistem kapital lebih memposisikan pemilik modal sebagai pemegang otoritas “cost and reword”. Sehingga dalam hal ini, si pemilik modal akan mempertimbangkan untung dan rugi, sedangkan muzakki lebih mengedepankan naluri keimanan, yaitu keridhaan-Nya.

Menimbang kedua perbedaan di atas, maka pengentasan kemiskinan sebagai bagian dari kepedulian atas kepentingan umum tidak akan lepas dari basis idiologisnya. Kalau pun pada satu saat muzakki mengalami bangkrut, dia tidak akan dibiarkan begitu saja. Tetapi akan diperlakukan sebagaimana orang yang pernah dia bantu. Berbeda dengan persaingan keras dalam dunia perburuan laba, kemitraan adalah keuntungan bukan aksi sosial.

Sebagai catatan akhir, apabila menginginkan rekonstruksi pendayaguanan dana zakat, maka kita harus tetap mengedepankan hak fakir-miskin seperti yang dilansir dalam al-Qur’an dan hadits rasul.

Maulid Nabi bagi Kepemimpinan Nasional

Maulid nabi yang setiap tahun diperingati adalah memont untuk mengingat pentingnya keteladanan dalam kepempinan. Misinya adalah adalah merubah komunitas yang menjadikan patung-patung sebagai sesembahan (syirik) dan meremehkan harkat kemanusiaan (baca masa jahiliyah). Tidak ada takaran etnis, turunan, kekuasaan, dan pebudakan yang menjadikan orang mulia atau tidak. Tapi ditentukan oleh kasalehan individual dan sosial bagi Tuhannya, dirinya, dan masyarakatnya.

Muhammad adalah anak muda mekkah yang sangat dihormati karena kecakapan moralitasnya. Gelar yang diberikan oleh masyarakat makkah adalah al-amin, yang berarti 'orang yang dipercaya'. Pesona nabi tidak berhenti di situ. Setelah menjadi rasul, titah-titah yang ditahbiskan, meski awalnya banyak penentang tapi pada proses selanjutnya berhasil menciptakan masyarakat manusiawi. Ini disebabkan oleh pola kepemimpinan yang ditopang oleh keteladanan yang dia perankan.

Misi sosial-politik nabi

Adalah Nurcholis Madjid (Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, 1999), seorang cendekiwan muslim yang menawarkan konsep 'masyarakat madani' yang dia padatkan dari pengalaman nabi ketika menata umatnya dengan 'piagam mandinah'. Sistem sosial-politik yang digarap oleh Muhammad itu berasaskan pada keadilan, keterbukan dan demokratisasi. Sepertinya Cak Nur menginginkan ini bisa dilakukan untuk mendisain ulang kehidupan berbangsa dan bernegara pasca rontoknya orde baru.

Yang hendak digapai dengan piranti moralitas ini adalah kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan yang suci dengan misi profetik; menjaga kedamaian di muka bumi. Karenanya, kalau saja prilaku tidak menjadi titik strategis dalam misi kenabian itu, konstruksi sosial masyarakat muslim waktu itu tidak akan terbentuk seperti yang kita temukan dalam sejarah Islam. Nabi adalah sebagai arsitektur sekaligus 'pemimpin proyek pembangunan' dari paradaban yang untuk ukuran zamannya sangat modern.

Ketiga asas yang ditawarkan itu, belakangan menjadi populer di tengah retorika para pemimpin kita. Baik itu semasa kampanye maupun setelah menjalankan roda kepemimpinannya. Kita menyaksikan semua aktor kekuasaan fasih meneriakkan keadilan, keterbukaan, dan demokratisasi. Mereka juga menyadari bahwa seleksi yang mengantarkannya ke kursi empuk kekuasaan diarahkan untuk mengamalkan ketiga nilai luhur tersebut. Sumpah jabatan pun ramai-ramai diucapkan lengkap dengan penyematan 'tanda berkuasa' dengan suasana yang meriah.

Namun, kita menerima kenyataan yang menyakitkan. Betapa tidak, dengan mayoritas penduduk muslim yang mempunyai nabi dan tatanan nilai begitu paripurna (Al-Quran-hadits), praktek kekuasaan menyayat nilai-nilai kepemimpinan Muhammad. Apa yang ditahbiskan oleh para pemimpin dengan 'nilai-nilai ideal' tadi tak lebih dari manisnya kata-kata dan janji-janji yang memuakkan di podium kekuasaan.
Di tengah kesenjangan ekonomi, praktek kemewahan kekuasaan masih terlihat kasat mata.

Tokoh-tokoh masyarakat yang tadinya dikenal bersih dan sekarang mendapat kesempatan di tampuk kekuasaan tidak sedikit yang diduga terlibat korupsi, bahkan telah divonis tindak pidana korupsi. Seleksi pemimpin yang terbilang demokratis itu, sepertinya gagal menghantarkan 'tokoh-tokoh panutan' menjadi pemimpin yang tetap pada komitemnya untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat. Bahkan, peringkat negara terkorup pun masih kita sandang.

Hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara dibanjiri oleh praktek yang tidak mencerminkan keteladanan. Rakyat kecil yang tadinya berharap akan hadirnya wibawa kekuasaan di masa reformasi, ternyata perubahan yang terjadi sekedar lips service. Pelayanan kepentingan rakyat pun tidak berubah banyak dibandingkan masa-masa sebelumnya. Sepertinya mereka tidak merasakan makna perubahan yang kerap manis diutarakan para pemimpinnya.

Refleksi Strategis

Lalu kita bertanya, apa yang tidak benar ?, padahal secara teologis dan demografis umat Islam Indonesia memungkinkan untuk menata sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Sedianya, meminjam analisa Cak Nur, berbicara Indonesia dalam konteks pembangunan adalah bicara Islam itu sendiri. Karena Islam menyediakan hamparan nilai yang ideal dan realitas sebagai mayoritas. Lebih dari itu, perlahan tapi pasti, komunitas 'santri modern' mulai menapak tampuk kekuasaan. Ini terjadi sebagai konsekuensi pematangan teolgisnya untuk menciptakan tatanan masyarakat baru yang adil, terbuka, dan demokratis.

Namun, jangan lupa penyebab penting dari berhasil dan gagalnya pembangunan masyarakat adalah keteladanan para pemimpinnya. Kalau saja maulid nabi dijadikan kacamata untuk melihat secara jernih penyebab penyakit kepemimpinan bangsa, maka letaknya adalah masalah keteladanan. Muhammad itu adalah seorang yang bisa dijadikan contoh dengan baik (al-Ahzâb 33:20). Dalam satu hadits diredaksikan 'sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhaq'. Ia berada pada tingkat teratas bagi umatnya ketika menilai setiap kepemimpinan.

Dia tidak mempunyai pesona dunia yang berlebihan semasa sehidupnya. Tapi kenapa mampu menggerakkan nalar bangsa arab yang tadinya animis menjadi 'manusia tauhid' yang mengkonsentrasikan diri pada nilai-nilai kemanusiaan universal (rahmatan lil 'âlamin) sebagai konsekuensi dari amanah kekhalifahan di muka bumi. Transformasi akhlak ke setiap individu bangsa arab, dilakukan Muhammad tanpa pretensi material yang waktu itu memang jadi tolak ukuran.

Seorang yatim-piatu telah berhasil membalikkan anggapan umum bangsa arab yang cendrung material-animistik kepada pentingnya hidup dan kehidupan untuk Tuhan dan hakikat kemanusiaan, dengan pola kepemimpinan yang bisa ditiru, bukan hanya didengarkan lewat 'titah-titah'-nya saja.
Kondisi sosial-politik zaman Nabi, ungkap Robert Bellah, sosiolog agama terkemuka (Beyond Bilief, 1970), modern dalam hal keterbukaan mengenai kedudukan pemimpinnya untuk dinilai kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalistis. Ini sebagai antitesa dari pola kepemimpinan arab yang berintikan kesukuan, kekerasan, dan prifilage kekayaan. Dalam skala nasionalisme partisipatif dan egaliter, apa yang dirintis oleh Nabi Muhammad, pada prkateknya waktu itu mempunyai tingkat apresiasi yang mamadai.

Hanya saja, ketika zaman nabi berakhir salah satu kelemahan yang terjadi adalah kembalinya sistem kekuasaan pada sistem monarki sesuai dengan dinastinya masing-masing. Inilah yang dapat kita baca bahwa keteladanan dalam melanjutkan estafet kepemimpinan demokratis versi muhammad turun drastis. Hasilnya, lanjut Bellah, kegagalan 'komunitas baru' tersebut adalah kembalinya ke prinsip organisasi pra-Islam.

Tidak sedikit kegagalan sejarah pradaban Islam disebabkan oleh silaunya kekekuasaan dan manisnya limpahan harta pasca keberhasilan ekspansi muslim ke seluruh penjuru dunia. Mobilitas muslim ke pucuk kekuasaan untuk meneguhkan keadilan, keterbukaan, dan demokratisasi yang terjadi dalam politik Islam di Indonesia mutakhir bisa kita baca dalam konteks itu. Meski secara teologis dan demografis mempunyai potensi untuk menciptakan tatanan ideal, tapi jika tidak disertai dengan sikap keteladanan, maka gagalnya transformasi 'misi kepemimpinan nabi' tidak perlu dianggap aneh.

Masih segar dalam ingatan kita amatan Loc Action; bahwa 'kekuasaan itu siapapun yang memegangnya akan cendrung dikorupsi oleh nafsu pelakunya'. Yang perlu dilakukan adalah menyadari status kekuasaan sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Kekuasaan bukan tujuan yang bisa dinikmati begitu saja, setelah bersusah payah meraihnya. Spirit kekuasaan hanya diadreskan untuk kepentingan individu dan golongannya bukan dilatih secara proporsional sebagai yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad.

Akhirnya, refleksi maulid nabi mempunyai relefansi aktual untuk menata kembali pola kepemimpinan bangsa ini untuk menciptakan masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis. Kita harus mengingatkan dan jika perlu mencabut kembali mandat dari sebagian (besar) para pemimpin kita yang mulai terlihat melenceng dari keteladanan nabi dalam memimpin umatnya. Karena, reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan orang-orang yang banyak berbuat daripada bermanis kata di balik podium. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb

Apa Kata Al-quran Tentang Jender

Problem keseteraan jender yang dialamatkan pada kaum muslim, sedianya dimulai dari kajian kritis-argumentatif atas ayat al-Qur'an yang berhubungan erat dengan isu kesetaraan jender. Sebagai sumber pertama dalam melakukan pengambilan hukum (istinbât al-hukm), al-Qur'an menyimpan banyak nilai yang dapat dikaji ulang. Apakah penafsiran ulama terhadap ayat al-Qur'an mengandung bias jender?. Faktor apakah yang mempengaruhi para mufassir, dan sejauhmana hal itu sesuai dengan realitas sosial-budaya modern?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak dijawab lewat tulisan singkat ini.

Elan fital rekonstruksi penafsiran al-Qur'an, disandarkan pada relavansi al-Qur'an yang tidak lekang karena denyut perubahan zaman (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Universalitas Islam yang kerap ditawarkan, akan terasa hambar, kalau saja pandangan atas teks kitab suci (baca penafsiran), terlampau disalahpahami. Ini akan membentuk konstruksi nilai yang terus melembaga, jika tidak ada upaya intelektual yang intensif. Yang perlu dilakukan, adalah mendinamisir cara pandang atas teks suci sebagai penjagaan kesuciannya. Justru tidak dikotori hanya karena formalisasi tafsiran teks, yang pada dasarnya bersifat sementara.

Paling tidak, kita mendapati anggapan miris atas urgensitas kesetaraan jender yang dikuatkan dengan tafsiran atas teks al-Qur'an. Penolakan itu harus dijernihkan dengan menempatkan penafsiran sebagai upaya intelektual, meski terhadap kitab suci sekalipun. Sehingga, diskusi yang berjalan akan terlihat arahnya dan tidak terperangkap pada kekeliruan identifikasi antara penafsiran pada satu sisi, dan teks al-Qur'an sebagai sentral dari tataran nilai dalam Islam, pada sisi lain. Klaim atas kesetaran jender, sebagai turunan norma sosial-budaya barat, tidak pula dijadikan alasan untuk membahasnya secara obyektif-ilmiah. Sehingga, kesan apologetis bisa dihindarkan semaksimal mungkin.

Dialektika al-Qur'an dan kesetaraan jender mengandaikan obyektifikasi atas sekian banyak penafsiran ayat al-Qur'an yang bermuara pada formulasi hukum Islam. Karena penafsiran atas al-Qur'an mempunyai tingkat resistensi sosial-budaya dan pemahaman teks para mufassir. Terbukti, dengan hadirya beberapa ragam dan corak penafsiran yang tiadk lepas dari tarik-ulur aspek yang mengitarinya. Ini merefleksikan cara pandang baru atas ayat al-Qur’an yang dibangun dengan analisa linguistik dan kondisi sosial-budaya modern.

Faktor Berpengaruh

Penelusuran Nasarudin Umar dalam master peace-nya, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur'an (Paramadina:2000), dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ditemukan peran sosial-budaya yang membentuk para mufassir dalam mengartikulasikan pesan kitab suci. Penjabaran makna yang ditelorkan para mufassir, digerakkan oleh struktur berfikir yang dibentuk oleh proses sosial-budaya pada waktu itu. Disadari atau tidak, ketimpangan atas kesetaraan jender menjadi premis mayor (bahkan premis minor) para mufassir yang bermuara pada konklusi yang bias jender.

Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, sekaligus dirjen Bimas Islam Depag RI ini, menegaskan bahwa , karya-karya yang ditulis dalam kondisi sosial-budaya arab yang patriarkhi, telah melahirkan bias jender yang sangat tinggi. Budaya dagang, perang, suksesi kepala suku, dan kepemilikan harta-benda yang diadreskan hanya untuk kaum laki-laki, bisa membuktikan kecendrungan di atas. Corak penafsiran yang bias jender terlihat begitu dominan. Kemudian dijadikan pintu awal untuk memahami makna-makna al-Qur'an

Dalam proses selanjutnya, masih menurut Nasarudin, pemahaman teks seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca, cara baca, kosa kata, kata ganti, batas pengecualian, kata penghubung, struktur bahasa, cerita isrâiliyyah, dan metode tafsir mengandung bias jender. Kecuali itu, relasi kuasa (power relation) yang mengiringi pemaknaan kata, penggunaan kamus, dan cara pandang mufassir atas peran jender, berpengaruh banyak dalam melahirkan corak penafsiran ayat al-Qur'an. Sulit untuk menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir tersebut.

Secara fungsional, kondisi ini menjalar pada cara berpikir para ulama yang menggeluti disiplin hukum Islam, ketika meracik formulasi hukum. Dalam kitab-kitab fikih, ketentuan tentang waris, perkawinan, persaksian, kepemilikan harta benda dan yang lainnya, telah mengesankan laki-laki begitu dominan. Kedudukan hukum perempuan kerap di tempatkan setengah dibandingkan laki-laki. Kitab syarh ‘Uqud al-Lujjayn fî Bayân Huqûq al-Zawjayn, karya Muhammad Ibn ‘Umar al-Banteny al-Jâwî (1230/1813-1316/1898), sebagai bukti otentik, betapa subordinasi kaum hawa telah terjadi secara sistemik.

Problem internalisasi nilai tersebut, sedianya diselesaikan dengan menempatkan penafsiran ayat al-Qur'an secara proporsional. Artinya, instrumentasi penafsiran teks yang dilembagakan dengan hadirnya karya-karya ulama klasik, tidak menggeser titik sentral pesan universal al-Qur'an yang absah untuk dielaborasi berkaitan dengan pergumulan zaman. Demarkasi ‘Otonomi teks’ dan ‘pemahaman akan teks’ menjadi kunci untuk membedah kekeliruan identifikasi. Sebagai kitab suci al-Qur'an bisa berdiri sendiri, tanpa bergantung pada penafsirannya yang bersifat profan.

Sepertinya, keengganan untuk menilik kenyataan ini, lebih disebabkan oleh anggapan keliru atas status penafsiran ayat al-Qur'an. Pada dasarnya, penafsiran adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh dari seorang mufassir. Baik yang menggunakan akal (tafsîr bi al-ra'yi) ataupun dengan bantuan teks hadits dan atau atsar shahâbah (tafsîr bi al-ma'tsûr), yang mempunyai kutub salah-benar. Penafsiran merupakan mata rantai dari relatifitas hasil Ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu dimana para mufassir hidup. Proses intelektual mufassir, tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai.

Kembali Ke Dasar

Al-Qur'an sebagai kitab suci yang hanya memuat gugusan nilai yang bersifat global, meniscayakan cara pandang yang dinamis. Dalam proses turunnya, kita menyaksikan betapa al-Qur'an didesain untuk sesuai dengan gerak zaman pada setiap penerimaan pesannya. Separuh waktu dengan diturunkan di Mekkah dan separuh waktu lagi diturunkan di Madinah adalah gambaran sederhana, betapa al-Qur'an harus dilihat sebagai teks berjalan (on going process) meski berasal dari sumber yang transendent.

Hemat saya, dengan meminjam bahasa dan sistem sosial-budaya bangsa arab, al-Qu'ran sedianya dipahami sebagai korpus kitab terbuka untuk ditafsirkan ulang. Pendek kata, penafsiran atas ayat al-Qur'an tentang kesetaraan jender yang sarat dengan bahasa dan sosial-budaya bangsa arab, semestinya tidak diambil begitu saja (taken for granted). Sekarang ini, al-Qur'an hadir dalam dunia yang sudah berubah begitu jauh dari waktu dan ruang dimana al-Qur'an pernah ditafsirkan oleh para ulama.

Dengan demikian, tantangan berat dalam pengarusutamaan jender dengan mapannya streotipe-streotipe yang kurang bersahabat terhadap perempuan dapat ditanggulangi. Karena, kwalitas kemanusiaan perempuan dalam beberapa aspek, ternyata lebih unggul dari laki-laki. Kenyataan ini harus disikapi secara obyektif dan tidak dieliminasi dengan legitimasi penafsiran ayat al-Qur'an yang mengandung bias jender. Instrumentasi penafsiran ini, seperti memutar jarum jam mundur ke belakang dengan menyesuaikan diri pada kondisi sosial-budaya yang telah usai.

Terakhir, bukan pula dimaksudkan untuk menelan 'pil pahit', seperti tudingan sementara kalangan, bahwa kesetaraan jender tak lebih dari konspirasi barat. Ketegangan konseptual ini sedianya dikembalikan pada pesan al-Qur'an, bahwa keutamaan manusia di hadapan sang khâlik, tidak ditentukan oleh jenis kelamin, akan tetapi oleh kwalitas kesalehan individual dan sosial (ahsanu taqwîm) untuk kemanusiaan yang universal (rahmatan li al-âlîm). Wa Allâh 'alam bi al-shawâb

Efek Domino Korupsi

Maraknya pemberitaan korupsi belakangan ini, semakin mengukuhkan tesis almarhum Umar Kayam bahwa 'budaya korupsi' masih bersemayam di Indonesia, atau bisa jadi seperti dugaan Amin Rais, penyakit korupsi ini telah melembaga dalam denyut birokrasi negeri ini. Kita juga ingat bahwa secara tradisional kebiasaan upeti untuk raja adalah benih-benih korupsi. Rasa sungkan sebagai padanan untuk malu mengungkap skandal korupsi, turut juga menyemaikan kebiasaan buruk itu.

Problematika ini berimplikasi serius dengan aspek integritas kepemimpinan, sebagai subsistem penting dalam penyelenggarakan kehidupan benegara yang bersih sekaligus berwibawa. Korupsi akan menggrogoti sistem kepemimpinan, yang tadinya diharapkam membawa perubahan yang signifikan pasca rontoknya orde baru. Reformasi tidak gratis kita dapatkan, dan bukan pula cek kosong yang bisa diisi dengan praktek kekuasaan yang penuh noda dan dosa.

Dengan sedih, kita mesti mengakui bahwa tampaknya etika sebagian pemimpin kita telah diwarnia oleh 'watak kekuasaan yang cendrung korup'. Lebih menyedihkan lagi karena, meminjam istilah psikologi, kita sudah terjangkiti gejala "masochisme moral", yakni hilangnya rasa malu dan sakit hati untuk mencabik-cabik martabat bangsa sendiri. Jika ini yang terjadi, siapa pun orangnya yang tersedot ke pusaran kekuasaan, prilakunya jauh dari harapan publik.

Tidak mustahil, rakyat akan merasa frustasi karena sekandal korupsi, kolusi, dan kejahatan lain terutama yang dilakukan di kalangan elit penguasa. Yang ditakutkan, adalah 'imunitas keteladalan' berdampak secara massif, sehingga membentuk cara pandang rakyat terhadap dirinya, elit penguasanya dan bahkan bangsanya sendiri. Masyarakat yang melakukan anarkisme sosial dalam bentuk kerusuhan, penjarahan, tawuran, kericuhan dan penganiyaan atas sesamanya akan merasa tidak bersalah. Bahkan bisa jadi mereka berkata "kami juga bisa melakukannya, seperti para pemimpin kami memperlakukan negara ini!"

Kecendrungan ini disebabkan antara lain, oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa elit penguasa sungguh-sungguh mau memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Jika suasana kejiwaan ini berlangsung lama, maka pada gilirannya akan menggumpal dan menjadi pendorong bagi masyarakat umum untuk ikut-ikutan melakukan korupsi, merusak etika sosial dan tidak lagi percaya pada elit penguasa.

Spirit komunalinalitas penanggulangan krisis, dibajak oleh nafsu kekuasaan segelintir orang untuk kepentingannya. Semangat kebersamaan berhenti pada titik bagaimana penggantian rezim. Tapi tidak diteruskan pada ‘semangat perubahan’ yang holistik, yang meliputi semua lini kehidupan berbangsa. Sudah lebih dari cukup kehidupan berbangsa ini dilumuri oleh prilaku yang tidak menguntungkan dan menjadi beban bagi generasi yang sesudahnya.

Krisis Keteladanan

Dalam kacamata etis, maraknya berita korupsi menunjukkan krisis keteladanan. Sikap amanah para elit penguasa kita, berada pada deret hitung yang sangat memprihatinkan. Yang mengukur kesungguhan dan keberhasilan dalam memikul amanat tersebut, adalah masyarakat itu sendiri. Jika rakyat merasa dirinya telah dianiaya, dan tidak mau lagi mempercayakan urusannya kepada elit penguasa, maka kepercayaan bagai debu di tengah gurun pasir yang gersang.

Dalam kehidupan bernegara, sikap ketaladanan elit penguasa sangat penting, karena sesungguhnya ketauladanan merupakan kunci untuk memperolah dukungan rakyat. Siapa dan kenapa kehidupan bernegara harus diatur, akan berjalan lancar kalau saja kepercayaan masyarakat bisa diraih. Karena tidak mungkin melakukan pembangunan ini tanpa diperankan oleh elit penguasa.

Namun, apabila tidak demikian, jangan diharap konsolidasi pembangunan akan berhasil meski dengan blue print yang sangat ideal. Secara sistemik, krisis keteladanan akan menggrogoti kehidupan mayoritas yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik telah tertindas oleh segilintir orang yang duduk dalam singgasana kekuasan. Yang paling ditakutkan adalah ketika rakyat menggunakan "haknya" dengan mempergunakan cara-caranya sendiri. Karena mereka adalah konstituen otentik yang memegang kedaultan berbangsa dan bernegara kita.

Krisis keteladanan akan meyebabkan rakyat bersikap apatis dan psimis untuk mendelegasikan urusannya pada elit penguasa. Prilaku sosial yang cendrung anarkis yang kita saksikan setiap hari, cukup jadi bukti, betapa krisis keteladanan ini mempunyai efek domino yang luar biasa. Rasa bangga akan figur pemimpin yang baik, tenggelam di balik himpitan nafsu kekuasaan yang begitu rupa.

Etika Transformatif

Elit penguasa sebagai tumpuan sistem tata negara, bisa memberikan contoh baik agar bisa ditiru oleh rakyatnya. Suka atau tidak penghuni wilayah atas dari piramida sosial ini sangat menentukan arah perbaikan kehidupan bernegara kita. Kepentingan mayoritas, dalam prakteknya dititipkan pada segelintir elit penguasa yang hadir karena seleksi kepemimpinan.

Posisi strategis elit penguasa, menjadi dilema demokratisasi yang baru saja dirintis. Kita sepenuhnya menyadari, seleksi kepemimpinan yang telah dilakukan sedikit banyak lebih baik dari yang sebelumnya. Namun, kita juga tidak habis pikir, proses itu tidak berbanding lurus dengan watak sebagian (besar) elit penguasa dalam menjalankan amanahnya. Pasca reformasi, tidak jarang apa yang dikata jauh dari apa yang dilakukan. Prilaku berkuasa jauh dari nilai-nilai luhur yang ditanam oleh para pendiri republik ini.

Jika kondisi ini terus berlangsung, maka 'etika tranformatif' yang diharapkan jauh panggang daripada api. Setiap kali mendengar kata pemberantasan korupsi, serentak berita tindak pidana korupsi datang ke telinga kita. Rakyat mayoritas disuguhi tontonan yang paradoksal. Satu saat elit penguasa bicara tentang anti korupsi, dan tidak berselang lama mereka 'terlihat asyik' dengan kekuasaannya.

Ironisnya, dengan realitas seratus persen mengakui nilai-nilai luhur yang ditetapkan dalam dasar negara kita, tetapi kenyatanannya, praktek korupsi ditemukan hampir di seluruh lini kehidupan. Ia menyayat nilai-nilai etis kepemimpinan bangsa. Apa yang ditahbiskan oleh para pemimpin kita tentang etika berkuasa, tidak lebih dari manisnya kata-kata dan janji-janji yang, maaf, memuakkan di podium kekuasaan.

Di tengah kesenjangan ekonomi, praktek kemewahan kekuasaan masih terlihat kasat mata. Tokoh-tokoh masyarakat yang tadinya dikenal bersih dan sekarang mendapat kesempatan di tampuk kekuasaan tidak sedikit yang diduga terlibat korupsi, bahkan telah divonis tindak pidana korupsi. Seleksi pemimpin yang terbilang demokratis itu, sepertinya gagal menghantarkan 'tokoh-tokoh panutan' menjadi pemimpin yang tetap pada komitemnya untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat. Bahkan, peringkat negara terkorup pun masih kita sandang.

Kekuasaan sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, bukan tujuan yang bisa dinikmati begitu saja, setelah bersusah payah meraihnya. Spirit kekuasaan bukan diadreskan untuk kepentingan individu dan atau golongannya, tapi sepenuhnya untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan otentik dari amanah yang diberikan.

Walhasil, praktek korupsi tidak akan (bisa) berdiri sendiri. Ia merupakan satu penyakit akut yang pasti menjalar pada setiap tingkah dan kebiasaan rakyatnya. Kalau saja ini yang terjadi, maka sulit membayangkan reformasi di negeri ini menemukan relefansinya. Reformasi hanya pemanis kata dan pelipur lara selepas terdekam dalam iklim kekuasaan yang juga tidak kalah korupnya. Kita harus mengingatkan kembali mandat dari sebagian (besar) elit penguasa, jika terlihat melenceng dari etika kepemimpian bangsa. Karena reformasi lebih membutuhkan ketauladanan daripada bermanis kata di balik podium. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb

Benang Merah Zakat dan Civil Society

Pengelolaan zakat di tanah air selama ini sebenarnya menyimpan benih penguatan civil society. Pasca kehadiran beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ), program-program pemberdayaan masyarakat telah banyak yang digulirkan. Out put-nya pun telah menciptakan kemandirian umat, karena pengelolaan zakat yang dilakukan tidak tergantung pada peran pemerintah. Pengelolaan zakat oleh LAZ, hadir dari muzakki untuk para mustahik atas inisiasi para amil yang inofatif, kreatif, amânah, pathânah, dan profesional. Mereka adalah entitas yang berada di luar struktur negara, tapi peran dan eksistensinya telah membantu --bahkan mengambil-- beberapa peran negara dalam merealisasikan kemakmuran bagi warganya.

Sejak zaman penjajahan Belanda, menurut Aqib Suminto (Politik Islam Hindia Belanda, 1985), kas masjid yang nota bene diambil lewat institusi ZIS, telah mempunyai andil besar terhadap kemajuan masyarakat. Pendayagunaannya pun, bersifat lintas agama dengan dasar kemashlahatan rakyat Indonesia. Eksistensinya seolah berhadapan secara diametral dengan politik kolonial Belanda yang berusaha menjinakkan elan fital zakat, lewat penasehat riligiusnya, Snouck Hurgronje, dengan pengawasan kas masjid. Inilah yang dapat kita baca sebagai benih kemandirian wilayah terjajah lewat jangkar karitas (Islamic Phylantropis), dalam upaya menghadapi penindasan kaum kolonial.

Setelah masa kemerdekaan, regulasi yang dikeluarkan meliputi Permenag No. 4 Th. 1968 tentang Badan Amil Zakat, Momerendum 11 Alim Ulama 1968 tentang Soeharto sebagai Amil Nasional, Instruksi Menag No. 16 Th 1989 Tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah, SKB Menag dan Mendagri No. 19 Maret 1991 tentang pembinaan BAZIS dan ditutup dengan diundangkannya UU. No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

Proses kelahiran Undang-undang zakat ini, dengan dasar riset Arskal Salim GP (Politik Zakat Orde Baru, Puslit UIN Jakarta, 1999), berawal dari kepedulian politisi muslim untuk mengurus masalah zakat agar berhasil-guna untuk kamakmuran rakyat Indonesia. Menariknya, dalam batas-batas tertentu, Arskal menganalisis indikasi kuat atas politisasi agama oleh rezim yang berkuasa ketika diurai dengan premis 'relasi agama dan negara' yang ternyata masih terasa canggung. Akhirnya, seperti yang kita diduga, bahwa klausul UU No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat menyimpan problem tidak ringan dalam implementasinya.

Dalam UU. No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, relefansi zakat dengan civil society terakam dalam pasal 6 tentang Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atas inisiasif masyarakat dan untuk kesejahteraan masyarakat. Jumlah dan trobosan programnya terus meningkat seiring dengan kemajuan manajemen zakat yang dirintis oleh para amil profesional. DD Republika hadir dengan kepedulian media atas realitas kemiskinan, PKPU yang lahir karena empati bencana alam, YDSF Surabaya lewat spirit komunalitas masjid Al-Falah-nya. Ketiganya adalah sebagian dari bukti otentik tentang adanya dialektika zakat dan civil society.

Beberapa LAZ itu merupakan entitias yang berada di luar negara dan bersifat otonom dalam hal pendanaan dan operasioanlisasi lembaga. Peran negara memang tetap dibutuhkan, meski sebatas pembuatan regulasi dan registrasi lembaga agar accountable, profesional, dan transparan. Bentuknya berupa proses pengukuhan, legalitas bukti setor zakat kaitannya dengan pengurang penghasilan kena pajak (tax deductable), pemberian sanksi atas penyelewengan dana oleh Amil Zakat dengan delik korupsi, dan pencabutan izin beroperasi lembaga manakala tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Eksistensi LAZ ini sangat mengandalkan suntikan dana dari masyarakat yang dikemas melalui penawaran program. Dapat dipastikan jika masyarakat tidak berperan, sebuah LAZ tidak akan berumur lama. Karena sejak awal dibangun lewat pilar swadaya dan kepercayaan masyarakat. Ia ibarat klien dari patron besar, yakni sebuah komunitas di luar negara. Dialektika patron-klien ini sepertinya akan terus bertahan, mengingat secara embriorik LAZ itu hadir dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Konsolidasi Institusional

Dalam batas tertentu menjamurnya LAZ tersebut, melahirkan apa yang kemudian diistilah oleh Eri Sudewo (2001), Funding Father DD Republika, sebagai ‘geger manajemen pengelolaan’ zakat yang bertitik tolak dari program kemanusiaan. Setidaknya sektor pendidikan lewat program beasiswa, pelayanan kesehatan cuma-cuma, penanggulangan korban bencana alam/perang, pinjaman lunak untuk kaum duafa, dan pembangunan sarana sosial masyarakat telah dijamah oleh peran LAZ. Belum lagi dikaitkan dengan pengembangan ekonomi mikro yang belakangan mulai dikerjakan oleh LAZ. Semua itu merupakan bukti, bahwa relevansi zakat dengan civil society terasa getarannya ketika Lembaga Amil Zakat hadir.

Hanya saja, realitas yang menggembirakan ini memerlukan konsolidasi institusional yang terencana dan terarah. Beberapa LAZ yang hadir dan berkembang, dengan mengutip analisis ketua YDSF Surabaya Ahmad Hawi (2004), akan berhadapan dengan harapan mustahik-muzakki (baca masyarakat) yang ia ibaratkan seperti matrik ukuran yang terus naik. Kalau saja pada satu saat, satu LAZ terlihat redup berkaitan dengan eksperimentasi program yang mengandung resiko coba dan salah itu, maka kepercayaan yang diberikan bisa jadi menurun. Satu saat, lanjut Hawi, akan terjadi dimana yang satu redup dan yang satunya lagi tetap terang benderang.

Dalam konteks ini, kepercayaan masyarakat sebagai pilar civil society menjadi dilema bagi eksistensi LAZ. Indikasi ini mengingatkan kita pada rapuhnya sistem kepercayaan akan berbanding lurus dengan kelanjutan dan keberdayaan sebuah institusi-institusi yang hadir dalam masyarakat. Betapapun idealnya konsep kemandirian yang ditawarkan civil society, tetap mempunyai resiko coba-salah yang cukup signifikan. Ini terjadi manakala institusi tersebut, dilanda krisis konsolidasi yang pada gilirannya menyebabkan turunnya kepercayaan publik.

Modernisasi Pengelolaan Zakat

Problem konsolidasi tersebut telah lama menjadi pembahasan serius para pakar ilmu sosial, manakala konsep civil society ini ditawarkan dan mendapat apresiasi yang beragam. Paling tidak terletak pada basis tradisional masyarakat Indonesia yang kurang bersahabat dengan framework manajemen modern yang berasaskan akuntabilitas dan profesionalitas. Proses penyadaran ini memang memerlukan usaha yang intensif, agar relefansi zakat dengan civil society membuahkan hasil yang maksimal.
Saya kira, peran akuntan publik yang hadir berkaitan dengan optimalisasi pengelolaan zakat harus tetap dipertahankan. Selama ini, kita menangkap kesan bahwa akuntabilitas pendayagunaan zakat yang hadir di masyarakat --di langgar, masjid, dan organisasi kemasyarakatan lainnya—diselesaikan lewat mekanisme yang sebisanya. Kecuali hal itu disebabkan oleh sifat pengelolaan zakat yang musiman dengan 'kerja amil yang sambilan', juga oleh keberadaan dana zakat yang masih dilihat sebelah mata oleh sementara kalangan.

Padahal kalau diperhatikan, amanatan KH Didin Hafiduddin (Republika, 27/11/2001) atas potensi dana zakat di tanah air sebesar 7,6 triliun per tahun. Ini di luar dana wakaf, infak, dan shadaqah. Pada tahun 1999, jumlah itu baru bisa diraup sekitar 4 miliar. Jadi hampir separoh lebih yang sebenarnya bisa diraup. Rasio pendapatan dana zakat, lanjut Didin, akan berbanding lurus dengan mekanisme yang dibentuk oleh LAZ dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Jika ini naik, maka rasio pendapatan akan naik. Kalau turun jangan diharap akan ada kenaikan.
Inilah yang dapat kita baca bahwa menjamurnya LAZ, pada satu sisi merupakan penemona yang menggembirakan berkaitan dengan civil society. Akan tetapi pada sisi yang lain menyisakan pekerjaan serius untuk menumbuhkan dan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat. Kendala ini harus diantisipsi sedini mungkin, agar tidak terperangkap pada krisis kepercayaan masyarakat.

Adalah proses modernisasi terhadap pengelolaan zakat dalam UU No. 38/1999, yang bisa dijadikan pijakan oleh beberapa LAZ. Pertama : institusionalisasi Zakat dengan pasal 6 dan 7, ditentukan bahwa masyarakat dapat membuat Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan pemerintah dengan semua jajarannya dapat membuat Badan Amil Zakat (BAZ). Dengan ini, secara matang dan terencana pembentukan Organisasi Pengelola Zakat (LAZ/BAZ) menganut asas demokratisasi yang dimungkinkan terjadinya menejemen pengelolaan yang rapih dan legitimate.

Kedua : pengawasan pengelolaan dijabarkan menjadi peran akuntan publik (pasal 18), laporan tahunan kepada DPR/D (pasal 19), pengelolaan diletakkan dalam ruang publik yang memadai (pasal 20), dan pemberian sanksi pidana penjara tiga bulan serta denda 30 juta untuk tindakan korupsi dalam pengelolaan zakat (pasal 21).
Ketiga : pendayagunaan dana zakat pada preambul “Menimbang” huruf b, lebih didasarkan pada aspek penarikan zakat --dari orang-orang yang kena wajib zakat— untuk golongan ekonomi lemah. Alokasi dana zakat, biasanya bersifat langsung untuk fakir-miskin (cherity) dan berbentuk “dana produktif” bagi sektor ekonomi real.

Menurut hemat saya pijakan-pijakan tersebut mengandung prinsip-prinsip akuntabilitas dan profesinalitas dalam pengelolaan zakat. Jika ini dijalankan, secara ekternal LAZ akan berhasil menumbuhkan dan sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat yang mana akan jadi modal utamanya. Selanjutnya secara internal akan ada peningkatan kwalitas manajemen pengelolaan di masa mendatang. Sehingga, relefansi zakat dengan civil society dapat mencapai targetnya, yakni masyarakat berkeadilan yang makmur dan yang lebih penting berkemakmuran yang adil. Wa Allâh 'alam bi al-shawâb.

29 July 2006

Mimpi Syariat Islam

Problem penegakan Syariat Islam secara umum terletak pada konflik tradisional antara Syariat (baca Wahyu-Nya) dan karakteristik fikih (Penafsiran ulama) yang telah berurat akar dalam lintas sejarah peradaban Islam. Mana yang bersifat permanen dan mana yang bersifat dinamis untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Lebih dari itu tradisi tajdid (pembaharuan) dalam pembukuan fikih terlihat merosot dengan hanya penyempurnaan (sarah terhadap mataan) dari karya-karya ulama sebelumnya. Akhirnya fikih dipandang sebagai satu rumusan mutlak yang terhimpun dalam empat aliran pokok.

Karenanya, tak jarang tranformasi fikih dari generasi ke generasi hanya dimotivasi untuk menjaga warisan intelektual saja, tanpa menorehkan sikap-sikap kritis untuk mereformulasi kembali hukum-hukumnya. Ia dipahami secara simbolik dari tafsiran Syariat sebagai wahyu-Nya yang telah dilakukan oleh ulama ‘alim serta sholih, dan menurut keyakinannya tidak bisa dilihat secara substantif untuk kemudian dikritisi dan direkontruksi menjadi tafsiran-tafsiran baru.

Identifikasi Masalah

Untuk melihat prospek penegakan syariat Islam, bisa dibantu dengan tiga pendekatan; (1) dauru al-tasyr’i yaitu masa turunnya wahyu kepada nabi Muhammad, (2) dauru al-tadwin yaitu masa pembukuan kitab-kitab fikih, dan (3) dauru al-taqniin, yakni masa pembukuan fikih sebagai norma yang berjalan/mentradisi dan menjadi hukum cita-cita (iusconstituendum), sehingga dapat diintegrasikan ke dalam sistem hukum modern (iusconstitutum).

Menurut saya, problematika penegakan Syariat Islam di Indonesia, dapat dimasukkan ke dalam point kedua dan ketiga. Pada tipikal yang ke-2, diharapkan dapat lahir karya-karya baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan peradaban. Dus, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penegakan Syariat Islam dalam konstitusi dan perundangan modern.

Konstitusionalisasi Syariat Islam pernah diyakinkan oleh ulama asal Andalusia ; Ibu Qoyyim al-Jauzziyah (1977) ketika Syariat Islam berada dalam arus pembentukan hukum positif di spanyol. Dia mengatakan bahwa pemberlakuan Syariat (hukum) Islam terhubung erat dengan waktu (azminah), tempat (amkinah), perkembangan masyarakat (ahwal), dasar-dasar etika kemanusiaan (al-‘awaid) dan agregasi kepentingan (niyah) yang berkembang pada masyarakat.

Dengan kata lain akan lahir “rasa keadilan” masyarakat yang tidak rigid dan mendekatkannya dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Empat katalisator dari Ibnu Qoyyim di atas, akan menakar perumusan, pengesahan, dan pelaksanaan Syariat Islam. Seperti ungkapan Gorden Howar seorang lawyer Inggris,“Justice should not only be done, but should manifesty an undoubtedly be seen to done”, (keadilan bukan hanya harus ditegakkan, tapi juga musti dapat dilihat, dirasakan, dan dimengerti oleh masyarakat bahwa memang benar-benar akan ditegakkan).

Kalangan elit politik muslim yang berusaha menegakkan Syariat Islam, bisa mencapainya dengan, Pertama : Syariat (hukum) Islam sebagai produk dari zaman yang berbeda dan harus direforumulasi untuk waktu yang sekarang. Kedua : letak giografis wilayah Indonesia akan berbeda dengan unsur-unsur giografis dimana itu pernah dibukukan. Ketiga : pluralitas etnis dan budaya Indonesia tidak mungkin dilepaskan. Keempat: agregasi kepentingan yang berkembang dalam perumusan, pengesahan, dan pelaksanaannya dalam sistem hukum nasional tidak bisa ditakar, bahwa itu sebuah konspirasi anti-Islam.

Jalan Keluar

Dalam penegakan Syariat Islam ada beberapa kerangka filosofis aspek-aspek mendasar dari kehidupan manusia. Ini lebih dikenal dengan maqasidu al-Syariat (tujuan ditetapkan hukum Islam) yang bisa diklasifikasikan menjadi, pengakuan akan keragaman keyakinan/agama (hirzu al-din), menjadikan pluralitas pemahaman masyarakat sebagai acuan (hirzu al-‘aql), menjaga hak setiap individu atas hidup dan kehidupan (hirzu al-nafs), mengakui ragam etnis dan suku bangsa (hirzu al-nasl), dan menjaga harta yang dimiliki oleh setiap individu (hirzu al-maal) (al-Muwafaqât, al-Syatibi :1978).
Selanjutnya, setiap individu dapat menuangkan aspirasinya dalam proses konstitusionaliasi Syariat Islam. Jika aspirasinya berkata lain, maka jangan diselesaikan dengan cara-cara repsesif; bahwa individu/kelompok yang menentang dicap sebagai warga yang tidak mentaati Syariat Islam. Karena pada saat yang bersamaan, aspek fungsional dari Syariat (hukum) Islam itu, kerap kali mempunyai bentuk dan corak yang berbeda karena perbenturan waktu, tempat, keadaan, dan motivasi.

Formulasi hukum di dalam teori ushul fikih diposisikan sebagai respon dari sebab-sebab (al-illah), bahwa : “al-hukmu yaduru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman” (hukum itu akan berjalan sesuai dengan sebab-sebab yang ada pada masyarakat).
Dukungan atas penegakan Syariat Islam, harus berangkat dari bawah (buttop up) bukan saja dengan otoritas politik dan atau kekuatan lainnya yang bersifat elitis (top down). Cara pendekatan rekayasa sosial (social enggenering), pada kesempatan berikutnya tidak akan bermuara pada substansi Syariat Islam yang responsif. Apa yang diinginkan dari proses pembuatan sistem hukum yang demokratis dan berkeadilan tidak akan pernah tewujudkan.

Tidak jarang ditemukan dalam produk hukum publik yang biasa menyeret kelompok oposisi sebagai pihak yang menentang penguasa, padahal sama-sama mempunyai basis penafsiran terhadap Syariat Islam. Persepsi aliansi utara di Afganistan tentang langgam otoritarianisme rezim taliban semasa berkuasa, merupakan bukti mutakhir dari corak produk Syariat Islam yang cendrung represif.

Saya setuju pada almarhum Dr. Satria Effendi Zein (1995) yang menuturkan bahwa selain di bidang ibadah mahdhah, Syariat Islam bukan sengaja membawa rincian tentang aturan kehidupan sosial, tatapi membawa ajaran-ajaran berupa pesan-pesan moral, prinsip-prinsip umum, dan ajaran-ajaran pokok yang bersifat universal. Misalnya, berlaku adil, berkata jujur, dilarang mengambil hak orang lain, berzina, mabuk, judi, dan lainnya. Ajaran inilah yang dipadatakan oleh para ulama-ulama ushul fikih dengan istilah mashlahah, bersifat abadi, tidak akan berubah dan tidak dapat dirubah.

Sebagai penutup, penegakan Syariat Islam di Indonesia sebenarnya bisa dimulai dengan reformulasi dalam sistem, format, dan bahasa perundangan-undangan modern yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Dan tidak dikaburkan dengan konflik simbolik yang kontra produktif. Saya kira, tanpa dikatakan secara jelas dengan simbol Islam pun, secara substantif penegakan Syariat Islam dalam sistem hukum nasional tidak mustahil untuk dilakukan. Wa allahu ‘alam bi al-shawab

Tulisan I+II-ku di Media Cetak Nasional

Amil Zakat di Persimpangan Jalan

Dalam pasal 7 Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat ditentukan prihal pengukuhan Lembaga Amil Zakat. Ayat pertama dalam pasal tersebut menentukan bahwa Lembaga Amil Zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah. Sedangkan ayat duanya menentukan persyaratan yang diatur dalam peraturan menteri dan sekarang dapat kita lihat tata caranya dalam surat Keputusan Menteri Agama No. 581 tahun 2000 (selanjutnya ditulis KMA). Secara spesifik pada pasal 21 ayat 2 KMA No. 581 Tahun 2000 dipaparkan, yang dimaksud dengan pemerintah adalah Menteri Agama, Gubernur atas usul Kanwil setempat, Bupati atas usul Kanwil setempat, dan Camat atas usul Kantor Urusan Agama.

Sedangkan, dalam pasal 22 KMA No. 581 dijelaskan bahwa sebelum pengukuhan, Lembaga Amil Zakat terlebih dulu harus memenuhi persyaratan berupa; berbadan hukum, memiliki daftar mustahik-muzakki, program kerja, pembukuan, serta melampirkan surat pernyataan bersedia untuk diaudit. Semua persayaratan itu harus melalui proses penelitian (pasal 23 KMA No. 581), dan apabila terbukti tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka dapat dibatalkan oleh pemerintah ( pasal 24 KMA No. 581).

Dengan memperhatikan semua regulasi peraturan perundangan tersebut dapat terbayang bahwa sebuah pengukuhan LAZ ternyata diatur secara sistematis dan accountable. Artinya, akreditasi organisasi pengelola zakat setelah diberlakukan UU No. 38 Tahun 1999 telah mempunyai standar yang sama dengan organisasi lain, yang diatur oleh sebuah peraturan perudangan. Dan sejatinya, pengelolaan zakat sekarang ini merupakan aktifitas sosial yang berasal dari nilai syariat Islam dan mendapat jasitifikasinya dalam sistem hukum nasional kita.

Hanya saja, persoalan menjadi lain ketika ada sebuah acara “Sarasehan LAZ-LAZ se-Indonesia” yang diselenggarakan oleh Institut Menejemen Zakat (IMZ) pada tanggal 11 Agustus 2001 di Pusdiklat Depag Ciputat. Waktu itu presentasi beberapa LAZ yang hadir dalam acara tersebut mengindikasikan kekwatiran yang cukup berarti. Persoalan pengukuhan oleh Pemerintah untuk beberapa LAZ yang telah dan akan mengajukan, kerap kali menjadi momok bagi upaya legalisasi sebuah LAZ. Sebahagian besar peserta yang mengikuti acara tersebut mengaku belum mendapatkan pengukuhan, termasuk Dompet Dhuafa Republika.

Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI Drs H. Thulus, sampai didaulat oleh para peserta untuk mempercepat proses pengukuhan yang sejatinya menjadi hak setiap LAZ yang diatur dalam pasal 7 UU No. 38 Tahun 1999.

Quo Vadis, Pengukuhan LAZ

Sebenarnya, persoalan pengukuhan LAZ telah muncul dalam sebuah resolusi yang ditujukan untuk Menteri Agama RI, Mendagrri dan Otonomi Daerah, serta Pemda beserta jajarannya. Resulusi ini dibuat oleh beberapa LAZ, Forum Zakat Nasional serta FOZ DKI atas prakarsa IMZ, pada tanggal 31 Mei 2001, di Jakarta. Kata kunci dalam resolusi tersebut menyodorkan fakta obyektif-empiris –meminjam istilah kuntowijoyo-- tentang keberadaan LAZ sebelum dan sesudah kemunculan UU No. 38 Tahun 1999. Hal ini, menurut resolusi tersebut telah ditunjang oleh kepercayaan para Mujakki kepada lembaga pengelola. Lebih lanjut diusulkan, pengukuhan LAZ yang telah ditentukan dalam pasal 7 UU Zakat menjadi hak untuk setiap LAZ dengan asas cepat, mudah, dan biaya ringan.

Problem Operasional

Salah satu problem pengukuhan tersebut, disebabkan oleh keengganan para LAZ yang ada dalam BUMN dan atau Perusahaan-perusahaan swasta yang direncanakan jadi UPZ dari BAZNAS yang telah terbentuk belakangan ini. Secara simultan LAZ-LAZ itu akan jadi sebuah unit pengumpul yang menyerahkan dana ZIS-nya kepada BAZNAS. Padahal sebelumnya LAZ-LAZ tersebut telah berjalan secara terencana dengan daftar mujakki-mustahik dalam lingkungan BUMN dan atau perusahaan-perusahaan yang menaunginya. Keengganan mereka dapat kita tebak ke mana arahnya, kecuali belum ditentukan berapa jumlah setiap penyetoran serta pengembalian dana ZIS-nya, juga kinerja BAZNAS sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah belum terlihat arahnya. Daftar kasus korupsi lembaga pemerintah yang akhir-akhir ini mulai terlihat kasat mata, telah menjadikan sebahagian besar pengurus LAZ menjadi hati-hati --untuk tidak menyebut putus asa.

Sejatinya, keberadaan LAZ-LAZ dalam BUMN dan atau perusahaan-perusahaan swasta itu tidak berubah statusnya menjadi UPZ dari BAZNAS. Kalaupun hal itu terjadi, perlu dirumuskan berapa porsentase yang harus diserahkan dari setiap UPZ-UPZ dan mekanisme distribusi yang cepat, terencana serta terarah. Artinya, dana ZIS yang notabene didapatkan dari karyawan dalam lingkungan BUMN/perusahaan-perusahaan diproyeksikan untuk mensejahterakan mustahik dalam lingkungannya.

Problem lain dari pengukuhan tersebut bisa jadi berkaitan dengan integrasi antara UU Zakat dengan UU Pajak. Ini bisa dicermati dalam pasal 9 huruf g UU N0. 17 tahun 2000 tentang pajak, yang telah memberikan ruang kepada LAZ/BAZ untuk melakukan reduksi zakat atas pajak penghasilan (PPH) orang muslim dan atau badan yang dimiliki orang muslim. Dengan keberadaan peluang dana zakat tersebut akan terlahir sebuah gegar menejemen pengelolaan dan pendayaguanaan zakat. Akhirnya berbicara zakat dalam sistem hukum nasional kita akan mengarah pada pengelolaan sumber dana sebagaimana dana pembangunan lainnya. Persoalannya, siapa yang berwenang dan berhak untuk melakukan pengelolaan tersebut ? karena dana zakat yang tadinya liar dan bergantung kepada tingkat antusiame warga muslim, sekarang telah menjadi sumber dana yang secara yuridis dijamin untuk memungutnya.

Keberadaan dana zakat seperti ini, bagi saya terkesan memprihatinkan. Karena secara subyektif-normatif diakui oleh syariat Islam dan mendapat jastifikasi yuridis dari peraturan perundangan, akan tetapi secara obyektif empiris telah terjadi pertentangan antara pihak swasta dan pemerintah yang akan mengelola dana tersebut. Kiranya ini, berdampak kepada “pengukuhan LAZ” dan bagaikan bola liar –meminjam bahasa Eri Sudewo-- yang tergantung kemana dia akan ditendang.
Dalam situasi seperti ini, maka mencermati kebaradaan “Pengukuhan LAZ” tidak lebih dari pergulatan politik hukum. Artinya, pelaksanaan UU Zakat (masalah pengukuhan tentunya) akan tergantung pada arah kepentingan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam setiap tingkatannya. Analisa ini, disangga oleh relaitas pengukuhan yang belum menemukan bentuknya yang sempurna. Dan pada gilirannya LAZ yang sedianya sebuah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat untuk kemaslahatan umat Islam, ternyata sulit untuk direalisasikan.

Penutup

Akhirnya, problem pengukuhan LAZ ini harus cepat dicari jalan keluarnya oleh semua kalangan, baik pemerintah atau para pengurus-pengurus LAZ. Secara logika hukum dapat dipahami tentang pentingnya bukti legalitas sebuah lembaga. Jika hal itu tidak didapatkan oleh LAZ, dengan sendirinya akan berdampak pada status illegal. Jadinya, tertib hukum yang seharusnya diterapkan dalam UU No. 38 Tahun 1999 tidak terlaksana. Padahal inisiatif perumusan UU Zakat ini apabila kita lacak dalam penjelasannya, terlihat mengidialkan pengelolaan zakat yang profesional, bertanggungjawab, berkepastian hukum dan dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat.
Wa Allahu ‘Alam bi al-Shawab

Zakat di Era Otonomi Daerah

Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang muslim adalah mengeluarkan sebagian harta yang digunakan untuk membantu golongan ekonomi lemah. Paradigma ini dibangun dari keberadaan syari’at Islam yang menempatkan basis teosentris-humanisme –meminjam bahasa Kuntowijoyo—dalam setiap penentuan formulasi hukumnya. Hal ini telah mempertegas, bahwa penunaian zakat tidak semata wujud ketaatan seorang muslim terhadap perintah Allah SWT. Akan tetapi secara inhern, terkandung misi pengentasan kemiskinan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Fungsi zakat pada awal kerasulan lebih ditekankan pada kepedulian atas kesejahteraan masyarakat dalam tingkat regional. Dalam satu hadits diceritakan, ketika Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, Nabi Muhammad SAW bersabda : “Ambillah sebagian harta orang-orang kaya dalam wilayah tersebut untuk dijadikan dana bantuan untuk orang-orang miskin dalam wilayahnya, selanjutnya (jika telah terpenuhi) bisa diberikan kepada orang miskin di wilayah lain”. Hadits ini, menggambarkan tentang perhatian Islam terhadap upaya peningkatan taraf hidup masyarakat berdasarakan asas teritorialnya. Sepanjang satu wilayah telah terbangun sistem ekonominya, maka yang perlu dilakukan pada waktu itu adalah upaya pemenuhan kebutuhan kelas dhu’afa di wilayah tersebut.

Nampaknya, asas desentralisasi dalam paradigma zakat tersebut erat kaitannya dengan upaya pemberlakuan otonomi daerah belakangan ini. Pembangunan sentralistik yang terjadi pada masa ORBA, telah membidani lahirnya alternatif strategi pembangunan, menuju desentralisasi atas sumber daya ekonomi yang pada gilirannya akan melahirkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Relasi paradigmatik ini, dalam sistem hukum nasional dipetakan dengan pemberlakuan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Keduanya merupakan realisasi penataan sistem peraturan perundangan yang berbasiskan kesejahteraan rakyat, dan menjadi trade mark rezim demokratis pasca rontoknya orde baru.

Relasi zakat dan Otonomi Daerah.

Integrasi zakat ke dalam otonomi daerah, sebenarnya merupakan pembumian Syari’at Islam terhadap realitas sosial yang berada dalam lingkungan masyarakat muslim. Adalah Kuntowijoyo yang membagi zakat ke dalam dua eskalasi (Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan 1998). Bagi dia, pemberlakuan zakat dalam konteks masyarakat modern bukan semata tuntutan basis subyektif–normatif syariat Islam yang menentukan kewajiban zakat, akan tetapi merupakan reaktualisasi dari basis obyektif-empiris. Karenanya, semua elemen masyarakat muslim harus berusaha menjadikan zakat sebagai donasi pembangunan yang ditata dengan legislasi peraturan perundangan.
Sementara pada saat bersamaan telah lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai regulasi untuk meningkatkan pemerataan ekonomi dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Nah, dengan demikian pengelolaan zakat yang diatur dalam UU No. 38 tahun 1999 tidak bisa luput dari trade mark arah pembangunan dalam masa reformasi ini. Benang merah antara Zakat dan penyelenggaraan Otonomi Daerah meliputi proses demokratisasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta petensi keanekaragaman daerah.

Runutan proses tersebut dapat kita temukan pijakannya dalam UU Zakat, yang meliputi, Pertama : dalam pasal 6 dan 7 UU zakat ditentukan kewenangan Lembaga Pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah yang disebut dengan Badan Amil Zakat, sedangkan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat dikenal dengan Lembaga Amil Zakat. Hal ini menyiratkan proses demokratisasi dalam pengelolaan zakat dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah untuk mendayagunakan dana zakat. Kedua : Peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat yang tadinya liar karena tidak diatur dengan peraturan perundangan, sekarang sudah tertata secara yuridis berdasarkan pasal 7 UU Zakat. Ketiga : Dalam pasal 5 dijelaskan bahwa tujuan dari UU Zakat adalah upaya peningkatan fungsi dan peranan pranata keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Keempat : Dalam Keputusan Menteri Agama No. 581 Tahun 1999 (seterusya ditulis KMA) tentang pelaksanaan UU zakat, telah dijabarkan tentang fungsi Lembaga Pengelola Zakat (BAZ/LAZ) dalam tingkatan propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Pengelolaan zakat seperti ini merupakan akomodasi dari keanekaragaman daerah dengan pembentukan LPZ dalam semua tingkatannya.

Peran Serta Pemda dan Masyarakat

Hanya saja, yang perlu diperhatikan sekarang ini adalah peran serta Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melakukan pemberdayaan UU Zakat dan UU Pemerintahan Daerah. Artinya, keberadaan pasal 7 UU Zakat yang menentukan peran pemerintah berupa perlindungan, pembinaan, dan pengukuhan harus difungsikan secara matang dan terorganisir. Keberadaan Lembaga Amil Zakat dan Badan Amil Zakat dalam tingkatan propinsi dan kabupaten terlihat belum menemukan pijakan yuridisnya berupa Peraturan Daerah.

Kebutuhan akan Regulasi Perda akan menjadi penting, mengingat potensi dana zakat, infaq, dan shadaqah dalam setiap daerah berbeda-beda. Karakteristik potensi dana ZIS tersebut harus mendapat pengaturan agar menjadikan sistem pengelolaan yang tepat sasaran. Idealnya pengelolaan zakat dapat menunjang kemandirian ekonomi daerah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) untuk didistribusikan kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dalam wilayahnya. Inilah kata kunci dari integrasi zakat dalam era penerapan otonomi daerah yang sedianya diterapkan oleh pemerintahan daerah. Karena konsep zakat pada masa awal kerasulan merupakan tonggak pembangunan ekonomi kedaerahan yang utuh.

Basis subyek-normatif Hadits Nabi di atas adalah menciptakan sistem ekonomi yang otonom, kalaupun ingin membantu masyarakat di luar daerahnya harus tetap mempertimbangkan batas maksimum kesejahteraan masyarakat. Nantinya, pendayagunaan zakat akan mendorong sebuah peningkatan taraf hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat tanpa menggantungkan pada sistem setoran dan bantuan dari pusat.

Jurang Pemisah

Ketimpangan kesiapan pemerintah daerah dan pemberlakuan UU Zakat yang terjadi pasca tahun 2001 ini, terasa gatarannya dalam Lokakarya Nasional tentang “Pemberdayaan UU No. 38 Tahun 1999 Untuk Meningkatkan Ekonomi Dalam Kerangka Otonomi Daerah”. Acara ini diselenggarakan oleh Forum Zakat Nasional pada tanggal 18-20 September 2001 bersama Dompet Dhu’afa Republika, Bazis DKI Jakarta, Depag RI dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Hotel Indonesia Jakarta,. Sebagian besar peserta dari daerah, mempresentasikan tentang keberadaan pemerintah daerah yang belum bisa mengakomodir tentang keberadaan LPZ.

Jurang pemisah antara pelaksanaan UU Zakat dan realisasasi kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur kehidupan sosial keagamaannya, dikwatirkan akan menghambat fungsi LPZ yang diproyeksikan dalam UU Zakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Satu sisi LPZ telah diberikan kewenangan oleh pasal 8 UU Zakat untuk mendayagunakan dana Zakat, sementara pada sisi lain Pemda belum mengatur hal tersebut. Padahal pada pasal 21 KMA No. 581 tahun 1999 telah menentukan Gubernur dan Bupati sebagai pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan, pembinaan, dan pengukuhan atas LPZ yang telah dan atau akan muncul dalam wilayahnya.

Kondisi ini, pada satu sisi akan berdampak pada pelestarian peraturan perundangan Pemerintahan Daerah dan Zakat sebagai kumpulan pasal yang tumpul, dan pada sisi lain akan menghambat peningkatan pengelolaan zakat untuk menunjang kesejahteraan ekonomi di daerah. Jadinya, reformasi hukum yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat akan terhambat oleh pihak Pemda sendiri yang sedianya mem-back up implementasi peraturan perundangan tentang Pemerintahan daerah dan Zakat. Kemandegan regulasi Paraturan Daerah dalam menyongsong grand opening desentralisasi pembangunan berkaitan dengan optimalisasi dana zakat harus diselesaikan oleh kalangan DPRD bersama pemerintah dan masyarakat.

Pemda Cilegon bisa dijadikan contoh bagi Pemda lainya dengan Perdanya No. 4 Tahun 2001 Tentang zakat, Infaq, dan Shadaqah. Isinya cukup sistematis yang terdiri dari tujuan pengelolaan zakat menurut Syari’at Islam, sebagai peraturan lebih lanjut dari UU Zakat dan Pemerintahan Daerah, penjelasan tentang kewenangan LPZ untuk menerima zakat serta menyalurkannya kepada orang miskin di wilayah Cilegon, dan mekanisme pengawasan LPZ oleh satu komisi yang dibentuk oleh Pemda bersama masyarakat.

Penutup

Sebagai catatan akhir, korelasi paradigma zakat dan Otonomi Daerah secara telaah normatif (law in book) sebenarnya telah menemukan bentuknya yang sempurna, akan tetapi dalam realitas empiris (law in action) peran Pemerintahan Daerah terhadap pengelolaan zakat masih menyiratkan ketimpatan yuridisnya. Hal ini, harus menjadi agenda pemerintahan daerah I dan II yang diberikan kewenangan oleh KMA NO. 581 tahun 1999 dalam menyongsong era otonomi daerah yang diproyeksikan oleh UU No. 22 Tahun 1999. Nantinya, orang miskin dalam wilayah propinsi dan kabupaten akan dibantu penanganannya oleh setiap LPZ yang berada dalam wilayahanya. Wa Allahu ‘alam bi al-shawab

Ritual Islam Dipertanyakan

Pertama: Ibadah Haji

Ibadah haji adalah wujud ketaatan hamba atas Tuhannya (hablum minallâh), yang dilengkapi dengan kosakata kemanusiaan universal (hablum minannâs). Secara organik dan fungsional ibadah haji bisa mengantarkan seseorang untuk menuntaskan nestapa kemanusiaan. Ia adalah piranti lunak untuk meng-up grade kesalehan individual plus kesalehan sosial.

Haji Mabrur yang diinformasikan oleh syari’at, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kemanusiaan universal. Kata mabrur yang berasal dari kata bir dalam bahasa arab, diartikan sebagai kebaikan yang bisa dilakukan oleh semua orang. Kebaikan itu, adalah menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imrân:9). Berbagi itu adalah perangkat penting dalam mewujudkan kesalehan sosial

Kesalehan sosial seringkali sulit ditangkap dan diamalkan karena melibatkan pihak luar dan faktor yang beragam terutama materi. Kesalehan sosial, sebagai manifestasi aktual Islam untuk kemanusiaan universal (rahmatan lilâlamîn). Berbeda dengan kesalehan individual, yang dilokalisir dalam diri kita dan hanya membentuk watak secara personal dan kering dari kosakata kemanusiaan universal.
Kemanusiaan Universal

Praktek Ibadah haji itu, sarat dengan nilai kemanusiaan universal yang meliputi, pertama; afirmasi terhadap ego pribadi atas sesama yang dibuktikan dengan penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan dua helai kain putih (kain ihrâm). Pakaian dalam prakteknya, telah melahirkan kasta sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang cendrung dehumanisitik.

Ali Syari’ati (1980) pernah mencibirnya dengan mengatakan: “di Miqât ini apapun ras dan sukumu, lepaskanlah semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai (a) serigala; yang melambangkan kekejaman dan penindasan, (b) tikus; yang melambangkan kelicikan, (c) anjing; yang melambangkan tipu daya, dan (d) kambing; yang melambangkan penghambaan. Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya !”
Kedua; pelarangan terhadap perbuatan membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Ini mengindikasikan, pada dasarnya manusia berfungsi sebagai penjaga atas makhluk-makhluk lainnya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Larangan untuk memakai wangi-wangian, bercumbu atau berhubungan badan bagi suami-isteri, dan menggunting kuku. Semuanya, hanya hiasan yang seringkali menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Ketiga; mengelilingi ka’bah (thawâf) untuk mengingat istri Nabi Ibrahim, budak dari kalangan hitam, ketika menggendong putranya Isma’il. Tuhan telah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan usaha gigihnya untuk hijrah dari kebathilan menuju kebaikan, dari keterbekangan menuju peradaban.

Keempat; di ‘Arafah semua jamaah haji berkumpul di padang luas nan gersang dengan ritual wuqûf (berhenti) sampai terbenam matahari. Ini akan membuat setiap individu sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Kelima; keberangkatan ke Muzdalifah dengan mengumpulkan batu yang akan dipergunakan di Mina. Setelah penyucian diri dengan melaksanakan ritual-ritual di atas, dituntaskan dengan melenyapkan penyakit spiritual (melempari setan dengan batu) dalam diri kita dan memulai hidup sadar atas status kemanusiaan universal.
Substansi Ibadah Haji

Sejatinya, nilai-nilai kemanusiaan di atas hadir dalam kehidupan, meski tidak berangkat ke tanah suci. Substansi ibadah haji merupakan titik strategis tanpa menanggalkan hukum wajib haji itu sendiri. Sehingga tidak lagi meremehkan realitas kemiskinan. Sehingga tidak terpisah antara agama sebagai nilai yang bersifat ideal-normatif dan kenyataan empirik berupa kepedulian sosial.

Ada cerita sufi menarik tentang sepasang suami-isteri yang dikenal sangat taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk berhaji. Karena kebiasaannya menolong sesama, ketika bertemu orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi. Lalu pulang kembali ke kampungnya.

Setibanya di rumah, dikejutkan oleh orang yang berjubah putih –menurut riwayatnya mereka itu malaikat-- yang langsung menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”. Penyambut tadi berkata, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke tanah suci”.

Kisah ini, mengajak kita sadar akan pesan suatu ibadah dan tidak terjebak pada formalitasnya semata. Dengan mengamalkan semua nilai-nilai kemanusiaan universal dalam ibadah haji, nestapa kemanusiaan yang melilit negeri ini sepertinya dapat diselesaikan. Tanpa perubahan cara pandang keberagamaan (baca: ibadah haji dan haji mabrur), pengentasan kemiskinan jauh panggang daripada api.

Pemikiran ini didasarkan pada kedudukan agama sebagai gugusan nilai yang bisa membentuk struktur masyarakat yang adil dan beradab. Islam, seperti diidamkan oleh Kuntowijoyo (1998), sebagai agama yang mempunyai lanskip teosentris-humanisme. Seorang muslim tidak saja bersaksi akan adanya Tuhan dan Nabi, tapi selalu menyuguhkan aksi konkrit untuk kemanusiaan universal.
D
alam tranformasi sosial, seperti keyakinan Farid Essak (1990), pembebas kulit hitam di Afsel semasa rezim apartheit, Islam dapat mendorong pemeluknya jadi agen terdepan dalam melepaskan belenggu komunitas yang secara sosial, ekonomi, politik dan budaya telah tertindas (mustadh’afin) karena ulah sekelompok elit dan sistem yang mengitarinya.

Walhasil, ibadah haji dan kemanusiaan universal bagaikan mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Ini pesan penting yang harus diamalkan oleh orang yang akan dan telah melakukan haji. Substansiasi ibadah tidak kalah menarik dengan simbol-simbol yang disuguhkan oleh praktek ibadah itu sendiri. Janganlah berkecil hati untuk mencapai derajat haji mabrur, meski tidak ke tanah suci.


Kedua: Respektasi Zakat Profesi

Penolakan zakat profesi sebanyak 2,5 % setiap bulan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di wilayah Lombok Timur menarik untuk dicermati. Ini merupakan respektasi aktual atas pemberlakuan UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat dan UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dialektika kedua produk hukum itu, meniscayakan lahirnya produk hukum turunan sebagai teknis pelaksanaan. Karena secara materiil, keduanya tidak mungkin menampung semua karakteristik hukum (living law) dalam setiap wilayah di tanah air. Makanya, lahirlah Perda No. yang menentukan pemotongan tadi sebagai zakat profesi.

Uniknya, ketua BAZDA Kabupaten Lombok Timur itu adalah pejabat teras pemerintah tingkat II. Sehingga ada kesan kuat, bahwa back up pemerintah cukup memadai. Dalam artikel saya ‘Zakat di Era Otonomi Daerah’ (Republika, //2001), posisi seperti itu, sebenarnya diinspirasikan oleh pasal 21 KMA No. 581 tahun 1999. Isinya, bahwa Gubernur dan Bupati sebagai pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan, pembinaan, dan pengukuhan atas LPZ yang telah dan atau akan muncul dalam wilayahnya. Tokoh pemerintah Lombok Timur, nampaknya sadar betul beban yang dipikulnya itu.

Amil Zakat Kabupaten Lombok Timur harus melihat penolakan itu, sebagai resiko coba dan salah. Para Amil Zakat di seluruh wilayah Indonesia pun, harus memetik hikmahnya. Integrasi zakat dalam otonomi daerah meniscayakan spirit komunalitas masyarakat muslim. Hemat saya, semua produk hukum yang mengatur zakat, membutuhkan titik balik dari obyek hukum, yang sebenarnya lebih penting dari penentuan hukum itu sendiri. Dalam ilmu fikih, setiap penentuan hukum mempunyai hikmah (hikmatu tasyri), sehingga jadi cermin bagi setiap individu. Setelah itu meraka bisa menyadari posisinya dalam pencapaian tujuan hukum yang disepakati bersama.

Kacamata khusnudzan

Dengan demikian, penolakan zakat profesi itu bisa dibaca secara positif. Karena setiap muslim pada dasarnya mempunyai, meminjam bahasa Cak Nur, ke-hanifan yang cendrung untuk berbuat baik. Anggapan demikian, akan lebih produktif untuk mencermati penolakan potongan zakat profesi tadi. Muzakki dibaca sebagai individu yang akrab dengan kosakata kepedulian sosial, sepanjang pengelolaan dananya dilakukan secara profesional dan amanah.

Satu kesempatan, kolega saya di Forum Zakat Nasional (FOZ), mengutarakan pentingnya respon atas penolakan tersebut. Ini adalah moment penting bagi elemen yang peduli atas pengelolaan zakat, sehingga tidak terjadi implikasi negatif atas Lembaga Pengelola Zakat di tanah air, imbuhnya. Institusionalisasi zakat, membutuhkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi. Jika saja penolakan ini tidak diadvokasi secara memadai, tidak mustahil citra amil zakat yang telah terbentuk selama ini akan tereduksi secara sistematis.

Saya kira, akuntabilitas pengelolaan zakat mempunyai peran penting dalam membedah kecendrungan muzakki di Kabupaten Lombok Timur yang menolak untuk mengeluarkan zakat profesinya. Menurut Aqib Suminto (1998), secara umum, sejarah penyaluran Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf pada tokoh agama yang terjadi tradisional di hampir seluruh tanah air, lebih disebabkan oleh kepercayaan plus kepuasan mereka pada pengelolaan yang dilakukan. Ini bertahan cukup lama, sampai lahirnya beberapa peraturan yang ‘mengharuskan’ penyaluran dana sosial kepada lembaga tertentu.

Menumbuhkan Kesadaran

Perubahan paradigma zakat karena UU No. 38 Th. 1999 dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, sedianya dikenalkan dengan menitikberatkan pada akuntabilitas pengelolaan yang akan dilakukan oleh Lembaga Pengelola Zakat. Pada satu sisi, hal ini memerlukan proses panjang yang melibatkan muzakki sebagai entitas yang dinamis dalam merespons setiap perubahan dan amil zakat sebagai pengelola zakat yang terus menelorkan program strategis pengentasan kemiskinan, pada sisi yang lain. Interalasi muzakki dan amil bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya.

Karenanya, jumlah potongan otomatis dari setiap gazi PNS itu, harus berbanding lurus dengan pengentasan kemiskinan secara regional. Sepanjang upaya pembebasan kaum dhuafa, tidak terasa getarannya dalam setiap program Lembaga Pengelola Zakat, maka para PNS di Kabupaten Lombok Timur beralasan untuk menolaknya. Mereka juga berfikir bagaimana gajinya yang kurang dari memadai, dikenakan potongan yang menurut nalar sederhana jauh dari rasa keadilan.

Potongan gaji yang selama ini hadir, sulit ditepis –untuk tidak mengatakannya mustahil-- dari ‘konspirasi kebijakan’ yang merugikan setiap individu dan menguntungkan segelintir orang. Kondisi ini, meniscayakan penataan ulang sistem akuntabilitas, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan kesadaran untuk berbagi, walaupun hanya sebagian kecil dari setiap harta pendapatan perbulan untuk golongan fakir miskin. Masih banyak status sosial yang tidak lebih baik dari PNS.
Hanya saja., kesetaraan posisi sebagai muzakki yang mempunyai beban zakat profesi yang sebelumnya tidak dikenal dalam khazanah fikih klasik, harus dilihat secara proporsional. Perubahan profesi seiring perkembangan aktifitas masyarakat, akhirnya menetapkan zakat profesi sebagai sistem nilai yang strategis dalam mencipatkan keadilan. Amin Rais, dalam bukunya ‘Cakrawala Islam’, Mizan 1997, menggulirkan zakat profesi dengan hitungan 20 % bagi kalangan profesional, dilandaskan pada tingkat resiko usahanya yang berbeda dengan profesi lainnya. Bandingkan dengan resiko profesi sebagai PNS yang jamak kita ketahui.

Kalaupun pemotongan itu tetap dilakukan, dilandaskan pada tingkatan status kepegawaian yang ada. Jangan dipukul rata 2,5 % karena nishab (harta yang wajib kena zakat) setiap waktu wajib zakat. Ada perbedaan signifikan antara golongan terendah dengan eselon I misalkan, yang mempunyai tingkat nominal yang tinggi ditambah tunjangan jabatan yang terkadang melebihi gaji pokoknya sendiri.

Walhasil, penolakan zakat profesi dengan memotong setiap gaji para PNS di Kabupaten Lombok Timur, tidak bisa berdiri sendiri. Ia adalah akumulasi dari tingkat kepercayaan atas akuntabilitas pendayagunaan dana potongan gaji, meski hal itu dilakukan dengan mempergunakan kosakata wajib zakat sekalipun. Simbolisasi pemotongan gaji tidak akan berpengaruh banyak pada potensi untuk berbuat baik, sepanjang sistem pendayagunaan tidak dikonfirmasikan pada pengentasan kemiskinan yang riil di wilayahnya. Wa Allâh ‘alam bish shawâb.